Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengungkapkan bahayanya bila suatu pemerintahan dijalankan tanpa adanya oposisi terhadap sektor ekonomi. Menurutnya, pemerintahan tanpa oposisi berpotensi menghasilkan banyak kebijakan populis yang justru merugikan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pemerintah tanpa oposisi sering kali terdorong untuk mengeluarkan kebijakan ekonomi populis guna mempertahankan dukungan politik,” ujar Achmad ketika dihubungi pada Rabu, 09 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia melanjutkan, kebijakan populis semacam peningkatan subsidi atau bantuan sosial (bansos) hanya dirancang untuk menarik simpati publik, bukan sebagai kebijakan berkelanjutan jangka panjang. Bahkan, menurut Achmad, kebijakan populis cenderung mengganggu kestabilan fiskal negara ke depannya.
“Peningkatan belanja negara untuk program-program populis dapat menyebabkan defisit anggaran yang besar dan meningkatkan utang negara,” ucapnya.
Menurut Achmad, hal ini bisa terjadi karena kurangnya mekanisme check and balances setelah hilangnya oposisi. Padahal, oposisi dianggap memiliki peran krusial untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan memberikan kritik konstruktif terhadap kebijakan yang dijalankan, termasuk kebijakan ekonomi. Hal ini membuat pemerintahan berpotensi berjalan tanpa pengawasan memadai.
Achmad menyebutkan, ketika tidak ada kekuatan yang mampu menantang atau mempertanyakan kebijakan pemerintah, kebijakan ekonomi yang dihasilkan berpotensi tidak didasarkan pada evaluasi yang menyeluruh. Alhasil terjadi inefisiensi dalam alokasi sumber daya negara. Begitu juga dengan berbagai konsekuensi negatif dapat muncul yang berdampak langsung pada stabilitas ekonomi jangka panjang.
“(Pemerintahan tanpa oposisi) membuka ruang bagi keputusan ekonomi yang keliru, tidak efektif, atau bahkan merugikan,” ucap Achmad.
Ia memandang, oposisi yang sehat merupakan elemen penting dalam sistem demokrasi karena memiliki fungsi sebagai pengawas dan pengimbang dalam proses pengambilan kebijakan publik. Tanpa adanya oposisi, menurut Achmad, pemerintah bisa terjebak dalam pola kebijakan populis yang dirancang untuk menjaga dukungan politik, tetapi berpotensi merugikan perekonomian dalam jangka panjang karena kurang teruji lewat mekanisme checks and balances yang diperlukan.
Sebelumnya, sinyal PDIP bergabung dengan pemerintahan Prabowo Subianto semakin menguat seiring kencangnya wacana pertemuan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo sebelum pelantikan. Prabowo dikabarkan sudah menyiapkan dua kursi menteri atau setingkat menteri untuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, yaitu Budi Gunawan dan Abdullah Azwar Anas.
Mohammad Hatta Muarabagja dan Raden Putri Alpadillah Ginanjar berkontribusi dalam penulisan artikel ini