Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Pemkot Yogya Kritik Layanan Berjenjang BPJS Kesehatan

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan menimbulkan kekhawatiran tak hanya bagi masyarakat namun juga pemerintah daerah.

31 Oktober 2019 | 11.03 WIB

Aktivitas pelayanan di kantor BPJS kesehatan Jakarta Pusat. TEMPO/Tony Hartawan
Perbesar
Aktivitas pelayanan di kantor BPJS kesehatan Jakarta Pusat. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Yogyakarta - Kebijakan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan menimbulkan kekhawatiran tersendiri tak hanya bagi masyarakat namun juga pemerintah daerah. Wakil Walikota Yogyakarta, Heroe Poerwadi misalnya, yang menyoroti kemungkinan tingginya angka migrasi atau pindah kelas kepesertaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Perpindahan kelas kepesetaraan itu dikhawatirkan berlanjut dampaknya pada akses ke rumah sakit khususnya rumah sakit umum daerah. “Rumah sakit pemerintah daerah itu kelas B. Akan semakin turun jumlah pasiennya, selama sistem pelayanan BPJS berjenjang,” ujar Heroe di Yogyakarta, Rabu 30 Oktober 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Heroe menuturkan, dengan layanan berjenjang BPJS, kategori rumah sakit kelas D berkelimpahan pasien. Sebab, semua pasien harus memulai dari D, jika tidak tertangani baru ke C, jika masih tidak tertangani baru naik B dan kalau tetap tidak tertangani baru ke kelas A.

“Dengan sistem layanan berjenjang seperti itu, artinya investasi kami untuk membangun RSUD dengan membeli peralatan canggih, membangun gedung yang baik, dokter senior dan spesialis yang lengkap bisa menjadi sia-sia,” ujar Heroe.

Sebab, ujar Heroe, semua pasien untuk memperoleh layanan berkualitas harus urut rujukannya dari layanan tingkat D-C-B baru ke A. “Berapa lama waktunya ? Berapa biaya masyarakat untuk mobilitas layanan berjenjang itu. Pindah dari rumah sakit ke rumah sakit lainnya? Berapa tambahan biaya akibat tidak segera ditangani oleh dokter dan rumah sakit terbaik?,” ujarnya.

Heroe yakin, selama sistem layanan berjenjang masih diterapkan BPJS Kesehatan pelayanan tetap tidak akan efisien meskipun besaran iuran dinaikkan. Justru biaya pengobatan masyarakat akan semakin mahal. “Biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan pun kian tinggi. Sebab, pasien yang ditangani oleh rumah sakit tipe B atau A, berarti BPJS juga sudah membayar di rumah sakit tipe D dan C,” ujarnya.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menandatangani regulasi kenaikan iuran BPJS Kesehatan melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Dalam aturan itu, besaran iuran bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang ditanggung oleh APBN maupun peserta yang didaftarkan oleh pemerintah daerah (PBI daerah) sebesar Rp 42 ribu dan mulai berlaku 1 Agustus 2019. Pemerintah pusat memberikan bantuan pendanaan kepada pemerintah daerah sebesar Rp 19 ribu per peserta per bulan sejak Agustus 2019 untuk menutupi selisih kenaikan iuran di 2019.

Besaran yang sama, yaitu Rp 42 ribu, juga ditetapkan untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta Bukan Pekerja (BP) dengan layanan kelas III.

Sementara untuk PBPU dan Bukan Pekerja kepesertaan kelas II sebesar Rp110 ribu, dan kepesertaan kelas I sebesar Rp 160 ribu. Besaran iuran baru BPJS Kesehatan bagi peserta PBPU dan BP ini akan berlaku mulai 1 Januari 2020.

 

Rahma Tri

Rahma Tri

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus