Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kritik Prof Suhadi, Kepada Negeri Kaya

Prof.dr. suhadi mangkusuwondo dikukuhkan sebagai guru besar feui. pidatonya "penataan kembali sistem perdagangan antar bangsa" ia melihat kepincangan antara negeri kaya dan negeri berkembang. (eb)

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH banyak bangku yang kosong di aula FKUI, Salemba 4, Jakarta ketika Prof. Dr. Suhadi Mangkusuwondo dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap FEUI 4 Maret lalu. Tak tampak mahasiswa di ruangan aula itu. Pintu-pintu di kampus pun diitutup, sedang di luar tampak banyak pasukan yang berjaga. Semua itu terjadi sekitar setengah jam selagi Suhadi membacakan pidatonya. Lalu acara yang dipimpin Rektor UI Prof.ir. Mahar Mardjono dan dihadiri Dewan Senat Guru Besar, seperti Prof. Widjojo Nitisaserol Prof. Sadli, Prof. Ali Wardhana, Prof. Subroto dan Prof. Slamet Imam Santoso bisa berlangsung dengan tenang hingga selesai. Dengan tenang pula lr. Suhidi, 50, membawakan pidtonya berjudul "Penataan Kembali Sistem Perdagangan antar Bangsa". Sebagai Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Suhadi memang aktif dalam berbagi forum internasional mengenai pembangunan dan perdagangan. Selain menjadi anggota tetap dalam sidang-sidang para Menteri Asean, adalah Suhidi yang mengetuai delegasi Indonesh ke sidang-sidang Komisi Konperensi Kerjasama Ekonomi Internasional (CIC), yang berlangsung di Paris, Januari 1976 hingga Juni 1977. Nao-Merkantilisme Ia melihat masih banyak kepincangan yang terjadi dalam hubungan perdagangan antara negeri kaya dengan negeri berkembang. Ia mengritik teori perdagangan antar bangsa ciptaan negeri-negeri kaya yang hingga kini tetap berpegang pada doktrin comparative COSt, sekalipun diakuinya ada terjadi beberapa perbaikan dalam teori tersehut. Berdasarkan doktrin itu, kata Suhadi, ". . . seolah-olah negara-negara sedang berkemban harus tetap sebagai penghsil bahan mentah dan negara maju sebagai penghasil barang industri dengan menggunakan Comparative Cost sebagai dalih." Jika terus dipertahankan, ia melihat pola perdagangan semacam itu akan sangat merugikan negara berkembang. Kerugian itupun belakangan ini dirasakan pula oleh beberapa negara maju. Lihatlah Jepang dan Jerman Barat yang berlari lebih kencang dari rekan-rekannya di Eropa dan AS. Maka timbulnya sikap proteksionis dari AS dan MEE terhadap masuknya barang-barand dari luar, oleh Suhadi dilihat sebagai menjelma kembalinya faham Neo-Merkantilisme. " . . . dalam tahun 70-an kita kembali menghadapi semakin kuatnya pendapat bahwa masing-masing negara peramatima harus mengutamakan perekonomian nasionalnya, kalau perlu dengan membatasi atau mengorbankan perdagangan internasional," katanya. Banyak lagi soal yang ia lontarkan menyangkut perluya penataan kembali perdagangan antar bangsa itu. Beberapa petikan menarik selanjutnya dari pidato pengukuhan yang 45 halaman itu:  Perjanjian Umum tentang Tarip dan Perdagangan (GATT) Meskipun volume perdagangan selama 25 tahun setelah perang dunia kedua terus meningkat, negara-negara yang sedang berkembang semakin merasakan kekurangan-kekurangan dati sistim GATT ini. Terutama mereka merasakan bahwa keuntungan yang didapat dari perdagangan antar bangsa sebagian besar jatuh ke tangan negara-negara maju, sedangkan negara-negara yang belum berkembang hanya sedikit saja mendapatkan manfaat dari perdagangan itu."  Sistem Preferensi (CSP): Meslcipun GSP itu merupakan penyimpangan dari prinsip pokok GATT, dalam prakteknya GSP mengandung banyak kelemahan. Kelemahan utama adalah bahwa jumlah barang yang memperoleh fasilitas GSP terlalu sedikit, juga masih adanya pembatasan berupa quota dan ceiling. Tapi kelemahan yang lebih pokok ialah sistem GSP sekarang ini terlalu tergantung kepada keputusan negara-negara industri. Kalau satu saat negara industri memutuskan untuk tidak lagi memberikan preferensi, mereka dapat menghentikannya secara sepihak.  Dana Moneter Internasional (IMF): Seperti juga ketentuan-ketentuan dalam GATT, maka ketentuan-ketentuan IMF terutama mencerminkan kepentingan negara-negara industri. Misalnya, sebagian terbesar dari quota pinjaman IMF disediakan bagi negara-negara industri, dan di dalam pimpinan IMF sebagian besar suara adalah di tangan negara-negara industri, sehingga keputusan-keputusan yang diambil oleh pimpinan IMF senantiasa mencerminkan kepentingan-kepentingan negara industri. Dalam memberi pinjaman IMF sering mengajukan syarat-syarat yang oleh banyak negara berkembang dianggap sebagai campur tangan dalam urusan dalam negerinya.  Program Terpadu Komoditi hingga saat ini dialog antara negara industri dan negara berkembang mengenai komoditi ini masih terus berlangsung, baik mengenai Dana Bersama maupun mengenai persetujuan masing-masing komoditi. Hingga saat ini belum ada tercapai kesepakatan, bahkan dialog mengenai pembentukan Dana Bersama telah macet dan mengalami jalan buntu. Sebab utamanya ialah di satu pihak negara-negara berkembang menginginkan perombakan struktur yang ada, baik di bidang perdagangan, moneter, komoditi dan lainnya. Sedang negara industri umumnya tidak menghendaki perombakan struktur, melainkan memperbaiki saja struktur yang telah ada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus