Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH sampai di mana pembangunan Batam? Sejak investor asing di izinkan menanamkan modalnya 100% di Batam (Oktober 1989), kawasan industri ini jadi sasaran banyak pemodal, baik dalam maupun luar negeri. Sampai kini sudah ada 15 perusahaan asing yang beroperasi di sini, terbesar di antaranya: Babcock & Wilcox Indonesia, Batamas Resirindo Graha, Pan Island, McDermott Indonesia, dan Bredero Price Indonesia. Mereka itu didampingi oleh 22 PMDN yang juga sudah beroperasi, seperti Senawangi, Citra Tubindo, Bangun Bintan Sejahtera, dan Bina Utama Asli. Selain itu, masih ada 27 PMA dan 33 PMDN yang sedang membangun di pulau gersang seluas 415 km2 itu, yang terbagi atas tujuh kawasan industri. Selama hampir setahun terakhir ini pula Batam tidak saja ramai dikunjungi turis maupun pengusaha dari Singapura, tapi juga oleh pejabat sana, di antaranya B.J. Lee, Goh Chok Tong, dan bahkan PM Lee Kuan Yew sendiri. Selasa pekan ini, Lee Kuan Yew bersama Presiden Soeharto akan melakukan peletakan batu akhir pembangunan Unit I kawasan Industri Batam. Upacara berlangsung di Muka Kuning, sebuah kawasan industri yang dibangun oleh Batamindo Investment Corp. (BIC) dan dikelola oleh Batamindo Industrial Management (BIM). BIC adalah PMA dengan investasi terbesar, merupakan patungan antara PT Herwindo Rintis (dengan Preskom Bambang Trihatmojo dan Presdir Anthony Salim) dan dua perusahaan Singapura: Singapore Technologies Industrial Corp. (STIC) dan Jurong Enviromental Industries (JEI). Kalau tidak salah, Herwindo menguasai kepemilikan BIC 60%, STIC 30%, sisanya JEI, 10%. Diperkirakan BIC sudah membenamkan US$ 400 juta untuk membangun pabrik-pabrik standar di kawasan industri seluas 500 hektare itu. Lalu, kawasan yang sudah siap dengan pabrik itu akan dipasarkan oleh BIM, yang kegiatannya dipusatkan di Singapura. Mengingat peran kunci yang dimainkan oleh BIC ini, sangat pada tempatnya bila pada upacara peletakan batu akhir di Muka Kuning, pengusaha yang tampil adalah Bambang Trihatmojo dan Anthony Salim, di samping Wong Kok Siew dari Singapura. Kesiapan pengusaha muda, seperti Bambang Trihatmojo dan Anthony Salim, untuk memacu Batam memang perlu mendapat acungan jempol. Sejak 1 Juli 1990, mereka sudah mengirimkan 300 tenaga kerja untuk dilatih di Singapura -- disusul dengan 250 pekerja lagi pada Agustus dan 250 lagi pada Oktober 1990. Dinamika semacam itu sungguh perlu untuk mengimbangi kebutuhan Singapura yang tengah merelokasi industri mereka ke Batam. Para pengusaha di negara Lee Kuan Yew itu cenderung memilih Batam, antara lain karena Singapura sudah terlalu sempit, sedangkan mereka harus melakukan ekspansi. Tenaga kerja di Batam jelas jauh lebih murah, sedangkan Singapura dan Batam hanya dipisahkan oleh 30 menit pelayaran feri. Hal-hal itu dikemukakan oleh Gunawan Hadisusilo, Asisten Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Batam, yang tak lupa menyebut-nyebut fasilitas GSP sebagai salah satu daya tarik untuk investasi di Batam. Fasilitas ini sudah dicabut AS dari Singapura -- sebagai salah satu negara NIC's -- tapi masih bisa dinikmati di Indonesia. Karena itu pula, Batam diincar beramai-ramai, tidak cuma oleh Singapura, tapi juga Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan. Kedua negara disebut terakhir malah sudah siap di Batam dengan areal untuk kawasan industri yang segera akan dibangun. Suplai listrik untuk sementara masih terbatas hingga pihak swasta dibolehkan memasang generator sendiri. Tahun depan, Batam akan mendapat tambahan dari Krakatau Steel, Cilegon, Jawa Barat, sebesar 30 megawatt, tapi baru pada tahun 1995 suplai energi listrik mencapai 100 megawatt. Fasilitas lain adalah Bandar Udara Hang Nadim, yang kini diperluas, hingga pada tahun 1993 sudah bisa menampung Boeing 747 sebanyak 12 buah sekaligus. Untuk itu, dibangun 12 jembatan belalai, selain landing system instrument, yang memungkinkan pesawat mendarat malam hari. Suplai air minum diperkirakan tidak memadai hingga, mengingat keterbatasan itu, Batam hanya diproyeksikan untuk menampung 700.000 penduduk -- tidak lebih dari itu. Hal ini dikemukakan oleh Menristek B.J. Habibie, yang juga Ketua Otorita Batam, kepada wartawan TEMPO Zed Abidien, di Surabaya, pekan lalu. Dewasa ini, menurut Habibie, sudah ada 100.000 orang yang bermukim di Batam, sedangkan pengunjung yang datang per tahun sekitar 300.000 orang. Untuk mereka tersedia hotel berbintang, malah Ponco Sutowo, pemilik Hilton Hotel, sudah membangun lapangan golf yang tahun depan akan lengkap dengan 18 hole. Pokoknya, Batam laku keras. "Di sana sudah susah mencari sebidang tanah yang besar," B.J. Habibie menandaskan. Untuk memoles Batam, pemerintah Indonesia sudah menanamkan uangnya senilai 560 juta dolar, sedangkan investasi swasta sudah mencapai 1,5 milyar dolar. Dengan demikian, rencana semula untuk membagi Batam menjadi 40% daerah industri dan 60% daerah hutan mungkin tidak sepenuhnya bisa ditepati. Kekhawatiran lain adalah, Batam yang bisa dimasuki modal asing 100% itu jangan-jangan kelak memancing kecemburuan sosial dari penduduk di pulau-pulau sekitarnya. Kekhawatiran ini segera ditepiskan, baik oleh Habibie maupun oleh Menko Ekuin Radius Prawiro. Radius terutama justru melihat adanya dampak positif dari perkembangan Batam yang luar biasa itu. "Konsumsi ikan segar akan naik," ujar Radius, "sehingga nelayan kita mempunyai pasaran yang lebih banyak." Kalau begitu, apa lagi? Ternyata, ada nila setitik yang, menurut seorang pejabat setempat, akan merepotkan pihak kejaksaan. Soalnya menyangkut "penjualan bawah tangan" yang mulai ramai karena masih banyak saja investor asing yang memerlukan tanah di Batam. "Kini banyak orang yang begitu mendapat alokasi sewa tanah, malah alokasi itu dipindahtangankan ke orang lain. Mereka menjual hak sewa itu tanpa diketahui otorita," tutur sang pejabat, serius. Selain itu, soal kepemilikan tanah juga kelak bisa merepotkan, terutama karena UU Agraria yang berlaku tak mengizinkan tanah dijual kepada orang asing. Sedangkan tentang hak untuk menyewa tanah, yang maksimal 30 tahun itu, juga masih perlu kejelasan di sana-sini. Laporan Wahyu Muryadi (Batam), Zed Abidien (Surabaya), dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo