INDUSTRI karoseri akhirnya tersabet buntut keloyoan penjualan mobil- mobil kecil: kuartal kedua tahun ini permintaan rata-rata turun 25% sampai 75%. Penurunan tajam mulai terjadi sesudah mobil semacam Daihatsu dan Suzuki minibus naik harganya, karena dikenai pajak pertambahan nilai (10%) dan pajak penjualan barang mewah (20%), April lalu. "Kalau tahun ini kami bisa bertahan, sudah untung," ujar Rudy Tenggala, pemilik industri karoseri Mitra, Surabaya. Mitra adalah sebuah contoh betapa usaha karoseri kini sedang peot. Masa suram mulai dimasukinya, 1982, tak lama sesudah harga BBM untuk kesekian kalinya naik. Tahun itu, pembuatan karoseri turun dari rata-rata 100 unit jadi 90 unit setiap bulan. Kemelorotan terus terjadi tahun-tahun berikutnya, hingga kuartal kedua 1985 ini, Mitra setiap bulan hanya mengerjakan pembuatan karoseri untuk 25 sampai 30 mobil. Cerita lebih pilu terdengar dari PT Amalgam Body Manufacturing Plant di Jakarta. Ketika sektor industri ini memasuki masa keemasan, 1979-1980, Amalgam setiap bulan sudah pasti bisa memperoleh Pesanan membuat 400 karoseri kendaraan dari pelbagai tipe - termasuk ratusan bis Damri, bis instansi pemerintah, dan bis kota. Kata Tri Budi Wahono, manajer pemasarannya, "Ketika itu pekerjaan datang sendiri, tanpa kami harus mencarinya, sampai pertengahan tahun lalu." Tingginya volume pekerjaan itu, apalagi ditambah keyakinan Amalgam akan mendapat pesanan membuat 1.000 karoseri bis pemerintah, menyebabkan manajemen perusahaan ini memutuskan untuk menambah kapasitas produksi dengan investasi Rp 6,7 miIyar. Pabrik baru yang dibangun di Citeureup, Bogor, itu selesai didirikan 1983 lalu. "Saat itu kami begitu yakin, prospek akan sangat baik di tahun 1984-1985," ujar Budi. Berbekal keyakinan itu, maka 400 buruh borongannya kemudian diangkat sebagai pegawai tetap. Tapi yang terjadi ternyata sebaliknya: Amalgam hanya kebagian membuat karoseri 50 bis pada pertengahan 1984 itu. Pesanan karoseri mobil-mobil di bawah 1 ton juga melorot. Kelesuan itu akhirnya memaksa Amalgam aktif di luar pabrik. Tapi tetap saja seret. Sejak Maret lalu, perusahaan hanya membuat karoseri untuk 60 mobil setiap bulan, padahal kapasitasnya 400. Supaya biaya bisa dipangkas, 130 karyawannya lalu dirumahkan. Dan agar perputaran dana tetap baik, Amalgam kini juga membuat pelbagai komponen mobil. Tentu tidak semua dari 172 anggota Asosiasi Industri Karoseri Indonesia (Askindo), yang sebagian besar sedang loyo, bisa berikhtiar semacam itu. Bahkan PT Pulogadung Pawitra Laksana (PPL), yang separuh sahamnya dipegang Astra International Inc., terpaksa menjual sebagian kekayaan perusahaan dan merumahkan 36 karyawannya untuk mengatasi beban utangnya. PPL sekarang hanya membuat 50 karoseri - padahal dua tahun lalu setiap bulan membuat 200. Diakui Edward Wanandi, presiden direktur PPL, pemegang saham dianggapnya terlalu berani menanamkan Rp 2 milyar. "Karena terlalu optimistis kami jadi babak belur," katanya. Dua tindakan yang bisa dilakukan, antara lain, membatasi jumlah buruh borongan (karyawan) dan memperkecil persediaan bahan baku. Amalgam dan PPL bahkan mengaku tidak membuat persediaan pelat baja - biasanya mereka membuat persediaan untuk tiga bulan. "Sekarang kami beli bahan baku secukupnya saja," ujar Budi Wahono dari Amalgam. Dalam situasi suram seperti itu, ada juga industri karoseri yang bintangnya tetap cerah. PT New Armada di Magelang, misalnya, tahun ini setiap bulan bisa mengerjakan pesanan 175 karoseri - naik dari rata-rata 150 pada tahun sebelumnya. Kapasitas industri ini sebenarnya 500 unit setiap bulan. Kata J. Soentoro, wakil direktur New Armada, penurunan tajam pernah terjadi awal 1985. "Sesudah terjadi pesanan mencolok menjelang lebaran, pesanan sekarang normal kembali," ujarnya. Usahanya memang keras. New Armada berusaha mengembangkan usaha dengan menjadi penyalur Mitsubishi di Kebumen dan Jakarta. Lalu di Magelang sendiri jadi penyalur Daihatsu dan Honda. Dengan menjadi penyalur, kontak dengan konsumen bisa dilakukan dengan intensif. Dari cabangnya diJakarta, New Armada bahkan bisa memperoleh pesanan dari luar Jawa. Dengan upaya itu, maka 725 pekerjanya (yang sebagian besar buruh borongan) hingga kini tetap masih punya kesibukan. Kasus New Armada itu tampaknya menunjukkan bahwa industri karoseri, yang mempunyai jaringan pemasaran, bakal tahan menghadapi pukulan resesi. Alexander Motor di Jakarta rupanya juga bernasib cukup baik - karena kebetulan bagian pemasarannya bekas orang Suzuki. Hampir sebagian besar pesanan, yang 90-an unit setiap bulan (tahun lalu bisa sampai 170 unit), datang dari pelbagai penyalur Suzuki. Penciutan pekerjaan memang terjadi setelah harga untuk membuat karoseri naik, sejak April, gara-gara terkena ketentuan pajak baru. Harga untuk membuat karoseri minibus dari yang sederhana sampai bagus, yang semula bergerak dari Rp 1,1 juta sampai Rp 1,3 juta, kini sudah Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta. Jenis Kijang kini bergerak antara Rp 1,5 juta dan Rp 2,3 juta. Naiknya harga pelat baja untuk membuat body, dari Rp 520 jadi Rp 590 per kg (naik 32%), jelas menjadi penyumbang terbesar perubahan harga itu. Untuk memikat konsumen, industri karoseri hampir setiap saat berusaha memperkenalkan model-model menarik - seperti karoseri untuk Kijang yang menyerupai Suzuki Jimny atau Isuzu Trooper. Harganya tentu mahal : karoseri Kijang model Suzuki Jimny bikinan New Armada, misalnya, Rp 2,3 juta. Malindo di Malang memperkenalkan karoseri eksklusif Daihatsu Jeta dengan cat tahan gores, bangku yang mudah diatur, dan interior luks, berharga Rp 1,3 juta. TAPI tetap saja usaha ekstra itu tidak menolong menaikkan pesanan industri karoseri, yang kebanyakan memperoleh order dari para penyalur. Jika keadaan itu dibiarkan berkepanjangan, investasi milyaran pada sekitar 400 industri karoseri itu tentu bakal jadi barang terbuang, dan buruh juga akan Jadi korban. Untuk mengatasi situasi itu, seorang bankir menyarankan agar industri karoseri tadi bergabung guna mencapai tingkat efisiensi maksimal. Dengan cara itu, bagian dari pembuatan komponen tertentu dilakukan di tempat terpisah sebelum akhirnya dirakit di satu tempat - semacam industri pesawat terbang. Menurut Edward Wanandi, PPL juga pernah menempuh cara itu. Di luar dugaan, pembuatan sejumlah komponen oleh Astra itu jatuhnya malah lebih mahal. Kata dia, menggabungkan mereka juga tidak mungkin, karena struktur modal, sistem produksi dan fasilitas sangat beragam. Singkat kata, merjer merupakan hal "yang tidak mungkin", ujarnya. Para pemilik industri karoseri yang lain, ternyata, juga berpendapat serupa. Kalau sudah begini, tinggal menunggu saja siapa yang punya napas panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini