Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Penyebab Internet RI Lemot, Dari Geografi hingga Infrastruktur

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerald Plate membeberkan enam faktor penyebab kecepatan koneksi internet rata-rata Indonesia rendah.

3 Mei 2020 | 16.48 WIB

Menteri Komunikasi dan Infomatika Johnny G Plate saat jumpa media di kantornya, Jakarta, Senin, 28 Oktober 2019. TEMPO/Hendartyo Hanggi
Perbesar
Menteri Komunikasi dan Infomatika Johnny G Plate saat jumpa media di kantornya, Jakarta, Senin, 28 Oktober 2019. TEMPO/Hendartyo Hanggi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate membeberkan enam faktor penyebab kecepatan koneksi internet rata-rata Indonesia berada di peringkat keempat terendah dibanding 40 negara lainnya. Pertama, faktor geografis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Indonesia memiliki bentangan wilayah geografis yang sangat luas serta kondisi yang berbeda-beda," katanya saat dihubungi Tempo pada Ahad, 3 Mei 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan riset yang dirilis Hootsuite, pada Januari 2020, kecepatan Internet Indonesia rata-rata hanya 20,1 Mbps atau terendah keempat dibanding lebih dari 40 negara lainnya. Kecepatan itu jauh di bawah rata-rata dunia (worldwide) yang mencapai 73,6 Mbps.

Johnny menjelaskan, sebagian wilayah Indonesia memiliki kontur geografis berupa pegunungan dan banyak sungai. Kondisi ini menyebabkan kendala terhadap pembangunan infrastruktur fisik termasuk infrastruktur telekomunikasi.

Kedua, tidak meratanya infrastruktur, khususnya untuk jaringan yang berhubungan langsung dengan pelanggan. Johnny mengatakan masyarakat umumnya Indonesia menggunakan jaringan seluler (mobile broadband) sebagai jaringan aksesnya. Lantaran jaringan seluler menggunakan spektrum frekuensi radio sebagai media pengantar, ada kerentanan terhadap gangguan sehingga kualitas jaringan yang diterima masyarakat kurang optimal.

Ketiga, faktor daya beli masyarakat. Menurut Johnny, hampir seluruhnya, atau setidaknya 97 persen masyarakat Indonesia masih menggunakan Internet melalui layanan seluler dengan skema prabayar yang dinilai lebih terjangkau. Sedangkan masyarakat yang berlangganan menggunakan jaringan serat optik (FTTH) jumlahnya sedikit karena harganya relatif mahal.

Dengan kondisi ini, akhirnya operator telekomunikasi memilih menjual paket Internet dengan sistem kuota yang terjangkau, namun terbatas secara kuota pemakaian. "Nyaris tidak ada operator yang menawarkan pemakaian yang benar-benar unlimited," ujarnya.

Bila ada operator yang menawarkan pemakaian tak terbatas, umumnya manajemen menerapkan Fair Usage Policy (FUP). Sistem ini akan menurunkan kecepatan pengguna jika pemakaiannya dianggap melebihi batas wajar.

Selanjutnya, faktor keempat adalah jumlah pengguna Internet yang besar. Berdasarkan data Kementerian Kominfo, saat ini jumlah pengguna Internet Indonesia di atas 175 juta orang. Kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap kapasitas yang harus disediakan oleh penyelenggara telekomunikasi.

Selain itu, angka pengguna yang besar juga berpengaruh terhadap statistik yang mempengaruhi nilai-nilai hasil pengukuran. Adapun faktor kelima, masih perlunya pembangun jaringan the last mile serat optik dan perangkat elektronik lainnya sebagai pendukung Palapa Ring.

Infrastruktur ini untuk menjangkau wilayah kecamatan dan desa sampai pemukiman pengguna internet di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Terakhir, faktor keenam, Johnny menduga ada bias dari metodologi yang digunakan Hootsuite.

"Apabila dikaji lebih dalam, dapat kita ketahui bahwa laporan dari Hootsuite tersebut untuk data internet connection speed yang digunakan bersumber dari Ookla. Ookla hanyalah salah satu dari segelintir penyedia pengukuran kecepatan broadband di dunia," katanya.

Johnny memandang, setiap penyedia pengukuran memiliki metodologi pengukuran yang berbeda-beda. Sehingga seumpama dibuat komparasi, akan melahirkan perdebatan terkait metodologi serta bias dalam pengambilan sampling yang dilakukan.

"Salah satu bias yang sering mencuat adalah bahwa adanya kecenderungan pengguna untuk melakukan pengujian kecepatan internet pada kondisi jaringan tidak bagus (seperti yang disampaikan oleh Steve Bauer dkk dari MIT dalam Understanding Broadband Speed Measurements)," ucapnya.

Adapun dalam penelitian Hootsuite, Indonesia tampak kalah dengan beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Thailand, Vietnam, Singapura, dan Malaysia. Bahkan, Singapura tercatat memiliki kecepatan jaringan tertinggi mencapai 200,1 Mbps,

Kondisi yang sama terjadi untuk kecepatan mobile Internet. Indonesia rata-rata hanya memiliki kecepatan 13,3 Mbps atau terendah kedua di antara negara-negara yang ditampilkan dalam riset tersebut.

FRANCISCA CHRISTY ROSANA

 

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus