Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pendanaan Transisi Energi Makin Seret Setelah Donald Trump Menjadi Presiden Amerika

Percepatan transisi energi Indonesia lewat skema JETP terancam akibat kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Mengapa?

29 Januari 2025 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bongkar muat batubara di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Agustus 2022. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Amerika Serikat hengkang dari Perjanjian Paris dan membekukan bantuan mitigas iklim ke luar negeri.

  • Keputusan Presiden Donald Trump bakal mempengaruhi pendanaan transisi energi melalui JETP di Indonesia.

  • Pemerintah berusaha mencari pendanaan lain setelah pendanaan transisi energi JETP seret.

KEMBALI terpilih untuk memimpin Amerika Serikat, sikap Donald Trump tak berubah. Ia masih menentang transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan. Sikap Trump tersebut mengancam upaya percepatan transisi energi di Indonesia lewat skema Just Energy Transition Partnership (JETP).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JETP merupakan hasil kerja sama Indonesia dengan International Partners Group (IPG) yang terdiri atas 11 negara. Amerika bersama Jepang terdaftar sebagai pemimpin dalam kemitraan tersebut. Negara-negara itu berkomitmen memberikan pendanaan sebesar US$ 11,6 miliar untuk membantu percepatan transisi energi di Indonesia. Selain itu, ada komitmen pembiayaan dari tujuh bank yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero sebesar US$ 10 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari total komitmen pendanaan IPG, Amerika menjanjikan sumbangan terbesar, yakni US$ 2,06 miliar. Pendanaan ini berupa hibah US$ 66,7 juta, pinjaman konsesional US$ 1 miliar, dan jaminan Multilateral Development Bank US$ 1 miliar. Adapun negara dengan pinjaman terbesar kedua adalah Jepang, dengan komitmen US$ 1,7 miliar.

Masalah muncul saat Donald Trump memutuskan Amerika hengkang dari Perjanjian Paris, komitmen yang diteken hampir semua negara untuk melawan perubahan iklim. Pada periode pertama pemerintahannya, Trump pernah melakukan hal yang sama. Namun presiden penerusnya, Joe Biden, memutuskan Amerika kembali bergabung pada 2020.

Setelah Amerika Keluar dari Perjanjian Paris

Perjanjian Paris merupakan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim. Kesepakatan ini diadopsi 196 negara dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UN Climate Change Conference (COP21) di Paris pada 12 Desember 2015 dan mulai berlaku pada 4 November 2016.

Tujuan utama perjanjian tersebut adalah kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat pada masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya menekan kenaikan suhu ke 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industrialisasi.

Perjanjian Paris merupakan tonggak penting dalam proses perubahan iklim multilateral. Sebab, untuk pertama kalinya, sebuah perjanjian yang mengikat semua negara dicapai untuk mengatasi perubahan iklim dan beradaptasi terhadap dampaknya. Perjanjian Paris berbeda dengan Protokol Kyoto tentang perubahan iklim yang berlaku tanpa dukungan negara-negara kunci, seperti Amerika Serikat dan Australia.

Setiap negara yang menandatangani Perjanjian Paris harus menentukan target dan langkah yang akan mereka lakukan agar suhu bumi tidak naik sesuai dengan target bersama. Target-target tersebut diterjemahkan ke dalam dokumen yang disebut Nationally Determined Contributions (NDC) atau Komitmen Kontribusi Nasional.

Adapun setelah dilantik pada 20 Januari 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan Perintah Eksekutif yang menyatakan Amerika menarik diri dari Perjanjian Paris. Dia menyebutkan aksi tersebut untuk menghentikan "tipuan perjanjian iklim Paris yang tidak adil dan sepihak".

Ini bukan pertama kalinya Trump memutuskan Amerika menarik diri dari Perjanjian Paris. Saat menjabat Presiden Amerika pada 2017, Trump juga melakukan hal itu. Bedanya, penarikan diri kali ini akan berlaku setelah setahun ditetapkan atau lebih cepat dari penarikan diri pada 2017 yang mulai berlaku setelah 3 tahun 6 bulan.

Keluarnya Amerika dari Perjanjian Paris diperkirakan memperburuk pemanasan global. Sebab, Amerika menghasilkan 13 persen emisi gas rumah kaca (CO2) global saat ini. Negeri Abang Sam juga bertanggung jawab atas sebagian besar CO2 yang dilepaskan ke atmosfer sejak Revolusi Industri.

Yang teranyar, pada 20 Januari 2025, Trump juga membekukan semua bantuan pembiayaan ke luar negeri dari Amerika yang dijanjikan dalam perundingan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa dan melarang pendanaan baru. Dia memerintahkan pengkajian semua program bantuan selama 90 hari. Lembaga pembangunan internasional negara tersebut, US Agency for International Development (USAID), termasuk lembaga yang harus menghentikan operasinya.

Keputusan tersebut diperkirakan mengganggu pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim secara global. Sebab, Amerika menyalurkan US$ 11 miliar pada 2024 untuk membantu negara-negara lain mengatasi perubahan iklim. 

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Yuliot Tanjung mengungkapkan, kementeriannya sedang mengevaluasi dampak keputusan Amerika keluar dari Perjanjian Paris terhadap pendanaan proyek transisi energi di Indonesia. "Kami masih mengkaji dampaknya. Hal ini baru disampaikan Presiden Trump," katanya setelah rapat kerja dengan Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 23 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.

Menurut Yuliot, Kementerian ESDM akan mengantisipasi dampak mundurnya Amerika dengan kebijakan-kebijakan yang dinilai menguntungkan masyarakat dan Indonesia.

Adapun Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menjelaskan, keluarnya Amerika dari Perjanjian Paris bakal berdampak pada pendanaan proyek transisi energi di Indonesia. Karena itu, pemerintah harus mencari alternatif untuk menggantikan peran Amerika. "Kalau negaranya memang tidak (berinvestasi di energi baru dan terbarukan), ya kami dorong dari negara lain," ujarnya.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana memberikan sinyal bahwa belum ada perubahan rencana pendanaan JETP dari negara-negara donor yang tergabung dalam IPG. "Kami terus memantau dan berkomunikasi, terutama mengenai komitmen Amerika mendukung JETP," ucapnya. Selain itu, pemerintah Indonesia menjalin komunikasi dengan negara lain, seperti Jepang dan negara-negara Eropa, untuk meningkatkan dukungannya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira berpendapat bahwa langkah Trump tersebut berisiko membuat JETP bubar. Kalaupun tetap utuh, implementasi dari kemitraan tersebut tak bakal berjalan mulus. "Dari segi pendanaan, JETP makin kritis," katanya kepada Tempo, Selasa, 28 Januari 2025.

Pendanaan JETP dari Amerika didominasi pinjaman lunak. Namun bantuan tersebut cukup membantu di tengah tingginya suku bunga saat ini. Sedangkan untuk mengandalkan pembiayaan tambahan dari negara anggota IPG lain, Bhima pesimistis. Kondisi perekonomian Jepang dan Jerman, misalnya, sedang tidak prima. Indonesia bakal makin kesulitan mengakses pembiayaan untuk beralih dari energi fosil.

Di tengah keterbatasan dana, Bhima khawatir muncul solusi palsu transisi energi. Alih-alih memanfaatkan energi terbarukan, ia waswas kondisi ini menjadi pembenaran pemerintah memperpanjang usia pembangkit listrik tenaga uap batu bara ataupun gas, menggunakan teknologi co-firing, serta memanfaatkan energi nuklir.

Menurut Bhima, pemerintah Indonesia masih bisa mengejar transisi energi dengan mencari pendanaan secara bilateral. Sejumlah negara terbukti aktif mendukung pembiayaan transisi energi lewat kerja sama bilateral, seperti Arab Saudi dan Norwegia. Sisi negatif kerja sama bilateral adalah sulitnya pengawasan publik dan proyeknya kerap tak terintegrasi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump berpidato dalam pertemuan konferensi anggota DPR dari Partai Republik di resor Trump National Doral, Miami, Florida, AS, 27 Januari 2025. REUTERS/Elizabeth Frantz

Direktur Eksekutif Yayasan Cerah Agung Budiono pun menilai pemerintah Indonesia perlu segera mengantisipasi kebijakan Donald Trump. Pasalnya, kata Agung, penghentian penyaluran bantuan ke luar negeri bakal berdampak pada JETP, seperti berhentinya pekerjaan sejumlah proyek JETP yang didukung USAID.

Salah satu antisipasi yang bisa dilakukan pemerintah adalah menjalin kerja sama bilateral. Cina bisa menjadi salah satu penolong lantaran cukup aktif mengembangkan energi terbarukan, meskipun pada saat yang sama tetap jorjoran menggunakan batu bara sebagai sumber energi. "Peluang mencari sumber dana baru sangat memungkinkan, tinggal bagaimana diplomasi iklim ini betul-betul dijalankan pemerintahan Prabowo Subianto," ujarnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa berpandangan, sikap Trump pada umumnya bakal menghambat semua aktivitas yang berkaitan dengan transisi energi, termasuk JETP. Besar dampaknya masih harus menunggu pengkajian pemerintah Amerika Serikat. Namun saat ini ia masih optimistis efeknya terhadap JETP masih minim.

Fabby ingat bahwa komitmen dukungan Amerika Serikat mulai berjalan sebelum Trump memimpin lagi. Pendanaan berbentuk jaminan investasi lewat Bank Dunia, misalnya, sudah disampaikan pemerintah negara tersebut beberapa tahun lalu. Sebagian dana hibah pun sudah digelontorkan untuk sejumlah proyek. "Kalau sudah dikontrak, mungkin tidak bisa dibatalkan, ya. Tinggal ditagih hasilnya," katanya. Dia juga masih optimistis pembiayaan dari sektor swasta tak akan terganggu oleh kebijakan Trump.

Sambil menunggu kepastian dari Negeri Abang Sam, Fabby mengingatkan agar pemerintah terus berbenah supaya iklim investasi di sektor energi terbarukan makin menarik. Dalam dokumen investasi dan kebijakan JETP, misalnya, terdapat rekomendasi menghapus kebijakan domestic market obligation untuk batu bara. Kebijakan ini menyulitkan energi terbarukan bersaing dari sisi harga dengan energi dari batu bara. Sayangnya, hingga saat ini pemerintah belum membahas penghapusan kebijakan tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Vindry Florentin

Vindry Florentin

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran tahun 2015 dan bergabung dengan Tempo di tahun yang sama. Kini meliput isu seputar ekonomi dan bisnis. Salah satu host siniar Jelasin Dong! di YouTube Tempodotco

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus