Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA pendekar ekonomi bermunculan di Kota Kembang. Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, Prof. Sarbini Sumawinata, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, Menteri KLH Emil Salim, Prof. Mohammad Sadli, Frans Seda, Gubernur BI Adrianus Mooy, sejumlah pakar dari Bappenas, dan para ekonom -- yang kemudian lebih tersohor sebagai pengusaha di antaranya Presiden Direktur Star Motors Indonesia Dr. Teddy Pawitra, atau manajer beken Tanri Abeng. Arena persilatan mereka adalah Kongres XI ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia), yang berlangsung di Gedung Merdeka, sampai Sabtu petang lalu. Gagasan-gagasan untuk mendukung pelaksanaan tema kongres -- Pembangunan Ekonomi Indonesia dalam 25 Tahun Mendatang -- yang menonjol hanya beberapa. Misalnya dari Emil Salim (Lepas Landas Menuju Pembangunan Berkelanjutan), dari Mohammad Sadli dan Thee Kian Wie (Industri Teknologi dan Sumber Daya Alam), atau Menteri Muda Perdagangan Soedradjad Djiwandono (Hubungan Internasional) dan Gunawan Sumodiningrat (Pemerataan Pembangunan). Tidak mengherankan jika persoalan Penjabaran Demokrasi Ekonomi, yang diserahkan ISEI kepada Presiden Soeharto secara resmi Senin pekan lalu, lebih menyedot perhatian. Di luar forum, para pakar berbisik, ada yang berdiskusi dengan wartawan di lobi Hotel Savoy Homman, di coffee shop Hotel Preanger, atau di teras Gedung Merdeka. Penjabaran Demokrasi Ekonomi (DE) adalah buah pikiran ISEI, yang lahir atas permintaan Pak Harto, 18 Juli tahun silam. Sebagai gagasan makro yang akan mempengaruhi nasib perekonomian kita, DE muncul setelah melewati proses panjang. Dimulai dengan diskusi di semua (37) cabang. Hasil perumusan cabang dihimpun dalam Seminar Nasional Penjabaran Demokrasi Ekonomi di Jakarta, 5-6 Juli lalu. Sekitar 200 orang -- terdiri dari pakar, kalangan pemerintah, dunia usaha, koperasi, organisasi politik, organisasi pemuda, organisasi wanita, DPR, dan universitas hadir pada seminar itu. Pengurus Pusat ISEI pun, sebagai penyusun akhir, perlu beberapa kali mengadakan rapat dan pertemuan. Akhirnya, pada 15 Agustus, lahirlah buku biru setebal 27 halaman. Pada saat ekonomi kita gemetar disodok inflasi 7,2% (per akhir Juli) akibat pertumbuhannya sendiri (7,4% pada 1989), persoalan DE memang layak menyita perhatian. Sebab, demokrasi tentulah mempermasalahkan pemerataan -- yang berkaitan dengan kesempatan kerja, keleluasaan berusaha, sampai pengambilan keputusan, dan pemerataan hasil pembangunan. Semua ini bisa pula tidak seirama dengan semangat mengejer pertumbuhan. Menurut Sumarlin, Pemerintah telah membuka kesempatan bagi semua orang, antara lain melalui deregulasi. "Persoalannya, para pelaku ekonomi kita tidak memiliki kemampuan dan kesanggupan yang sama. Ada yang cepat tanggap begitu melihat kesempatan, lalu tumbuh pesat. Ada yang masih pikir-pikir dulu. Di antara BUMN sendiri ada yang cepat tumbuh, ada yang tidak," katanya terus terang. Barangkali Sarbini Sumawinata, sebagai salah seorang ekonom yang memikirkan pemerataan keterampilan manajemen, boleh sedikit berlapang dada. Di dalam DE, soal ini dirumuskan. Sumarlin, dalam wawancara dengan TEMPO, mengatakan bahwa pemerataan semacam itu sebenarnya sudah dipelopori oleh BUMN. Katanya 5-0 dari keuntungan BUMN setelah pajak harus dimanfaatkan untuk mendidik atau mengalihkan pengetahuan bagi golongan ekonomi lemah. Tapi, kalaupun keahlian sudah dimiliki, kesempatan memperoleh modal melalui kredit belum tentu sama. Dalam makalah Gunawan Sumodiningrat disebutkan, pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan tinggi terkonsentrasi pada sektor-sektor tertentu, terutama industri yang relatif padat modal. Kegiatannya pun terpusat di Pulau Jawa dan terjadi pada anggota masyarakat pelaku ekonomi kuat. Indikator alokasi kredit, yang dicairkan berdasarkan kegiatan ekonomi, menunjukkan ketidakmerataan itu. Antara 1981 dan 1989, sektor pertanian mendapatkan alokasi rata-rata 7,6% dari seluruh kredit. Sedangkan sektor industri 32,1% dan untuk perdagangan 31,5%. Tidak heran jika sejumlah pakar di luar Gunawan juga meragukan efektivitas DE dalam mengatur perkreditan. "Pemerintah memang mengharuskan agar bank memberikan 20% total kreditnya untuk KUK. Tapi masih perlu dibuktikan hasilnya," kata seorang pakar senior. Termasuk menyangkut insentif bagi investasi di luar Jawa, sebagai bukti niat baik untuk pemerataan pembangunan. Sementara itu, pasar bebas akan tetap digelar, sebagai arena pertumbuhan ekonomi. Yang dikhawatirkan dari ekonomi pasar bebas adalah penyimpangannya. Konglomerasi adalah penyimpangan pasar bebas, kata seorang anggota ISEI. Maksudnya tentu ingin menyebutkan, para konglomerat cenderung untuk monopoli. Penjabaran DE menyebutkan, motif mencari laba sesuai dengan ekonomi pasar akan diatur undang-undang antimonopoli, undang-undang kewajaran praktek bisnis, dan undang-undang yang melindungi pengusaha kecil. Kalau itu semua dilaksanakan, persaingan pasar akan lebih sehat. Jaminan pelaksanaannya? Sumarlin, sebagai Ketua ISEI maupun Menteri Keuangan, hanya memberi isyarat bahwa pelaksanaannya tidak mustahil terwujud karena DE ini bukan konsep baru sama sekali, tapi lebih merupakan perbaikan sendi-sendi ekonomi yang sudah dilaksanakan selama Orde Baru. Sebagai pelengkapnya atau rem dari kerakusan adalah kesetiakawanan nasional, kata Prijono Tjiptoherijanto. "Ini memang ideal," katanya. Tentu, demokrasi ekonomi harus ideal. Memang itu tantangannya. Mohamad Cholid (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo