Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gurita Telkom Mencengkeram Pasar

Telkom terus melakukan konsolidasi usaha. Perusahaan publik ini begitu kuat sehingga hampir bisa dipastikan dalam waktu dekat Telkom akan mendominasi pasar telekomunikasi di Indonesia.

24 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PT Telkom sedang mengalami metamorfosis. Dari perusahaan negara yang kinerjanya tidak terlalu istimewa, Telkom kini tengah berproses menjadi gurita yang menakutkan para pesaingnya. Salah satu lengan bisnis Telkom mencoba menguasai mayoritas saham pada beberapa anak perusahaannya. Lengan bisnis yang lain memperkuat diri dengan melepaskan anak-anak perusahaan yang tidak begitu bagus prospek usahanya. Meskipun proses menuju posisi kampiun bisnis telekomunikasi belum usai, sosoknya yang dominan sudah mulai terlihat. Telkom kini menguasai hampir 90 persen pasar telepon tetap (fixed line) dan mendominasi pasar bisnis telepon seluler. Di bisnis penyedia jasa internet, Telkom sekarang menjala 60 persen pasar. Sebagai gambaran, sepanjang tahun lalu penjualan seluruh perusahaan telekomunikasi di Indonesia mencapai Rp 25 triliun, Rp 16 triliun (64 persen) di antaranya disabet Telkom. Diperkirakan, dalam empat tahun ke depan, perusahaan pelat merah itu sudah menyelesaikan semua langkah bisnisnya. Dan saat itu sulit membayangkan ada perusahaan telekomunikasi yang sanggup menyaingi Telkom. Pada saat itu Telkom akan menjadi "buldoser" yang bakal menyapu bersih pasar telekomunikasi Indonesia. Bisnisnya akan terentang dari telepon tetap sampai multimedia, sesuatu yang bisa dilakukannya karena Telkom mendapatkan semua lisensi yang ada, dari telepon tetap, seluler, VoIP (voice over internet protocol), sampai multimedia. Telkom juga diuntungkan karena perusahaan ini sudah memiliki jaringan yang menjangkau hampir semua wilayah Indonesia. Yang belum bisa diraihnya toh akan dikuasainya juga dengan satelit. Sangat boleh jadi, pasar telekomunikasi yang sudah dibebaskan dari belitan monopoli sejak pemberlakuan Undang-Undang No. 36/1999 tetap tidak akan ada gunanya bagi para pendatang baru. Singkat cerita, Telkom sudah terlalu besar sehingga, walaupun pasar dibuka luas, bisnis jasa telekomunikasi Indonesia akan tetap dikuasainya. Indikasi ke arah itu sudah terlihat dari sekarang. Dalam ekspos kinerja keuangan per September 2002, Kamis dua pekan lalu, Telkom berhasil menjala pendapatan Rp 15,6 triliun atau hampir menyamai pendapatan tahun lalu. Jika dibandingkan dengan September 2001, pendapatan Telkom naik 35 persen. Bandingkan dengan Indosat, yang pada periode yang sama cuma mengalami kenaikan pendapatan 22 persen. Direktur Utama Telkom, Kristiono, merasa yakin perusahaan yang dipimpin-nya akan mampu mencatat pendapatan sekitar Rp 19 triliun-20 triliun tahun ini. Apalagi jika Telkom sudah menyelesaikan konsolidasinya. Pada saat itu Telkom menjulang bak raksasa yang bisnisnya terintegrasi dari hulu sampai ke hilir dan menjangkau semua sektor telekomunikasi. Dan kini Telkom sudah memasuki babak akhir konsolidasi itu. Dalam beberapa bulan ke depan, Telkom akan melepas sahamnya di lima anak perusahaan, dan sebaliknya meningkatkan kepemilikan di empat anak perusahaan yang lain. Lima anak perusahaan yang hendak dijual adalah Telesera (Telkom memiliki saham 69,77 persen), Komselindo (14,1 persen), Mobisel (25 persen), Metrosel (20,17 persen), dan Menara Jakarta (21,34 persen). Pada saat bersamaan, Telkom sedang berunding dengan mitra bisnisnya untuk memperoleh kepemilikan mayoritas di empat anak perusahaan yang lain, masing-masing PT Pasifik Satelit Nusantara (Telkom kini menguasai 22,57 persen), PT Multimedia Nusantara (31 persen), Napsindo Primatel (32 persen), dan PT Citra Sari Makmur (25 persen). Kristiono mengungkapkan, berbagai langkah bisnis itu mesti ditempuh agar fokus Telkom bisa jelas. Dalam bisnis seluler, misalnya, dari lima perusahaan yang hendak dijual, hanya Menara Jakarta yang bukan perusahaan seluler. Kelak, Telkom hanya akan mempertahankan Telkomsel, tempat Telkom menguasai 77,7 persen saham. Amputasi ini tak terelakkan karena empat perusahaan seluler tersebut berbasis AMPS (Advanced Mobile Phone System), sementara Telkom menggunakan teknologi berbasis GSM (Global System for Mobile Communications). Di dunia dan juga di Indonesia, pasar seluler memang dikuasai GSM. "Kita tidak ingin terjadi benturan kepentingan antar-anak perusahaan," kata Kristiono. Tiga di antara lima perusahaan itu bakal dilego tahun ini, yakni Telesera, Metrosel, dan Komselindo. Dari Metrosel dan Komselindo, Telkom kemungkinan bisa menjaring Rp 304 miliar. Sementara itu, Telkom juga sedang membereskan rencana akuisisi saham anak-anak perusahaannya untuk mencapai posisi pemegang saham mayoritas. Yang mendekati penyelesaian adalah pengambilalihan 32 persen saham Infoasia Sukses Mandiri di Napsindo. Kabarnya, Telkom harus mengeluarkan US$ 5 juta untuk mendapatkan saham tersebut. Jika berhasil, Telkom akan menguasai 64 persen saham di perusahaan layanan jasa jaringan akses Internet exchange ini. Meskipun masih merugi, Napsindo penting buat Telkom untuk memperkuat bisnis multimedianya bersama Multimedia Nusantara. Dua perusahaan yang lain juga sama pentingnya. Pasifik Satelit Nusantara, misalnya, bisa mengisi daerah tempat Telkomsel tidak bisa masuk. Sedangkan Citra Sari Makmur kini menjadi pemimpin pasar VSAT(very small aperture terminal). "Kita maunya mayoritas. Kalau pemegang saham yang lain tak setuju, kita akan memilih melepasnya sekalian," kata Kristiono. Berbagai langkah tersebut akan makin memperkuat posisi Telkom setelah sebelumnya perusahaan ini membereskan masalah pertukaran kepemilikan (cross ownership) dengan Indosat. Telkom mendapat Telkomsel, sementara Indosat memperoleh Satelindo. Sebelumnya, Telkom juga mengakuisisi dua KSO, masing-masing di Kalimantan (Daya Mitra) dengan harga US$ 120 juta dan di Sumatera (Pramindo Ikat) seharga US$ 425 juta. Divisi Regional IV (Jawa Tengah dan Yogyakarta) akhirnya juga jatuh ke tangan Telkom setelah karyawannya menolak bergabung dengan Indosat. Penggabungan Divisi Regional III (Jawa Barat dan Banten) juga tinggal menunggu waktu. Begitu urusan internal di Aria West International beres, Telkom sudah bisa mengambil kembali pengelolaan KSO di sana. Praktis, cuma Indonesia Timur yang masih dikuasai pihak lain. Sekalipun begitu, Telkom tetap menguasai pasar Telkom di atas 90 persen. Posisi ini jelas sangat menguntungkan Telkom karena akan mengamankan bisnis internetnya. Tahun lalu internet menyumbang Rp 226 miliar, sementara per September lalu sudah menembus Rp 1 triliun. Dengan basis pelanggan yang mencapai 6,7 juta sambungan, Telkom mampu menyediakan pelayanan internet bagi 4,7 juta pelanggan. Pendapatan Telkom dari interkoneksi juga naik dua kali lipat. Semua itu bisa terganggu jika penguasaan Telkom di telepon-tetap berkurang. Karena itu, Telkom terus mengembangkan jaringan telepon tetap. Namun, belakangan ini Telkom juga memilih membangun telepon tetap nirkabel (fixed wireless). Salah satu proyek yang sudah disepakati adalah pembangunan telepon tetap nirkabel di berbagai kota seperti Surabaya, Denpasar, dan Balikpapan senilai US$ 15 juta. Biaya pembangunan jaringan nirkabel ini lebih murah karena cuma US$ 300 per sambungan—sedangkan telepon tetap biasa mencapai US$ 900 per sambungan Hanya, dominasi Telkom membuatnya cenderung mengukuhkan monopoli sehingga bisnis telekomunikasi jadi tidak sehat. Sementara itu, pemain baru pasti ngeri masuk ke bisnis ini. Kalaupun ada pemain baru, kehadirannya cuma akan menambah tebal kantong Telkom karena ia harus membayar biaya interkoneksi. Namun, Kristiono menolak tudingan itu. Menurut dia, pembelian kembali KSO bukanlah disengaja oleh Telkom. "Para pengelola itu menganggap bisnis ini sudah tidak layak. Karena itu, mereka kemudian menawarkannya kepada Telkom. Kendati demikian, Kristiono tak bisa menampik kenyataan bahwa Telkom memang menguasai bisnis telekomunikasi di Indonesia. Kritik terhadap Telkom tak cuma menyangkut telepon tetap, tapi juga Telkomnet Instan. Anak perusahaan Telkom ini sangat menikmati privilese berupa tarif yang murah dibanding penyedia jasa internet yang lain. Analis telekomunikasi, Agung Prabowo dari Nusantara Capital, melihat bahwa memang tidak mudah memasuki bisnis ini. Tapi semua itu bergantung pada pemerintah sebagai polisi lalu-lintas yang mengatur bisnis telekomunikasi. Karena itu dia mengusulkan agar pemerintah memecah Telkom sebagaimana yang terjadi pada AT&T di Amerika Serikat. Selama 69 tahun perusahaan telekomunikasi ini memonopoli pasar, sebelum pengadilan memerintahkan agar perusahaan yang dijuluki Ma Bell itu dipecah pada tahun 1984. Nah, salah satu cara untuk mematahkan dominasi Telkom ialah dengan menjadikan KSO-KSO sebagai operator independen dan Telkom hanya menguasai kawasan Jabotabek dan Jawa Timur. "Tentu harus ada kompensasi yang dibayar ke Telkom," kata Agung. Tapi, agaknya, hanya dengan cara itulah semua orang punya peluang untuk masuk. Monopoli pun bisa ditiadakan dan konsumen tidak perlu lagi dicemaskan oleh "keperkasaan" Telkom, yang tiap tahun selalu mengusulkan kenaikan tarif. M. Taufiqurohman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus