MASIH banyak bangku yang kosong di aula FKUI, Salemba 4,
Jakarta ketika Prof. Dr. Suhadi Mangkusuwondo dikukuhkan
sebagai Guru Besar Tetap FEUI 4 Maret lalu. Tak tampak
mahasiswa di ruangan aula itu. Pintu-pintu di kampus pun
diitutup, sedang di luar tampak banyak pasukan yang
berjaga. Semua itu terjadi sekitar setengah jam selagi
Suhadi membacakan pidatonya. Lalu acara yang dipimpin
Rektor UI Prof.ir. Mahar Mardjono dan dihadiri Dewan
Senat Guru Besar, seperti Prof. Widjojo Nitisaserol Prof.
Sadli, Prof. Ali Wardhana, Prof. Subroto dan Prof. Slamet
Imam Santoso bisa berlangsung dengan tenang hingga selesai.
Dengan tenang pula lr. Suhidi, 50, membawakan pidtonya
berjudul "Penataan Kembali Sistem Perdagangan antar Bangsa".
Sebagai Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Suhadi memang aktif
dalam berbagi forum internasional mengenai pembangunan dan
perdagangan. Selain menjadi anggota tetap dalam sidang-sidang
para Menteri Asean, adalah Suhidi yang mengetuai delegasi
Indonesh ke sidang-sidang Komisi Konperensi Kerjasama Ekonomi
Internasional (CIC), yang berlangsung di Paris, Januari 1976
hingga Juni 1977.
Nao-Merkantilisme
Ia melihat masih banyak kepincangan yang terjadi dalam hubungan
perdagangan antara negeri kaya dengan negeri berkembang. Ia
mengritik teori perdagangan antar bangsa ciptaan negeri-negeri
kaya yang hingga kini tetap berpegang pada doktrin comparative
COSt, sekalipun diakuinya ada terjadi beberapa perbaikan dalam
teori tersehut. Berdasarkan doktrin itu, kata Suhadi, ". . .
seolah-olah negara-negara sedang berkemban harus tetap sebagai
penghsil bahan mentah dan negara maju sebagai penghasil barang
industri dengan menggunakan Comparative Cost sebagai dalih."
Jika terus dipertahankan, ia melihat pola perdagangan
semacam itu akan sangat merugikan negara berkembang.
Kerugian itupun belakangan ini dirasakan pula oleh beberapa
negara maju. Lihatlah Jepang dan Jerman Barat yang berlari lebih
kencang dari rekan-rekannya di Eropa dan AS. Maka timbulnya
sikap proteksionis dari AS dan MEE terhadap masuknya
barang-barand dari luar, oleh Suhadi dilihat sebagai menjelma
kembalinya faham Neo-Merkantilisme. " . . . dalam tahun 70-an
kita kembali menghadapi semakin kuatnya pendapat bahwa
masing-masing negara peramatima harus mengutamakan perekonomian
nasionalnya, kalau perlu dengan membatasi atau mengorbankan
perdagangan internasional," katanya.
Banyak lagi soal yang ia lontarkan menyangkut perluya
penataan kembali perdagangan antar bangsa itu. Beberapa
petikan menarik selanjutnya dari pidato pengukuhan yang 45
halaman itu:
Perjanjian Umum tentang Tarip dan Perdagangan (GATT) Meskipun
volume perdagangan selama 25 tahun setelah perang dunia kedua
terus meningkat, negara-negara yang sedang berkembang semakin
merasakan kekurangan-kekurangan dati sistim GATT ini. Terutama
mereka merasakan bahwa keuntungan yang didapat dari perdagangan
antar bangsa sebagian besar jatuh ke tangan negara-negara maju,
sedangkan negara-negara yang belum berkembang hanya sedikit saja
mendapatkan manfaat dari perdagangan itu."
Sistem Preferensi (CSP): Meslcipun GSP itu merupakan
penyimpangan dari prinsip pokok GATT, dalam prakteknya GSP
mengandung banyak kelemahan. Kelemahan utama adalah bahwa jumlah
barang yang memperoleh fasilitas GSP terlalu sedikit, juga masih
adanya pembatasan berupa quota dan ceiling. Tapi kelemahan yang
lebih pokok ialah sistem GSP sekarang ini terlalu tergantung
kepada keputusan negara-negara industri. Kalau satu saat negara
industri memutuskan untuk tidak lagi memberikan preferensi,
mereka dapat menghentikannya secara sepihak.
Dana Moneter Internasional (IMF): Seperti juga
ketentuan-ketentuan dalam GATT, maka ketentuan-ketentuan IMF
terutama mencerminkan kepentingan negara-negara industri.
Misalnya, sebagian terbesar dari quota pinjaman IMF disediakan
bagi negara-negara industri, dan di dalam pimpinan IMF sebagian
besar suara adalah di tangan negara-negara industri, sehingga
keputusan-keputusan yang diambil oleh pimpinan IMF senantiasa
mencerminkan kepentingan-kepentingan negara industri. Dalam
memberi pinjaman IMF sering mengajukan syarat-syarat yang oleh
banyak negara berkembang dianggap sebagai campur tangan dalam
urusan dalam negerinya.
Program Terpadu Komoditi hingga saat ini dialog antara negara
industri dan negara berkembang mengenai komoditi ini masih terus
berlangsung, baik mengenai Dana Bersama maupun mengenai
persetujuan masing-masing komoditi. Hingga saat ini belum ada
tercapai kesepakatan, bahkan dialog mengenai pembentukan Dana
Bersama telah macet dan mengalami jalan buntu. Sebab utamanya
ialah di satu pihak negara-negara berkembang menginginkan
perombakan struktur yang ada, baik di bidang perdagangan,
moneter, komoditi dan lainnya. Sedang negara industri umumnya
tidak menghendaki perombakan struktur, melainkan memperbaiki
saja struktur yang telah ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini