Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pengamat Dorong Media Massa Perbanyak Model Bisnis Agar Tak Bergantung Iklan

Pengamat menilai sebagian besar bisnis media massa bergantung pada iklan sehingga sangat tergantung pada platform-platform raksasa

7 Oktober 2024 | 20.40 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Bisnis media massa di Indonesia berada dalam situasi rentan. Akademisi sekaligus pengamat media, Ignatius Haryanto menilai, ketergantungan media massa terhadap iklan cukup tinggi namun porsi iklan untuk media massa kian berkurang menjadikan bisnis media semakin lesu. “Ada kecenderungan besar media bergantung pada iklan sehingga sangat tergantung pada platform-platform raksasa,” kata Ignatius saat dihubungi Tempo, Ahad, 6 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Platform raksasa yang dimaksud Ignatius di antaranya Google dan Meta yang mendistribusikan mayoritas publikasi-publikasi media massa. Menurutnya, platform-platform tersebut melalui algoritmanya mendikte kerja-kerja media. Indonesia Digital Conference (IDC), forum tahunan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), yang digelar 29 Agustus 2024 lalu juga membahas tentang minimnya porsi iklan bagi media massa atau publisher. Dalam siaran pers AMSI disebut perkiraan proyeksi tren belanja iklan pada 2024 mencapai Rp71,5 triliun. Namun, 80 persen di antaranya diperkirakan masuk ke platform digital seperti Google dan Meta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengenai kondisi tersebut, Ignatius berpendapat media massa perlu mencari model bisnis alternatif selain bergantung pada iklan. “Harus mencoba keluar dari jebakan platform,” kata dia. Ignatius menyebut salah satu alternatif yang bisa dilakukan dengan membuat kegiatan out of media yang merujuk pada aktivitas bisnis seperti event organizer hingga menggelar kelas-kelas pelatihan.

Selain itu, model bisnis berlangganan juga patut jadi pertimbangan. Sejumlah media, terutama yang dulunya berbasis cetak telah menerapkan mekanisme semacam ini. “Semuanya perlu dicoba. Saya kira masih ada peluang untuk tidak terjebak pada algoritma yang disusun perusahaan platform,” ujarnya.

Menurutnya, dalam menerapkan sistem langganan atau subscribtion based, media perlu melakukan pendekatan intensif kepada para audiens. Namun, pertama-tama harus melakukan assessment untuk mengenal lebih jauh kalangan mana yang menjadi pembaca.

Model bisnis berlangganan sudah berkembang di beberapa negara, salah satunya Amerika Serikat. Laporan Forbes.com berjudul Why Future of Media Is Subscribtion-Based, menceritakan bagaimana model bisnis itu mampu mengembangkan The New York Times (NYT).

Pada 2012, tulis laporan tersebut, The NYT memiliki empat saluran pendapatan yakni langganan cetak, iklan cetak, iklan digital, dan langganan digital. Namun, tiga saluran awal perlahan mengalami penurunan pendapatan. Sementara lini keempat, yakni langganan digital, justru tumbuh.

Mantan CEO NYT, Mark Thompson, mengatakan bahwa kunci untuk membuat orang rela membayar langganan adalah menciptakan berita yang menarik. Ia menegaskan bahwa ada berita yang ditulis dan dilaporkan dengan baik dan ada berita yang buruk. “Berita yang lebih baik membuat pengguna yang cerdas akan membayarnya,” kata Thompson, seperti dikutip dari Forbes.

Tercatat, pada 2022 lalu NYT memperoleh pendapatan sebesar US$ 2.3 miliar. US$ 1,55 miliar di antaranya berasal dari langganan cetak dan digital. Sementara 63 persen dari pendapatan langganan itu berasal dari digital.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus