POLEMIK kepemilikan Bank Central Asia (BCA) kian seru. Sementara sejumlah pejabat masih bingung siapa sesungguhnya pemilik bank itu—apakah Farallon Capital ataukah Farindo Investment—Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Kwik Kian Gie sudah memastikan pemiliknya adalah Budi Hartono dan Bambang Hartono dari PT Djarum, Kudus, Jawa Tengah. Farallon, kata Kwik, hanyalah nama yang digunakan untuk mengelabui. Pernyataan itu disampaikan Kwik Rabu pekan lalu.
Kwik mengetahui adanya hubungan antara Farallon dan kelompok Djarum setelah mantan perwakilan IMF untuk Indonesia Hubert Neiss—ia pegawai Deutch Bank di Singapura saat tender BCA dilakukan—melobi pemerintah untuk memenangkan Farallon. Belakangan baru diketahui perusahaan tempat Neiss bekerja ternyata juga bekerja untuk PT Djarum, sebagai penasihat keuangan.
Benarkah sinyalemen Kwik? Mungkin benar, tapi bisa juga salah. Untuk memastikannya, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi, akan membentuk tim untuk menelitinya. Jika terjadi pelanggaran, pemilik akan diberi sanksi. Bentuknya? Laksamana tidak merincinya.
Bank Indonesia sendiri bersikap tegas. Apa pun yang terjadi, kata Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Anwar Nasution, pihak Farallon Capital haruslah bertanggung jawab jika terjadi sesuatu di bank yang bernilai Rp 104 triliun itu. Pasalnya, Farallonlah yang meneken letter of comfort, semacam surat kesanggupan membantu, jika keuangan bank itu terpuruk. Karena itu Bank Indonesia, menurut Anwar, akan mendesak Farallon agar memberikan surat kuasa kepada Farindo. Artinya, pemilik kuasa tetaplah Farallon, bukan Farindo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini