JEPANG sedang berusaha jadi "anak manis" dengan mengurangi surplus neraca perdagangannya. Sebuah buku putih mengenai Program Tindakan Darurat di bidang Impor 1985, pekan lalu, dikeluarkan Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional (MITI). Tampaknya langkah itu perlu ditempuh, sesudah rekan dagang utamanya, Amerika, mengecam habis surplus perdagang-an internasionalnya yang mencapai US$ 44,3 milyar, tahun lalu. Di dalam program itu dipaparkan rencana liberalisasi perdagangan Jepang untuk lebih melonggarkan masuknya barang impor, baik dengan cara menurun- kan bea masuk maupun menyediakan pembiayaan murah. Tarif bea masuk 1.853 macam komoditi, misalnya, mulai kuartal pertama tahun depan akan di turunkan. Pada tahun fiskal 1985-1986, Tokyo juga akan menambah alokasi devisa untuk impor US$ 2 milyar - naik dari US$ 140 milyar (1984-1985) jadi US$ 142 milyar. Selaras dengan itu, The Export Import Bank of Japan (Exim Japan), pekan lalu, mengumumkan tersedianya pembiayaan murah bagi para importir Jepang untuk memasukkan barang dari luar negeri. Suku bunga untuk kredit impor dalam mata uang yen, berjangka satu sampai lima tahun itu, kini ditetapkan 6,5% - turun 0,3% dibandingkan sebelumnya (sejak April). Jika pembelian dilakukan dengan dolar, maka suku bunganya 0,125% di atas suku bunga US Treasury Bill (Surat Berharga Departemen Keuangan AS). Tapi dana dari Exim Japan untuk pembiayaan itu hanya 70% dari seluruh kebutuhan kredit. Jadi, sisa dari bentuk pembiayaan patungan atau cofinancing itu harus dicari dari bank komersial dengan suku bunga 7,2%. Jumlah mata dagangan yang bisa dibeli dengan pembiayaan itu ada 11 kelompok, umumnya merupakan produk manufaktur, seperti produk kedokteran, perlengkapan dan mesin pembangkit tenaga, mesin untuk pengerjaan logam, aparat dan suku cadang listrik, dan perlengkapan pemrosesan data otomatis. Yujimasa Kitaga, deputi Dirjen Biro Kebijaksanaan Perdagangan MITI, secara terus terang menyebut beleid itu memang lebih banyak berkaitan dengan kepentingan negara-negara maju - mengingat pembiayaan itu sepenuhnya hanya digunakan untuk mengimpor barang-barang manufaktur. Dengan kata lain, peluang komoditi nonmigas Indonesia masuk ke sana secara murah, tampaknya, masih jauh. Mesin perkakas mungkin perlu dicoba, asal tingkat pemakaian komponen impornya (seperti motor listrik) bisa dikurangi. Saingan ketat untuk produk ini jelas akan datang dari Taiwan dan Korea Selatan. Dua negara industri baru ini dikenal cukup besar menghasilkan mesin perkakas untuk pengerjaan logam - bahkan dalam jumlah lumayan sudah memasuki pasar Indonesia. Kayu lapis? Jepang hingga kini masih belum mau menurunkan bea masuk, mengingat industri kayu lapis negeri itu sendiri dianggap sangat lemah untuk bisa bersaing. "Tahun 1987 pemerintah Jepang akan memberikan tarif khusus bagi kayu lapis Indonesia," janji Kitaga, seperti dikatakannya kepada wartawan TEMPO Praginanto. Sayang, penurunan tarif bea masuk itu justru hanya akan dikenakan atas kayu lapis ukuran tebal di atas 6 mm, yang volume pasarnya diJepang sangat kecil. Jadi, bagi negeri seperti Indonesia, Program Tindakan Darurat itu cuma sebuah permen karet, yang baru akan diberikan dua tahun lagi. Surplus perdagangan kedua negara memang berada di pihak Indonesia - berkat minyak dan LNG. Struktur surplus ini oleh kalangan pengamat dianggap kurang sehat mengingat efeknya dalam meningkatkan pendapatan masyarakat kurang dirasakan secara langsung. Titik rawan ini tentu sudah dilihat pemerintah - apalagi setelah harga minyak cenderung melorot terus. Jadi, dalam kaitan dengan soal itu, pekan lalu, sejumlah pejabat dari perusahaan dagang (sogo sosha) dan super-market Jepang tiba di sini. Misi ini, antara lain, melongok Pameran Produksi Indonesia (PPI 1985). "Kami melihat masih ada kemungkinan meningkatkan impor dari Indonesia, terutama tekstil, makanan, dan mebel," ujar Shiro Miyamoto, ketua misi. Usaha membuka pintu Jepang lebih lebar jelas tidak cukup dengan cara itu. Filipina, misalnya, sudah lama berkaok-kaok agar bea masuk untuk pisangnya diturunkan. Sejauh ini, baru minyak kelapa sawit (Malaysia) dan daging ayam tanpa tulang (Muangthai) yang bea masuknya diturunkan, setelah digempur berkali-kali lewat berbagai forum. Bahkan Amerika sendiri sampai merasa capek mengutik-utik Jepang agar mau mengurangi surplus perdagangannya yang tahun lalu mencapai US$ 37 milyar. Sayangnya, usaha memangkas surplus itu terhalang dua hal: biaya produksi di Amerika tinggi dan nilai dolar makin kuat. Akibatnya, harga barang Amerika di Jepang jadi tidak bisa bersaing. Karena itu, sejumlah pengamat meramalkan surplus Jepang terhadap AS, tahun ini, akan menggelembung jadi US$ 50 milyar. Sulit memang bagi rakyat Jepang memenuhi anjuran PM Yasuhiro Nakasone, April lalu, agar mereka mau menyisihkan US$ 100 setahun untuk membeli barang impor. EH Laporan Praginanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini