Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pelaku Industri Karet 13 Negara Bertemu di Yogyakarta, Soroti Wabah Berkepanjangan yang Pengaruhi Produksi

Tak kurang 250 pelaku industri karet dari 13 negara bertemu dalam forum di Yogyakarta selama tiga hari ke depan mulai Selasa hingga Kamis, 19-21 November 2024.

19 November 2024 | 20.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Tak kurang 250 pelaku industri karet dari 13 negara bertemu dalam forum di Yogyakarta selama tiga hari ke depan mulai Selasa hingga Kamis, 19-21 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam forum bertajuk International Rubber Conference 2024 itu, hadir pelaku industri karet dari Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Sri Lanka, Cote d’Ivoire Afrika, Cina, India, Kamboja, Myanmar, Jepang, Perancis, dan lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada hari pertama, para pelaku industri karet itu menyoroti berbagai isu karet alam. Salah satunya soal wabah penyakit karet berkepanjangan yang belum juga ada obatnya dan lambat laun mempengaruhi produksi global termasuk di Indonesia.

"Pelaku industri karet dunia saat ini masih berhadapan dengan wabah penyakit Pestalotiopsis yang menyerang sejak tahun 2018, ini sudah mengurangi produktivitas karet hingga sekitar 40 persen," ujar Sekretaris Jenderal International Rubber Research Development Board (IRRDB) Seri Dato’ Aziz Abdul Kadir di sela pembukaan, Selasa.

Aziz mengungkapkan berbagai cara sudah coba ditempuh berbagai negara untuk memerangi wabah ini namun belum menemukan hasil memuaskan. Melalui forum yang digelar Pusat Penelitian Karet, IRRDB dan Japan International Cooperation Agency (JICA) itulah, coba dirumuskan bersama formula yang bisa diterapakan memerangi wabah.

"Kami pertemukan ilmuwan dengan pelaku industri di forum ini untuk mencari jalan keluar atas wabah itu," kata dia.

Adapun Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Uhendi Haris membeberkan dampak wabah Pestalotiopsis itu di Indonesia hingga saat ini diperkirakan menerjang tak kurang 600 ribu hektar lahan karet.

"Sebelum ada serangan wabah itu produksi karet Indonesia masih di atas angka 3,6 juta ton pertahunnya, namun setelah wabah itu maksimal 2,2 juta ton saja per tahunnya," kata Uhendi.

Uhendi mengatakan karet alam telah menjadi akselerator ekonomi bagi pembangunan daerah pedesaan di pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Karet alam juga terus memainkan peran penting sebagai komoditas strategis di sektor pertanian Indonesia, dengan kontribusi devisa sebesar US$ 1,76 miliar pada tahun 2023.

Uhendi menuturkan, asosiasi Gapkindo sendiri membawahi sekitar 127 perusahaan operator pengolahan karet alam. Ketika wabah karet menerjang dan berimbas pada produksi karet, sebanyak 2,1 juta rumah tangga petani karet ikut terdampak.

"Sebagian petani karet yang bekerjasama dengan industri memilih alih profesi ketika produksi menurun, kami perkirakan saat ini dari 2,1 juta petani itu hanya tersisa 1,5 juta petani saja yang masih aktif," kata dia.

Uhendi menuturkan, belum ada cara efektif untuk memerangi wabah karet itu. Mereka hanya bisa bergantung pada faktor alam dan cuaca yang mengurangi dampak wabah.

"Dalam materi hari ini sejumlah peneliti sudah menawarkan opsi memerangi dampak wabah seperti lewat teknologi bio fungsida, pestisida kimiawi, dan lainnya, kami berharap diterapkan segera," kata dia.

Kepala Pusat Penelitian Karet Suroso Rahutomo menuturkan di Indonesia, kinerja industri karet alam sendiri memang belum optimal. Hal ini terlihat dari penurunan volume produksi karet domestik sebesar 3,60 persen per tahun selama lima tahun terakhir, yang mengakibatkan penurunan pasokan bahan baku karet ke pabrik karet remah. 

Kekurangan pasokan ini berdampak besar pada ekspor karet alam Indonesia, yang turun hingga 8,36 persen per tahun. 

"Dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari 50 perusahaan karet remah menghentikan operasinya karena kekurangan bahan baku," kata dia.

Beberapa faktor penyebab penurunan kinerja industri karet alam Indonesia seperti harga karet yang rendah selama lebih dari satu dekade. Akhirnya, membuat banyak petani meninggalkan perkebunan karet, menghentikan penyadapan, menunda peremajaan tanaman, atau bahkan mengganti karet dengan komoditas lain.

"Juga faktor kenaikan biaya tenaga kerja, pupuk, insektisida, dan sumber daya produksi lainnya setiap tahun serta industri hilir berbasis karet alam di dalam negeri yang belum berkembang, sehingga pemasaran sangat bergantung ekspor," kata Suroso.

Ia menyebut, saat ini sebanyak 80 karet alam Indonesia masih diekspor dalam bentuk bahan mentah. Hanya 20 persen yang diolah dalam negeri.

Direktur Hilirisasi Perkebunan, Kelautan, Perikanan, dan Kehutanan Kementerian Investasi/BKPM Indonesia, Mohamad Faizal, dalam forum itu mengungkapkan dari forum itu, akan mengkaji hal-hal yang mengganggu perkembangan ekosistem industri karet di Tanah Air.

"Terutama dari hulunya, persoalan di bagian hulu ini yang harus diselesaikan karena akan mempengaruhi proses di hilir, baik soal penyakit atau wabah, soal lahan yang beralih fungsi, dan regenerasi petani," kata dia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus