"MENGURUS taxi tidak lepas dari hoki seseorang," Afandi
bercerita. Hoki? Maksudnya, nasib baik. "Kalau memang tidak lagi
hokinya, mobil masih baru dibawa 'ngebut oleh sopir--dan
tubrukan, rusak. otomatis keluar biaya. Padahal uang masuk belum
ada."
Afandi mengurus 36 taxi, juga mengelola satu bengkel untuk
reparasi dan serpis mobil di suatu wilayah Jakarta. Ia termasuk
tauke taxi gelap yang dalam gelombang pertama bergabung dengan
PT President Taxi yang didirikan tahun 1973 atas suatu SK
Gubernur DKI (aman Ali Sadikin). Pada mulanya dengan 100 unit
saja, kini armada PT President Taxi berkekuatan hampir 4000, dan
masih akan bertambah lagi hingga benar-benar akan mencapai 4000
pada pertengahan tahun ini. Sedikitnya ada 15 macam merek mobil
dalam armada itu, yang besarnya 60% dari semua taxi di DKI.
"Saya melihat menguntungkan kalau bisa jadi anggota President
Taxi," kata Afandi lagi. Kalau bisa? PT President Taxi kini
tidak menerima lagi permohonan keanggotaan baru tapi hanya
menyelesaikan proses mereka yang sudah mendaftar sebelumnya.
Proses iru belakangan ini memakan waktu lama, terutama karena
prioritas diberinya pada "golongan bermodal lemah" (baca
non-pri).
Namun taxi liar masih banyak herkeliaran di DKI ini, bahkan
berani mangkal menunggu penumpang di Kemayoran, Glodok dan Blok
M, Kebayoran. Dengan status "liar" atau "gelap", pemilik
menghadapi risiko ditangkap petugas patroli. Setidaknya, kena
pungli.
Walaupun dicegahnya, PT President Taxi toh menerima penggabungan
sedan milik non-pri. Agak besar juga jumlahnya. Contoh: ada
anggota Yayasan dengan 350 unit yang dikelola oleh tauke
non-pri. Yayasan itu membeking. Tiap unit yang bergabung berhak
membeli satu saham PT President Taxi. Saham itu berharga nominal
Rp 300.000. Sebanyak 1500 lembar saham dikeluarkannya pada tahap
pertama yang dimiliki 723 orang. Hampir 2100 anggota lainnya
belum mendapat saham. Tapi PT President Taxi, menurut Dir-Ut
Soemakto Sadarjoen, segera akan mengeluarkan lagi 3000 lembar
saham. Harga nominalnya tetap seperti yang lama tapi, kata
Soemakto, saham baru akan dijual di atas pari, yaitu Rp 400.000.
Dengan harga "atas pari" itu, perusahaan rupanya sekaligus mau
menimbulkan kesan kemajuannya.
PT President Taxi kenyataannya memang sudah maju hingga
manajemennya bersiap-siap pula untuk mendirikan beberapa cabang
usaha seperti perbengkelan, penyalur onderdil dan asuransi.
Sebagian pendukungnya kuatir kalau ekspansi itu membiakkan
penyakit baru.
Ekspansi atau tidak, PT President Taxi kini sebenarnya
dihadapkan pada soal peremajaan kendaraan. Bank Bumi Daya dan
Bank Pembangunan Daerah (DKI) memang mendukungnya dengan
kredit. Perusahaan menjamin penyaluran kredit bank untuk para
anggotanya yang sudah tiba waktunya mengganti kendaraan. Tapi
peremajaan bukanlah masalah kredit melulu. Harga kendaraan baru
-- Rp 4,2 juta kosong dan pasti Rp 5 juta dalam kondisi di
jalan -- sudah dianggap terlalu mahal untuk dijadikan taxi.
Para anggotanya lebih suka memilih mobil merek Jepang karena
harganya paling rendah dibanding dengan lainnya. Tapi "sesudah 3
tahun, taxi dengan mobil Jepang akan merongrong--tak ekonomis
lagi," demikian anggota Hasyman berhitung. "Apalagi jika dibeli
dengan kredit dan bunganya, harga taxi jatuhnya lebih mahal
lagi."
Namun peremajaan musti dilakukan. Pernah ada pemikiran supaya
mobil untuk taxi diperlakukan seperti kendardan niaga. Jadi,
supaya harganya bisa ditekan lagi dengan 50%. Ditjen ILM dari
Departemen Perindustrian sudah mengusulkan gagasan supaya taxi
digolongkan sebagai kendaraan niaga sejak 1974. Tapi Departemen
Keuangan menyambut dingin, mengingat penghasilan pajak akan
berkurang. Mau apa lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini