Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANTOR Polres Dili Timor Timur, yang pagi itu sepi, mendadak sibuk. Seorang penjaga toko Lay, Abraham Boling, 23 tahun, dengan langkah tergopoh-gopoh dan napas tak teratur, membawa kabar buruk ke petugas piket. Di tempatnya bekerja, katanya, tiga orang temannya telah menjadi mayat. Petugas piket Polres Dili langsung meluncur ke toko yang berjualan bahan bangunan di Jalan Jose Maria Marques itu. Beberapa petugas reserse juga langsung disebar pada Minggu pagi dua pekan lalu itu. Polisi memang menemukan ketiga karyawan toko Lay itu, Soleman Ena, 18 tahun, Ayub Bana, 20 tahun, dan Nikolas Tefa, 23 tahun, telah kaku dengan luka bekas bacokan pada bagian leher. Siapa pembantai mereka? Ternyata, menurut polisi, tak jauh-jauh, Abraham sendiri. Sebab, menurut sumber TEMPO di Polres Dili, pada sarung dan sandal jepit yang dipakai pelapor terdapat bercak darah yang persis dengan darah korban. Tak hanya itu. Di saku Abraham juga ditemukan uang Rp 500 yang bernoda darah juga sama dengan darah korban. Hari itu juga lelaki berkulit hitam dan berambut keriting itu dibekuk polisi. Pembunuhan itu, masih menurut polisi, terjadi karena iri Abraham terhadap Nico. Dua bulan sebelum kejadian, Nico, meminjam uang Rp 25 ribu kepada Abraham untuk menambah uangnya guna membeli tape recorder merek Sony di pasar Dili dengan harga Rp 150 ribu. Belakangan Nico, yang berasal dari Soe, Timor Tengah Selatan, NTT, menjual barang itu seharga Rp 200 ribu. Keuntungan yang diperoleh Nico itu menimbulkan iri Abraham. Buktinya, ketika Nico hendak mengembalikan pinjamannya, Abraham, yang asal Flores, NTT, menolak. Ia baru bersedia menerima bila ia diberi Rp 100 ribu -- atau separuh dari harga jual tape itu. Nico tentu tak mau. Ia hanya sanggup mengembalikan Rp 50 ribu. Tapi jumlah ini pun tak diterima Abraham. Akibat perselisihan ini, mereka hampir baku hantam di halaman toko milik majikannya. "Tapi tak jadi karena keburu kami lerai," kata Guido, salah seorang pegawai gudang toko Lay. Dendam itu rupanya masih berlanjut. Pada Minggu pagi, sekitar pukul 03.00 itu Abraham keluar dari kamarnya menuju tempat tidur Nico. Parang -- bahasa Dilinya "katana" -- sepanjang 30 cm, yang telah ia siapkan, langsung ditebaskan ke leher Nico, yang sedang terlelap. Korban langsung terkapar mati. Ayub dan Soleman, yang malam itu tidur di sebelah Nico, kaget. Tapi, sebelum mereka berdua sempat bangun, parang Abraham langsung menyambar leher kedua orang itu. Keduanya menggelepar tewas. Padahal, Soleman masih terhitung keponakan Abraham sendiri. "Diduga, dua korban terakhir itu dihabisi untuk melenyapkan saksi," kata polisi. Setelah itulah Abraham tergopoh-gopoh ke kantor polisi. Benarkah Abraham, yang menghabisi rekan-rekannya. Pemilik toko itu, Stefanus Lay, mengaku tak mengerti mengapa karyawannya itu tega menghabisi teman dan keponakannya sendiri. Padahal, Abraham sehari-hari dikenal pendiam. "Hanya saja Abraham suka menghabiskan uangnya untuk pelesir," katanya. Abraham sendiri menyangkal tuduhan itu. "Sungguh mati saya bukan pembunuhnya. Polisi yang menahan saya akan mendapat kutukan dari Tuhan," kata Abraham kepada TEMPO. Kalaupun ia mengakui tuduhan itu, katanya, hanya karena tak tahan siksaan polisi selama dalam tahanan. Sebaliknya, pihak polisi tetap yakin Abraham pelaku pembantaian itu. "Saya yakin dia pembunuhnya. Setidaknya sebagai tersangka kuat. Meski tak ada saksi, bukti lain cukup kuat," kata Kapolres Dili, Letnan Kolonel Daryono, yakin. Zed Abidien (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo