MISI Kadin Indonesia ke RRC tampaknya mengantungi banyak cerita sukses. Dari Negeri Tirai Bambu itu, sesudah tujuh hari mengunjungi Beijing dan Shanghai, delegasi dagang bisa memperoleh persetujuan pembelian beberapa mata dagangan senilai US$ 300 juta. Angka itu perlu dikemukakan ketua Kadin Sukamdani Gitosardjono. Jumat malam lalu, ketika memberikan pidato penutupan misi di hotel Peace, Shanghai. Menurut Sukamdani, pihak RRC telah menyatakar niatnya untuk membeli (letter of intent) 250 ribu ton semen (US$ 100 juta), karet alam (US$ 75 juta), pupuk (sekitar US$ 25 juta), tekstil sintetis (US$ 60 juta), cokelat dan kopi (US$ 20 juta) kayu lapis (US$ 12,5 juta) kayu gergajian dan besi beton (US$ 27,5 juta). "Saya masih prihatin, dan belum merasa puas sebelum persetujuan yang telah dicapai itu direalisasikan," katanya. Sukanto Tanoto, direktur utama PT Raja Garuda Mas (kayu lapis), percaya bahwa sebagian besar persetujuan itu akan dipenuhi. Transaksi dengan pedagang Cina biasanya sering dilakukan secara lisan, tidak legalistis seperti pengusaha Barat - cukup saling mempercayai. Seorang pengurus Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendukungnya Max Mulyadi Supangkat dari API itu menolak anggapan bahwa persetujuan RRC membeli tekstil sintetis, yang imbal beli dengan kapas itu, bersifat politis. Bagaimana realisasi persetujuan ltu, tentu, masih harus dilihat. Jika Beijing lebih mengutamakan pertimbangan politik, boleh jadi, devisa sebesar itu bakal cepat berada di tangan. Soalnya tentu akan jadi lain bila pertimbangan ekonomi lebih diutamakan para teknokrat RRC, yang sekarang sedang berusaha mengendalikan pengeluaran devisa. Beberapa pengusaha Jepang sudah merasakan betapa tidak menyenangkan akibat langkah pengetatan itu. Mitsubishi Motor Corp., misalnya, gagal menjual 700 truk ringan Delica ke Hainan, gara-gara L/C itu hingga kini belum juga dibuka - sekalipun kontrak sudah diteken tahun lalu. Perakitan televisi warna patungan Mitsui di Tianjing, belum lama ini, dilaporkan memotong 30% tingkat produksinya yang 300 ribu unit setahun mulai Juni lalu. Tindakan pengurangan produksi itu terpaksa dilakukan gara-gara Beijing ingin menghemat pengeluaran devisanya. Kesadaran untuk melakukan pengetatan itu dilakukan sejak April lalu, ketika cadangan devisa dirasakan mulai menipis. Di bulan itu, menurut majalah Business Week, cadangan devisa RRC tinggal US$ 11,3 milyar. Penggerogotan terhadap devisa mulai terasa deras, ketika Beijing menggenjot secara besar-besaran impor barang modal dan bahan penolong untuk mendorong pertumbuhan industrinya. Sayang, usaha itu tidak diimbangi kenaikan ekspor barang-barang manufaktur dan minyaknya. Akibatnya: neraca perdagangannya defisit cukup besar sejak kuartal ketiga 1984 sampai kuartal pertama 1985. Secara akumulatif defisit selama tiga kuartal itu ditaksir meliputi US$ 2,7 milyar. Penyumbang defisit terbesar, tentu, Jepang. Impor pesawat televisi dari Jepang, pada semester pertama 1985 ini, naik hampir enam kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Begitu juga lemari es. Bahkan impor mobil naik sebesar hampir 12 kali lipat. Pada akhirnya, usaha Beijing melecut ekspansi ekonominya menyebabkan pertambahan uang beredar naik dengan cepat, dan seperti sudah diduga inflasi meledak di luar kontrol pemerintah. Tahun lalu, para pengamat asing memperkirakan laju inflasi sampai 16% - sementara Beijing mengumumkan hanya 3% sampai 4%. Sejak pemerintah melepaskan kontrol harga atas pembekalan bahan makanan, mulai April, harga daging di Shanghai naik 80%. Babi naik hampir 40%, dan harga sayur-sayuran naik dua kali lipat. Sejumlah kenyataan itu rupanya cukup merisaukan. April lalu, Beijing mengangkat Chen Muhua, 64, sebagai gubernur Bank Rakyat Cina (Zhongguo Renmin Yinhang) menggantikan Lu Peijan. Tugas utama Muhua, sebagai gubernur bank sentral, cukup berat: memerangi inflasi dan mengendalikan pemberian kredit bank-bank di daerah. Beberapa tahun terakhir ini, memang, banyak bank di daerah dengan sesuka hati memberikan kredit lunak pada industri. Naiknya gaji pegawai, boleh jadi, Juga merupakan penyebab kenaikan inflasi. Sebab, tidak semua pegawai yang memegang uang mau menabung penghasilannya. Salah satu indikatornya adalah angka penjualan lemari es yang, tahun lalu, naik sampai 788%. Televisi, lemari es, dan perlengkapan musik stereo merupakan barang konsumen yang keras penjualannya.Derasnya permintaan itu kemudian mendorong industri substitusi impor di sana menaikkan kapasitas produksi mereka. Pada akhirnya, memang, naiknya permintaan impor komponen dari industri itu bisa menekan neraca pembayaran. Gubernur Chen Muhua rupanya tidak mau tanggung-tanggung bertindak. Dia mulai mewajibkan semua pinjaman dengan mata uang asing yang, terutama, mendapat jaminan pemerintah harus mendapat persetujuan Biro Administrasi Lalu Lintas Devisa Negara. Rencana pembelian satelit komunikasi senilai US$ 200 juta sampai US$ 300 juta, besar kemungkinan, akan ditunda. Toh, serangkaian tindakan yang dilakukan pada tiga bulan terakhir itu masih belum bisa mengerem penggerogotan devisa. Di akhir Mei lalu, banyak kalangan percaya, jumlah cadangan devisa yang dimiliki RRC berada di bawah angka US$ 10 milyar - padahal September 1984 masih US$ 16,7 milyar. Jika posisi itu benar, maka kebutuhan impor negeri itu hanya bisa dipenuhi untuk jangka waktu lima sampai enam bulan maksimum. Salah satu cara untuk menyehatkan neraca pembayaran, selain melakukan devaluasi untuk mendorong ekspor, adalah mengundang masuk PMA. Sejumlah 14 kota yang berada di pantai telah dijadikan daerah zone ekonomi khusus (SEZ) yang bebas melakukan kebijaksanaan penanaman modal dan membuka hubungan perdagangan dengan dunia luar. Salah satu di antaranya Shenzhen, yang berbatasan dengan pasar kapitalis, Hong Kong. Situasi nyaman seperti itu rupanya dilihat pengusaha Indonesia sebagai kemungkinan baik menanam modal di sana. Menurut Sukanto Tanoto dari Raja Garuda Mas, investasi di RRC bisa menguntungkan, walau risikonya tinggi - asal proyek itu cepat menghasilkan uang. "Modalnya tidak perlu datang dari Indonesia, di pasar internasional saat ini banyak modal yang bisa dimanfaatkan," katanya. Sukamdani bahkan melihat peluang baik melakukan investasi di bidang perhotelan, industri manufaktur, dan perbankan. "Dalam pembicaraan mereka memang mengundang modal kita--bayangkan, di Shanghai saja ada 8.000 yang ditawarkan," katanya. Supaya neraca pembayaran tidak mendapat tekanan, karena naiknya permintaan devisa, Beijing sekarang mulai berusaha mengerem ekspansi ekonominya. Impor atas barang modal dan bahan penolong dari SEZ pun, kini, mulai diseleksi cukup cermat sesudah daerah seperti Hainan, pada semester pertama 1985, diam-diam ketahuan mengimpor pelbagai keperluan US$ 500 juta atau 10 kali lipat dari hasil ekspornya. Edy Herwanto Laporan Susanto Pudjomartono (Shanghai) & Seiichi Okawa (Beijing)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini