Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
APBN 2024 mengalokasikan dana subsidi energi sebesar Rp 186,9 triliun.
Anggota DPR mengusulkan subsidi elpiji diberikan langsung kepada sasaran dalam bentuk uang tiap bulan.
Sebanyak 86 persen Pertalite dikonsumsi oleh 30 persen orang terkaya.
Baru-baru ini beredar potongan video seorang artis sinetron yang memasak menggunakan elpiji tabung 3 kilogram di rumahnya. Video itu menuai kritik karena elpiji tabung "melon" adalah produk bersubsidi bagi masyarakat miskin dan rentan miskin.
Video yang diunggah di Instagram tersebut kini sudah dihapus. Sang artis juga telah memberikan klarifikasi. Menurut dia, elpiji 3 kg itu dipinjamkan oleh penjual gas langganannya lantaran stok elpiji nonsubsidi habis.
Potongan video ini menjadi contoh ketidaktepatan penyaluran subsidi energi. Pemerintah kerap menyebutkan masih banyak masyarakat mampu yang mengkonsumsi bahan bakar minyak (BBM), liquified petroleum gas (LPG), dan listrik bersubsidi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah berencana mengevaluasi kebijakan subsidi energi. Menurut dia, penyaluran subsidi yang tidak tepat sasaran telah menambah beban keuangan negara.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2024, pemerintah mengalokasikan dana subsidi energi sebesar Rp 186,9 triliun. Jumlah itu meningkat dari realisasi tahun lalu, yakni Rp 159,6 triliun. “Penyaluran subsidi tentunya menjadi catatan bagi pemerintah,” katanya, Selasa lalu.
Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Eddy Soeparno bahkan menuturkan saat ini sebanyak 80 persen pengguna elpiji tabung melon adalah masyarakat mampu. Masalahnya, belum ada aturan jelas dan baku tentang kriteria penerima subsidi elpiji.
“Seharusnya dijelaskan siapa yang berhak membeli elpiji bersubsidi,” katanya kepada Tempo, kemarin. Politikus Partai Amanat Nasional ini menilai pembatasan subsidi perlu dilakukan, misalnya hanya untuk masyarakat yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), usaha mikro, dan lembaga sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, ia mengimbuhkan, perlu sanksi tegas bagi penyalur yang menjual elpiji bersubsidi tanpa mempedulikan kriteria penerimanya. Penindakan juga perlu diterapkan bagi pembeli yang tidak berhak. Dia yakin cara tersebut bisa mereduksi penggunaan elpiji bersubsidi.
Diganti dengan Subsidi Tunai
Eddy juga merekomendasikan alternatif lain untuk mengatasi masalah penyaluran, yakni transfer tunai. Caranya, subsidi diberikan langsung kepada sasaran dalam bentuk uang setiap bulan untuk membeli elpiji. Besarannya, misalnya, Rp 100 ribu per bulan. Sementara itu, elpiji dipasarkan dengan harga normal. “Dengan begitu, pemantauan terhadap penggunaan dana subsidi menjadi lebih jelas,” ujarnya.
Ketidaktepatan subsidi juga terjadi dalam penyaluran BBM. Hingga saat ini, masih banyak masyarakat mampu yang membeli BBM bersubsidi jenis Pertalite dan solar. Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, berujar bahwa pemerintah belum menangani masalah tersebut secara serius. Padahal, jika dibiarkan, subsidi BBM akan terus-menerus membebani keuangan negara.
Pada 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengatakan sebanyak 86 persen Pertalite dikonsumsi oleh 30 persen orang terkaya. Begitu pula dengan solar. Menurut Menteri Keuangan, dari total Rp 143 triliun anggaran subsidi solar, sebesar Rp 127 triliun atau 89 persen digunakan oleh orang kaya dan dunia usaha. “Artinya, jika penyaluran subsidi tepat sasaran, lebih dari Rp 100 triliun uang negara terselamatkan,” kata Fahmy.
Fahmy juga mendesak pemerintah segera merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 yang mengatur penyaluran subsidi BBM. Dia menyarankan pemerintah menetapkan kriteria penerima subsidi energi berdasarkan DTKS serta jenis kendaraan yang bisa membeli Pertalite. “Digitalisasi pembelian saja tidak cukup, penindakannya juga harus tegas,” dia mengungkapkan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral saat ini sedang membahas revisi Perpres No. 191 Tahun 2014. Menteri Energi Arifin Tasrif menyebutkan nantinya kriteria konsumen yang berhak membeli BBM bersubsidi diatur. Dia menjanjikan revisi Perpres No. 191 Tahun 2014 rampung dalam beberapa bulan ke depan.
Suasana pengisian bahan bakar minyak di SPBU Kuningan, Jakarta, 12 Maret 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Digitalisasi Penyaluran BBM
Bersamaan dengan pembahasan revisi Perpres No. 191 Tahun 2014, PT Pertamina (Persero) juga melakukan beberapa upaya pembatasan agar BBM bersubsidi hanya dikonsumsi oleh yang berhak. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan salah satu upayanya adalah program penguatan sarana dan fasilitas digitalisasi di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
“Hasilnya, makin banyak SPBU yang terkoneksi dengan sistem digitalisasi Pertamina sehingga memudahkan pemantauan dan pengawasan,” ujarnya.
Pertamina juga mengembangkan sistem peringatan untuk mendeteksi transaksi BBM bersubsidi yang tidak wajar. Contohnya adalah pengisian solar di atas 200 liter untuk satu kendaraan bermotor pada hari yang sama serta pengisian BBM bersubsidi dengan tidak memasukkan nomor kendaraan.
Pertamina mengklaim, sejak menerapkan implementasi sistem pengawasan digital, perusahaan berhasil mengurangi risiko penyalahgunaan BBM bersubsidi senilai US$ 200 juta atau setara dengan Rp 3,04 triliun selama Agustus 2022 hingga Desember 2023.
Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Saleh Abdurrahman, menyatakan pemerintah juga sudah melakukan pengawasan melalui penerapan QR code. Sebelum penerapan QR code, pengguna bisa mengisi BBM bersubsidi berkali-kali dalam sehari, padahal jatah mobil pribadi adalah 60 liter per hari.
“Sekarang, kalau sudah mengisi 60 liter di SPBU A, tidak bisa lagi membeli di SPBU lain di hari yang sama,” ucapnya, kemarin. Digitalisasi ini juga berlaku bagi petani, nelayan, dan pelaku usaha mikro lewat penerbitan surat rekomendasi oleh pemerintah daerah untuk meminimalkan penyalahgunaan.
Ia berharap revisi Perpres No. 191 Tahun 2014 bisa segera terbit. “Revisi perpres itu akan lebih ketat mengatur siapa saja yang boleh mengkonsumsi BBM bersubsidi dan siapa yang mendapat penugasan atau penyalur.”
***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo