Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK sari-sarinya kantor Kelurahan Sungai Merdeka di Kecamatan Samboja dikunjungi banyak orang. Sejumlah kendaraan berseliweran di halaman. Pelat nomor mobil mereka kebanyakan dari luar Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. “Ada juga dari Kalimantan Barat,” kata Guntur Dwicandra, Selasa malam, 27 Agustus lalu. Mereka menanyakan lokasi calon ibu kota, sekaligus berburu ratusan hektare tanah.
Sejak Presiden Joko Widodo meninjau lokasi calon pusat pemerintahan di Kalimantan Timur pada awal Mei lalu, Samboja seperti tanah yang dijanjikan. Orang berdatangan ke sana. Guntur Dwicandra alias Odead salah satu saksinya. Pemuda 31 tahun asal Sumedang, Jawa Barat, itu sudah belasan tahun membuka usaha bengkel persis di sebelah kantor kelurahan.
Keesokan harinya, Rabu, 28 Agustus, dua pria masuk ke Rumah Makan Sederhana yang terletak di seberang kantor kelurahan. Keduanya menenteng peta Kutai Kartanegara. Salah satunya membuka peta di atas meja sambil menunjuk beberapa titik. Yang lain mengangkat telepon seluler sambil menyebut-nyebut nama Sepaku, salah satu kecamatan di Penajam Paser Utara yang berbatasan langsung dengan Samboja.
Setelah Jokowi resmi mengumumkan calon lokasi ibu kota berada di Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara pada Senin, 26 Agustus lalu, para pemburu cuan makin ramai berdatangan.
Dua pria tadi, kata Norhayati, sedang mencari tanah. Pemilik rumah makan 78 tahun ini juga tuan tanah di Samboja. Mendiang suaminya, mantan Lurah Sungai Merdeka, meninggalkan banyak warisan.
Salah satu yang sedang Norhayati jajakan adalah sebidang tanah di Jalan Balikpapan-Samarinda Kilometer 43. Luasnya tak sampai 2 hektare. “Saya mau jual Rp 2 miliar. Ada pohon karetnya,” tutur perempuan asal Banjar, Kalimantan Selatan, yang hampir setengah abad menetap di Sungai Merdeka tersebut.
Kawasan konsesi PT ITCI Hutani Manunggal milik Hashim Djojohadikusumo di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. TEMPO/Khairul Anam
Sebelum ada rencana pemindahan pusat pemerintahan, harga tanah di sana cuma Rp 1 juta per hektare. Sekarang Rp 1 juta adalah harga per meter. Itu pun harga sebelum Jokowi mengumumkan bahwa lokasi pusat pemerintahan berada di sebagian wilayah Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara. Teritori yang disebut Jokowi meliputi dua kecamatan: Samboja di Kutai Kartanegara dan Sepaku di Penajam Paser Utara.
Meski pemerintah belum mengumumkan koordinat lokasi inti ibu kota, para pemburu lahan terus datang. Herman Faisal dan Brian Martin langsung terbang dari Jakarta ke Balikpapan pada Senin pekan lalu, setelah Jokowi resmi mewartakan rencana pemindahan ibu kota. Seorang pengusaha event organizer asal Jakarta meminta keduanya mencari tanah di sekitar Sepaku dan Samboja. “Cuma ratusan meter persegi saja, untuk perkantoran,” ujar Herman.
Herman dan Brian menginap di Hotel Horison Sagita Balikpapan. Di hotel itu, mereka bertemu dengan pemburu tanah dari kota-kota lain. Hari pertama, Herman dan Brian pergi ke Sepaku, mengeksplorasi Kecamatan Semoi Dua, kawasan ramai transmigran yang disebut banyak orang sebagai calon ibu kota.
Di sana, Herman didatangi dan ditawari- tanah oleh penduduk setempat. Luasnya 5 hektare. Orang tersebut mengantar Herman dan Brian ke pemilik tanah, yang membuka harga Rp 1,5 miliar untuk luas 5 hektare. “Akhirnya saya kontak teman-teman dan saudara buat patungan investasi. Tapi harga ini belum ada kesepakatan,” ucap Herman. Sebab, pemilik tanah hanya menunjukkan surat segel dari Kecamatan Sepaku.
Masih di Semoi Dua, Herman juga bertemu dengan seorang transmigran yang menawarkan lahan. Kali ini areanya lebih kecil, sekitar 13 ribu meter persegi. Orang itu, kata Herman, mengaku sudah ada yang menawar tanahnya Rp 800 juta. “Dia masih menunggu biar harga tambah tinggi.” Tapi nama di sertifikat berbeda dengan namanya. Baru pada hari kedua Herman dan Brian berburu ke Samboja.
Pelaksana tugas Camat Samboja, A. Nurkhalis, mengaku banyak orang datang kepadanya menanyakan soal tanah. Dia bingung karena pemerintah daerah belum tahu titik koordinat calon pusat pemerintahan. “Samboja itu luas, 1.000 kilometer persegi lebih,” tutur Nurkhalis di kantornya di Kuala Samboja, Rabu, 28 Agustus lalu.
TANAH di sekujur Samboja banyak berimpitan dengan lahan konsesi tambang batu bara. Jaringan Advokasi Tambang mencatat, di Kecamatan Samboja saja setidaknya ada 90 izin tambang batu bara. Bahkan di Bukit Soeharto, yang berstatus kawasan konservasi, terdapat 44 izin tambang. Salah satu pemegang izin dengan wilayah terluas adalah PT Singlurus Pratama, yang menguasai 24.760 hektare lahan.
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat banyak endapan batu bara di Samboja. Letaknya dangkal sehingga berpotensi memicu kebakaran. Saking dangkalnya cadangan batu bara di Samboja, tumpukan emas hitam itu terlihat dari jarak jauh. Banyak bukit yang sudah terkelupas di sejumlah area. Salah satunya di dekat Jembatan Sungai Merdeka.
Menurut Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang Abdul Kamarzuki, kondisi ini membuat pemerintah pusat berencana menjauhkan pusat pemerintahan dari sentra-sentra batu bara di Samboja.
Samboja juga dibelah Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, yang membentang dari Sepaku hingga kawasan pantai Samboja seluas 61.850 hektare. “Kelurahan Bukit Merdeka, Sungai Merdeka, dan sebagian di wilayah pesisir itu masuk taman hutan raya dan tidak bisa diperjualbelikan,” kata Nurkhalis. Sedangkan wilayah di sisi timur bertabrakan dengan ladang minyak yang masuk Blok Sanga-Sanga.
Deputi Bidang Pengembangan Regional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rudy Soeprihadi Prawira-dinata memastikan kawasan pusat pemerintahan hanya akan mengambil 40 hektare lahan sebagai area inti, memanjang dari Penajam Paser Utara hingga Kutai Kartanegara. Adapun luas 180 ribu hektare adalah total kawasan pusat pemerintahan yang akan dikembangkan dalam jangka panjang. “Untuk perkantoran pemerintah hanya butuh 6 hektare,” ujar Rudy di Jakarta, Rabu, 28 Agustus lalu. “Seperti kota di dalam hutan.”
Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil memberi gambaran pusat pemerintahan akan menggunakan tanah negara. Kawasan konservasi di sekitarnya, seperti Bukit Soeharto, tidak disentuh sama sekali. “Mungkin ada sebagian Bukit Soeharto masuk wilayah ibu kota, tapi bukan untuk dibangun, melainkan tetap jadi kawasan hutan lindung,” ucapnya, Selasa, 27 Agustus lalu.
Rencana menyulap Bukit Soeharto menjadi ibu kota sempat membuat para pegiat lingkungan di Kalimantan cemas. Menurut Koordinator Forum Peduli Teluk Balikpapan Husain Suwarno, kawasan konservasi itu sangat penting dipertahankan sebagai pusat penelitian dan tempat hidup flora-fauna. “Semoga kawasan ini tidak dibuka,” ujar Husain saat menemani Tempo membelah Bukit Soeharto menuju Sepaku. Seekor beruk terlihat duduk di pembatas Jalan Sepaku-Samboja.
Munculnya rencana menjadikan Bukit Soeharto sebagai calon ibu kota bermula pada 2017. Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor mengusulkan sebagian Bukit Soeharto yang berada di Kecamatan Samboja menjadi kawasan inti pusat pemerintahan. Namun Bappenas, yang ditugasi membuat studi, menolak.
Dari kajian tim, muncul ide memanfaatkan tanah negara, baik yang saat ini sudah dikuasai negara maupun yang masih dipegang perusahaan pemegang konsesi hutan tanaman industri. “Bakal ada konsesi hutan tanaman industri yang kena,” kata Sofyan.
Sofyan memastikan bukan konsesi PT ITCI Hutani Manunggal milik Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, yang masuk kotak. Lahan konsesi itu berada di Penajam Paser Utara, tiga jam perjalanan mobil dari Samboja. Selasa sore, 27 Agustus lalu, di sisi luar lahan konsesi ITCI Hutani Manunggal di Desa Pemaluan baru selesai panen akasia.
Satu-satunya tanah negara yang berada di seputar Sepaku dan Samboja adalah lahan konsesi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu milik PT Inhutani I Batuampar, anak usaha Perhutani, badan usaha milik negara di sektor kehutanan. Luas lahan itu sekitar 16.521 hektare, membentang dari sebagian Kecamatan Samboja sampai Teluk Balikpapan di Sepaku dan Balikpapan Barat, Kota Balikpapan. Aksesnya bisa lewat Jalan Sepaku-Samboja, bersebelahan dengan Bukit Soeharto.
BEBERAPA hari setelah Presiden Joko Widodo menilik Bukit Merdeka, Mei lalu, empat orang dari Jakarta bertandang ke rumah Haji Rasidi di pinggir Jalan Balikpapan-Samarinda Kilometer 48. Mereka meminta dicarikan tanah seluas 600 hektare.
Haji Rasidi, perantau asal Lumajang, Jawa Timur, dikenal luas sebagai salah satu tuan tanah di Samboja. Lahannya mencapai 200 hektare, membentang dari Kelurahan Bukit Merdeka sampai Sungai Merdeka. “Saya ajak mereka ke hutan melihat tanah,” kata Haji Rasidi di rumahnya.
Keempat tamu itu menanyakan surat-surat tanah. Abah—sapaan Haji Rasidi—menjawab sekenanya. “Ya enggak ada. Hutan lindung kok minta surat,” ucapnya, terkekeh. Ia mafhum, tanah di sekitar Samboja kalau tidak masuk taman hutan raya, ya, masuk wilayah konsesi tambang batu bara.
Lahan PT Inhutani I Batuampar di Kalimantan Timur, calon lokasi inti ibu kota baru, 27 Agustus 2019. TEMPO/Khairul Anam
Namun Abah dan anak keduanya, Maskur, menyimpan harta karun lain. Bersama 85 petani, mereka punya 215 hektare tanah di Sungai Merdeka, berbatasan dengan Semoi Dua. “Kemarin ditawar Haji Ibram dari Kelurahan Handil Baru Rp 100 juta per hektare,” tutur Maskur. Maskur mengklaim lahan itu berada di luar taman hutan raya sehingga statusnya bisa ditingkatkan menjadi hak milik.
Semut-semut dari luar Samboja juga mendatangi Haji Abu, juragan tanah di kawasan pesisir. Haji Abu mengaku sudah dihubungi kawan-kawannya di Balikpapan. Mereka meminta dicarikan tanah. “Ada beberapa yang sudah menghubungi,” ujar pemilik 400 hektare tanah di Samboja itu. Sebagian besar tanah Haji Abu tersebar di pesisir Samboja. Banyak pula yang masuk taman hutan raya. Pundi-pundi Haji Abu berasal dari kandungan pasir bangunan di lahan itu.
Ada juga pengusaha luar yang lebih dulu menguasai tanah di Samboja jauh sebelum rencana relokasi ibu kota bergulir. Salah satunya Ruslan Aliansyah alias Aliong. Ia pemilik Hotel Horison Sagita Balikpapan dan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Balikpapan Partai Gerakan Indonesia Raya.
Irfan, anggota lembaga pemberdayaan masyarakat Bukit Merdeka, menunjukkan lahan Aliong yang bersebelahan dengan kebunnya. Lahan Aliong di bukit itu mencapai 32 hektare dan diklaim berada di luar taman hutan raya. Irfan menunjuk patok cor-coran yang ujungnya bercat kuning sebagai batas tanah Aliong.
Kamis, 29 Agustus lalu, Aliong datang ke restoran Hotel Horison Sagita setelah ditelepon salah satu anak buahnya yang mengaku bernama Acong Wijaya, 61 tahun. Dari ujung telepon, Acong mengatakan ada orang dari Jakarta yang sedang mencari tanah di lokasi calon ibu kota.
Awalnya Acong berdiskusi dengan Mul-yadi, seorang pejabat eselon III di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sehari sebelumnya, Mulyadi bersama empat rekannya sudah berkeliling ke Kelurahan Sotek, Kabupaten Penajam Paser Utara. Ia mengaku ditugasi kantor melakukan survei. “Sambil menyelam minum air,” kata Mulyadi, menerangkan keinginannya mencari tanah sendiri.
Aliong membantah kabar bahwa dia punya banyak lahan di Samboja. Namun dia mengakui memiliki tanah di Bukit Merdeka, yang sudah tercecer segelnya. “Yang masih ada segelnya itu cuma di kilometer 26,” ujarnya. Ia juga mengaku punya 50 hektare lahan di Penajam. Menurut dia, sudah ada sejumlah pengusaha Jakarta yang mengajaknya bekerja sama.
KHAIRUL ANAM (KUTAI KARTANEGARA, PANAJAM PASER UTARA), RETNO SULISTYOWATI, PUTRI ADITYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo