Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Baru Sekadar Gincu

Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR menyetujui RAPBN 2003. Disepakati juga kenaikan dana stimulus menjadi Rp 10,63 triliun. Jumlahnya tak memadai dan dikhawatirkan akan diincar untuk dana persiapan pemilu.

24 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah seperti sedang mempersiapkan lakon berjudul "Stimulasi Ekonomi 2003" atau yang secara resmi disebut "Stimulus Pembangunan". Untuk lakon itu, pemerintah merasa perlu bersolek dengan gincu yang tebal. Paling tidak, itulah yang muncul dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2003 yang disepakati oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis pekan lalu. Dilihat dari depan, rancangan tersebut memancarkan kesan yang bagus. Pemerintah menetapkan anggaran tambahan untuk mendorong atau menstimulus pertumbuhan ekonomi yang melambat gara-gara pengeboman di Kuta, Bali, 12 Oktober lalu. Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan berapa persen dari kebutuhan Indonesia yang amat sangat besar dapat dipenuhi dengan dana stimulus itu. Soalnya, jumlah dana sangat kecil, sementara penggunaannya sampai kini masih belum jelas. "Ini cuma gincu," kata Rizal Jalil, anggota Panitia Anggaran DPR RI, agak sinis. Benarkah sekadar pemerah bibir? Dalam Rancangan APBN 2003 memang terdapat tambahan pengeluaran pembangunan senilai Rp 10,63 triliun, sehingga anggaran pembangunan menjadi Rp 65,1 triliun (RAPBN selengkapnya lihat tabel). Dana ini jelas disebutkan sebagai dana stimulus pembangunan. Tujuannya tak lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada 2003, yang diperkirakan cuma 3,49 persen—turun gara-gara ledakan bom di Kuta, Bali. Padahal, pemerintah sebelumnya yakin, pada tahun 2003, perekonomian Indonesia akan tumbuh 5 persen. Nah, dengan tambahan dana stimulus, pertumbuhan bisa didorong sedikit menjadi sekitar 4 persen. Menurut Sekretaris Utama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Koensatwanto Inpisihardjo, dari dana Rp 10,63 triliun, sebesar Rp 4,56 triliun (43 persen) dialokasikan untuk infrastruktur seperti jalan dan jembatan; Rp 2,65 triliun (25 persen) untuk pengembangan sumber daya manusia dan Rp 1,4 triliun (13 persen) untuk sektor ekonomi, Rp 1,3 triliun untuk pertahanan dan keamanan, lalu sisanya untuk yang lain. Rizal menambahkan bahwa DPR telah meminta pemerintah agar membangun proyek-proyek padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, Anshari Ritonga, juga sudah mengungkapkan bahwa dana stimulus diberikan untuk menciptakan iklim investasi yang bagus, sehingga investor mau datang ke Indonesia. Di atas kertas, yang dikemukakan oleh Rizal dan Anshari memang sudah tepat. Padahal Rizal sendiri tak yakin dana itu cukup. "Kita sih inginnya Rp 20 triliun. Tapi pemerintah cuma sanggup separuhnya. Apa mau dikata," ujar wakil rakyat dari Fraksi PPP ini. Anshari sendiri mengakui bahwa tak mudah mencari tambahan dana karena penerimaan pajak berkurang sangat besar, yakni sekitar Rp 6,6 triliun. Namun, pemerintah bersama Panitia Kerja Pendapatan dan Belanja Negara, Panitia Anggaran DPR RI bisa menaikkan pendapatan dari sektor lain seperti penerimaan bukan pajak. Walhasil, setelah mengais-ngais berbagai pos penerimaan, pemerintah dan DPR bisa mendapatkan tambahan dana Rp 8,3 triliun. Lalu, dengan penghematan pada sisi pengeluaran, akhirnya terkumpul Rp 10,63 triliun itu. Menurut Rizal, dana sebesar itu tak ada artinya jika dibandingkan dengan masalah yang dihadapi pemerintah, berupa tingkat pengangguran yang terus meningkat. Bahkan jumlah pengangguran sudah mendekati 40 juta orang. Untuk mengatasi bencana ini, pemerintah harus bekerja keras. Pertumbuhan ekonomi 3-5 persen tak akan mampu menyerap tambahan tenaga kerja itu. Menurut perhitungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, setiap tahun ada tambahan tenaga kerja 2,5 juta orang, sementara yang bisa diserap cuma separuhnya. Rizal kesal karena pemerintah terlalu berbangga bisa menstabilkan kondisi makro. Padahal rapor pemerintah seharusnya diukur dari output akhirnya, yakni lapangan kerja. "Pemerintah mestinya malu karena tingkat pengangguran terus meningkat," katanya menyindir. Dana stimulus itu ibarat secarik kain, kalau ditarik ke atas bisa menutup kepala tapi kaki terjulur. Sebaliknya, kalau ditarik ke bawah, dada dan kepala jadi sasaran nyamuk—pokoknya, serba salah. Jelaslah, dana stimulus Rp 10,63 triliun masih terlalu sedikit untuk bisa membiayai banyak hal. Dana itu hanya bisa membiayai proyek-proyek padat karya yang musiman dan habis sekali pakai. Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Dradjad Wibowo, pernah mengatakan bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 0,5-0,7 persen, diperlukan tambahan dana Rp 20 triliun. Ini berarti, dana stimulus yang dipatok itu jauh dari memadai. Tapi, menurut Rizal, pemerintah sebetulnya memiliki sumber keuangan yang bisa digunakan untuk memperbesar jumlah dana stimulus, yakni Rekening Dana Investasi (RDI). Namun DPR belum juga bisa mengungkap berapa besar dana yang berasal dari pembayaran utang pemerintah daerah dan BUMN itu. "Dua kali kita mau rapat dengan Menteri Keuangan soal RDI ini, tapi gagal," ujarnya kesal. Ekonom Martin Panggabean mengatakan bahwa soalnya bukan terletak pada jumlah dananya cukup atau tidak, melainkan pada apakah dana stimulus itu diperlukan atau tidak. Menurut Martin, tak ada alasan yang cukup bagi pemerintah untuk mengeluarkan dana tambahan. Pengeboman di Bali, katanya, bukanlah alasan yang cukup kuat untuk menciptakan dana stimulus, karena dampaknya terhadap perekonomian Indonesia tidaklah besar. "Berdasarkan hitungan yang ada, dampaknya kira-kira cuma 1 persen dan ini disebar dalam 3-4 tahun ke depan," Martin menjelaskan. Dan Rizal sepakat dengan Martin. "Dampak Bali ini terlalu didramatisir," katanya. Sebelum ada bom Bali pun, banyak pihak, termasuk lembaga keuangan multilateral seperti Dana Moneter Internasional (IMF), telah meramalkan Indonesia akan mengalami perlambatan perekonomian. Martin sendiri mempertanyakan pengeluaran dana stimulus ini. Selain alasannya tidak cukup kuat, pemerintah juga tak jelas dalam menetapkan target pemanfaatan dana tersebut. Martin melihat pemerintah seperti tak tahu apa yang mau dituju, penciptaan lapangan kerja ataukah pertumbuhan ekonomi. Jika arahnya ingin menciptakan lapangan kerja, pemerintah juga mesti menetapkan prioritas apakah penciptaan lapangan kerja itu dilakukan di kawasan perkotaan atau di pedesaan. Pilihan ini akan menentukan arah kebijakan pemerintah, apakah sektor manufaktur yang akan dikembangkan ataukah sektor pertanian. "Jika salah menetapkan pilihan, perekonomian Indonesia bisa tidak tumbuh atau dampaknya sangat kecil," ujarnya memastikan. Sebaliknya, jika hendak menggenjot pertumbuhan ekonomi, pemerintah harus pandai-pandai memilih sektor yang tepat. Martin melihat sektor eksporlah yang bisa digenjot. Namun Indonesia kini menghadapi masalah yang tidak sederhana di sektor itu, yakni menurunnya permintaan di industri tekstil dan sepatu. "Mau dibantu bagaimana kalau persoalannya tidak terletak di dalam negeri, tapi karena permintaan yang menurun dan barang kita yang makin tidak kompetitif," katanya lagi. Jadi, didorong sekuat apa pun, volume ekspor dari dua sektor andalan itu juga tidak akan berkembang. Pendeknya, kata Martin, pemerintah tak punya alasan cukup untuk mengeluarkan dana stimulus. "Bahkan mungkin akan lebih bermanfaat jika duitnya dipakai untuk membeli kembali obligasi perbankan," ucap Martin berandai-andai. Tapi anggaran sudah ditetapkan. Dan pemerintah perlu diberi kesempatan untuk benar-benar bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan dana tambahan yang terbatas itu. Minimal, untuk mencerahkan potret ekonomi Indonesia yang begitu buram. Selain itu, ada hal lain yang tak kurang penting, yakni menjaga agar dana tersebut digunakan sesuai dengan tujuannya. Jangan sampai dana stimulus melenceng ke proyek-proyek yang tak jelas juntrungannya. Untuk itu perlu perencanaan yang cermat, proyek yang tepat guna, dan pengawasan yang ketat atas pemakaian dana. Faktor misi dalam program stimulus ini tinggi sekali, sehingga kegagalan seperti yang terjadi pada Jaring Pengaman Sosial dari periode Habibie sedapat-dapatnya jangan sampai terulang. Agaknya kegagalan itu juga yang menyebabkan Martin berkata, "Saya khawatir dana itu akan dibagi-bagi untuk persiapan pemilu. Ini pertanyaan saya, mengapa dana stimulus baru dikeluarkan sekarang dan tidak dari dulu-dulu." Maka tak bisa lain, sebelum dana stimulus raib tak berbekas, pemerintah bersama DPR sudah harus menyiapkan penangkalnya. M. Taufiqurohman, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus