Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perang di bank, gertak di minyak

Ketegangan antara as-iran melebar dalam perang ekonomi. presiden carter melarang pemasukan minyak iran ke as dan membekukan kekayaan iran di bank-bank as yang jumlahnya mencapai $ 5 milyar. (eb)

1 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETEGANGAN antara AS dan Iran kini melebar juga dalam perang ekonomi. Setelah ancaman Iran untuk mengembargo aliran minyaknya ke AS, Presiden Carter cepat melarang masuknya minyak Iran ke Amerika. Maka Gedung Putih pun bersiap-siap menghadapi balasan Iran. Rabu 14 November jam 5 dinihari di Washington DC, telex di Departemen Keuangan hidup dan mengetik berita yang sudah ditunggu-tunggu Menlu Iran Abulhassan Bani-Sadr mengeluarkan perintah untuk memindahkan seluruh dana pemerintah Iran dari bank-bank di AS ke bank-bank Eropa. Disebutkan juga bahwa deposito yang akan ditarik berjumlah US$ 12 milyar. Empat puluh lima menit kemudian konsep perintah pemblokiran seluruh kekayaan (assets) Iran -- yang rupanya sudah dipersiapkan sebelumnya -- telah diletakkan di meja Presiden Carter. Sesudah sarapan dan konsultasi dengan beberapa tokoh Congress, jam 8 pagi Carter membubuhkan tandatangannya. Maka sejumlah US$ 5 milyar dana Iran di bank-bank AS resmi dibekukan. Main Blokir Iran sendiri masih punya utang US$ 2 milyar kepada konsorsium bank-bank di AS untuk membiayai pembangunan negerinya di aman Syah Iran. Dengan demikian dana yang dibekukan AS lebih dari cukup untuk dijadikan jaminan kembalinya utang tersebut. Seperti dikatakan jurubicara Gedung Putih Jody Powell Rabu pagi itu: "Tujuan tindakan ini ialah untuk menjamin klaim-klaim pembayaran di AS bisa dilaksanakan secara teratur." Menurut surat keputusan pembekuan itu, kekayaan Iran yang dibekukan adalah deposito pemerintah Iran, deposito bank sentral Iran dan badan-badan lain yang dikontrol pemerintah Iran dan yang berada di bank-bank AS, cabang-cabang dan anak-anak perusahaannya. Presiden Jimmy Carter bertindak berdasarkan kewenangan yang dimilikinya dari Undang-undang Kekuasaan Ekonomi Internasional Darurat, yang antara lain menegaskan: "Presiden berwenang untuk bertindak dalam menghadapi setiap ancaman luar biasa terhadap kamanan nasional, kebijaksanaan politik luar negeri atau ekonomi AS." Benarkah perintah Iran untuk menarik seluruh kekayannya dari AS meru pakan suatu ancaman luar biasa bagi ekonomi AS? Bank-bank AS memang sangat tergantung kepada dana-dana luar negeri. Akhir Agustus lalu dana luar negeri yang tersimpan sebagai deposito di bank-bank AS mencapai US$ 200 milyar, termasuk US$ 75 milyar deposito bank-bank sentral luar negeri dan lembaga-lembaga keuangan milik negara lain. Kekayaan Iran sebenarnya cuma 2,5% dari seluruh dana luar negeri yang tersimpan di bank-bank AS. Pengaruhnya tah akan besar bila memang ditarik semuanya. Namun karena denyut jantung AS tak pernah stabil selama ini, sulit diramalkan apa yang akan terjadi bila Iran sempat menarik atau mengubah kekayaannya dari dollar ke matauang asing lainnya. Bisa jadi tindakan begitu akan menimbulkan akibat berantai. Orang akan berlomba melempar dollarnya dan membeli mata-uang lain. Pengaruh seperti itu sempat muncul beberapa saat sesudah rencana Iran itu ditangkap di lropa. Nilai dollar segera anjlok dengan satu atau dua point di London, Frankfurt dan Zurich. Di London harga emas naik US$ 7 per troy ons menjadi US$ 391,25. Sedang di Zurich naik US$ 5 menjadi US$ 389 per truy ons. Namun segera setelah Jimmy Carter melakukan tindakan balasan, gengsi dollar kembali lagi ke tingkat semula. Bahkan cenderung untuk lebih mantap. Sampai akhir pekan lalu belum terlengar reaksi keras dari negara anggota pengekspor minyak (OPEC)' terhadap tindakan balasan AS yang beruntun itu. Mula-mula timbul kekhawatiran cara-cara AS yang main blokir uang orang itu bisa saja terjadi pada negara lain, sebagaimana dikemukakan Menteri Negara Kuwait Abdul Aziz Husein. Merasa prihatin terhadap masa depan hubungan keuangan internasional, Menteri Abdul Aziz mengingatkan: "Saya rasa tindakan itu merupakan pendahulu yang penting, karena memperluas definisi kepentingan nasional untuk penafsiran pribadi." Tapi reaksi umumnya anggota OPEC tidaklah sampai menuding tindakan AS. Deposito OPEC di bank-bank AS terakhir berjumlah sekitar US$ 45 milyar. Kuwait dan Arab Saudi sebagai pemegang deposito terbesar tampaknya tak begitu khawatir atas keamanan dana-dananya itu. Menurut Menteri Keuangan AS William Miller -- yang rupanya sudah mengontak Arab Saudi -- negara yang memompa 9,5 juta barrel minyak sehari itu "mengerti tindakan AS" dan "menyadari" bahwa tindakan drastis AS itu bersifat terbatas serta ditujukan untuk menghadapi suatu situasi yang amat khusus. Langkah Chase Kekayaan Iran menurut Menlu Bani Sadr, sebagian besar disimpan pada Chase Manhattan Bank serta cabang dan anak perusahaannya. Dan utang-utang Pemerintah Iran yang US$ 2 milyar itu, sebagian besar adalah kredit komersial dari Chase, Bank of America dan City Bank Mungkin atas desakan Gedung Putih, City Bank buru-buru membekukan deposito Pemerintah Iran untuk menutupi kredit yang diberikannya kepada Iran. Menurut undang-undang perbankan AS tindakan bank secara sepihak dengan nnembekukan deposito nasabah sebagai Jaminan pembayaran utangnya tidak diperkenankan. Tapi sekali ini nampaknya Departemen Keuangan AS bisa membenarkannya. Namun yang agaknya paling menyakitkan Iran adalah ketika Chase Manhattan juga mengambil langkah-langkah menghadapi krisis Iran. Chase, sebagai bank yang paling erat hubungannya dengan Iran, telah membentuk suatu sindikat bank yang memberi kredit US$ 500 juta kepada Iran. Bunga yang mestinya jatuh waktu 15 November lalu rupanya tak dibayar Iran. Sebabnya tak begitu jelas. Tapi, seperti kemudian dijelaskan oleh Bank Markazi, bank sehtral Iran melalui Bank Melli Iran di London, tak dibayarnya bunga itu terutama disebabkan pemblokiran dana-dana Iran tadi. Tak dibayarnya bunga yang jatuh waktu, memang bisa dijadikan alasan bagi bank untuk menyatakan suatu kredit tak bisa dibayar. Itu juga pernah terjadi dengan Indonesia, yang mengakibatkan pecahnya krisis Pertamina tempo hari. Dan pernyataan suatu kredit tak bisa dibayar nasabah (default) memberi hak kepada bank yang bersangkutan untuk menyita jaminan, kalau perlu. Berbeda dengan City Bank ke Chase punya sedikit kelemahan dari segi hukum. Sindikat yang diketuai Chase dibentuk oleh Chase cabang London, jadi bukan oleh kantor pusatnya di New York Beberapa anggota sindikat bukan bank AS ternyata kurang berminat untuk terlibat dalam kemelut Iran-AS. Sekalipun demikian, Chase mempersilakan anggota sindikat untuk mengajukan gugatan utang kepada beberapa perusahaan Iran, seperti Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Iran yang diketahui masih berutang US$ 300 juta kepada sindikat tersebut. Jatuhnya Riyal Belum terdengar ada bank non AS yang berbuat tindakan serupa. Juga tak kedengaran ada cabang bank AS di luar negeri yang membekukan kekayaan Pemerintah Iran. Tapi menurut seorang bankir Panin Bank di Jakarta, adanya tindakan dari bank-bank AS itu saja sudah cukup untuk membuat Iran tak lagi mempunyai kelayakan kredit seperti dulu. "Bisa dipastikan tak ada satu bank terkemuka sekarang ini yang dengan serius akan mempertimbangkan permintaan kredit dari Iran," katanya. Ada benarnya. Seorang bankir di Kopenhagen telah menolak sebuah LC yang dibuka oleh pemerintah Iran, kecuali kalau dikover 100%. Riyal Iran yang tadinya masih terhormat di pasaran uang internasional kini mulai tak laku. Kursnya juga tak lagi tercatat di papan-papan kurs uang. Dan yang pertama kali memerintahkan untuk tak menerima mata-uang riyal Iran adalah bank sentral Filipina, sejak 16 November lalu. Penukaran riyal terakhir dilakukan untuk melayani buruh-buruh Filipina yang baru kembali dari Iran pertengahan November. Sejauh mana hal ini akan berpengaruh terhadap ekonomi Iran belum jelas. Kegiatan industri dan perdagangan di negara yang sedang dilanda revolusi itu sudah merosot sejak Syah digulingkan. Maka berkurangnya bahan baku tak akan banyak berpengaruh. Ekspor dari AS ke Iran turun sekali: dari US$ 3,7 milyar pada 1978 menjadi di bawah US$ 1 milyar dalam tahun ini. Sebanyak 250 perusahaan AS yang tadinya terlibat dengan pembangunan di Iran, kini bisa dihitung dengan sepuluh jari. Demikian pula dengan investasi Jepang. Sekalipun tetap berhubungan baik dengan rezim yang baru di Iran, berbagai proyek investasi Jepang yang milyaran dollar kini lumpuh. Ekspor dari Jepang ke Iran yang tahun lalu mencapai US$ 2,6 milyar diperkirakan akan berkurang dengan lebih separuh. Kalau selama tahun lalu saja Iran memasukkan 66 ribu truk dari Jepang, maka tahun ini sampai September lalu Iran hanya mengimpor 2.000 truk. Sebuah sumber perdagangan Jepang di Jakarta (Jetro) percaya jumlahnya tak akan bertambah sampai di penghujung tahun ini. Iran di bawah sang Ayatullah tampaknya siap untuk 'meliburkan' pembangunannya, asal saja perut rakyat cukup diberi makan. Tapi 25% dari pangannya selama itu datang dari AS. Mencapai US$ 500 juta, selama tahun fiskal yang berakhir September lalu, Iran telah mengimpor 816.000 ton gandum dari Amerika. Suara-suara untuk menggunakan pangan sebagai senjata untuk menekan Iran pun mulai santer di Amerika. Tapi Washington belum melakukannya -- sadar bahwa tindakan itu tak efektif. Iran memang sudah mulai mengalihkan pembelian pangannya ke negeri-negeri lain. Tetap diberkahi uang minyak, pemerintah Khomeini sejak beberapa waktu sudah berpaling ke Australia untuk mengimpor pangannya, meskipun $ 20 per ton lebih mahal dari AS. Juga kebutuhan berasnya, yang tak banyak itu, siap mereka alihkan dari AS ke Muangthai. Dan Australia boleh merasa lebih senang, karena kebutuhan daging Iran juga akan lebih banyak masuk dari sana, di samping Selandia Baru. Sedang Turki yang lagi kena inflasi, akan kebagian mengekspor telur ayam ke Iran. Segala yang berbau Amerika tampaknya mereka musuhi. Juga mata-uang dollarnya. Membalas kontan tindakan pembekuan kekayaannya itu, Menlu Bani-Sadr di hari Jumat 16 November itu keluar dengan pengumuman lain: Iran tidak akan menerima dollar Amerika sebagai pembayaran minyak, dan hanya akan menerima pembayaran dengan mata uang lain seperti DM, Franc Prancis atau Swiss ataupun Yen. Tapi pernyataan Menlu Bani-Sadr, yang belakangan ini sudah merangkap menjadi jurubicara ekonomi rezim Ayatullah Khomeini, sempat dibantah oleh Menteri Urusan Minyak Ali Monfair: "Saya tak akan membenarkan atau menyangkal hal ini sekarang yang bisa saya katakan adalah bahwa saya belum memerintahkan hal itu." Pernyataan rekannya sekabinet menyebabkan Menlu Bani-Sadr naik pitam. Kepada reporter koran terkemuka Le Monde dia menegaskan larangan menerima dollar tetap berlaku. "Dengan tanggungjawab saya di bidang ekonomi dan keuangan, maka sayalah yang memutuskan, dan bukan Monfair," katanya. Yen Bisa Goncang Sesaat setelah penegasan Bani-Sadr, Dewan Revolusi di Teheran mentelex ke setiap langganannya agar tak lagi membayar minyak dalam US$. Tapi esoknya keluar reaksi Menteri Perminyakan Arab Saudi Sheik Zaki Yamani: "Tidak ada mata-uang lain di dunia ini yang bisa menggantikan dollar AS sebagai pembayaran rekening minyak." Suara Arab Saudi seperti itu memang bukan barang baru. Jauh sebelumnya pemikiran untuk menggantikan dollar yang terus inflasi dengan sekelompok mata-uang kuat lain, sudah diperdebatkan dalam berbagai pertemuan OPEC. Tapi belakangan ini suara yang tak lagi mau memakai dollar itu tak lagi terdengar. Sebabnya antara lain karena para pengekspor minyak bisa saja menetapkan harga yang tinggi, bahkan di atas plafon US$ 23,50 per barrel. Selain itu dollar juga tampaknya kian mantap, tak lagi seburuk tahun lalu posisinya. Hingga, seperti kata Adimir Adin, wakil Indonesia dalam Komisi Ekonomi OPEC, dalam sidang OPEC di Karakas pertengahan Desember nanti soal dollar AS itu tampaknya tak akan masuk agenda. Belum diketahui apa reaksi para pembeli minyak Iran itu. Tapi seorang pejabat minyak Jepang di Jakarta kepada Bachrun Suwardi dari TEMPO mengakui tak begitu mudah untuk mengganti alat pembayaran itu dalam waktu yang singkat. "Kalau Khomeini tetap berkeras menolak dollar, ada kemungkinan mata uang Yen akan guncang lagi," katanya. "Yen selain memiliki perputaran (velocity) yang terbatas, juga tak sefleksibel dollar." Sekalipun sering terserang penyakit inflasi, peranan mata-uang US$ itu teramat kuat rupanya. "Begitu hebat peranannya sehingga melahirkan apa yang lama dikenal sebagai Euro-dollar dan petro-dollar," kata seorang pejabat ekonomi PBB yang baru-baru ini singgah di Jakarta. Kalau benar demikian, maka beberapa negara Eropa sebagai langganan minyak Iran akan susah pula dibuatnya. Berapa produksi minyak Iran sekarang memang sulit ditebak. Ada yang bilang 3,5 juta sampai 4 juta barrel sehari. Menurut Adimir Adin yang baru kembali dari markas besar OPEC di Wina, produksi minyak Iran kini 3,74 juta barrel sehari. Dari jumlah itu sebanyak 700 ribu barrel dipakai di dalam negeri. Angka yang diungkapkan pejabat Migas itu nampaknya benar. Mingguan Le Point yang terbit di Paris pertengahan November lalu mencatat ekspor minyak Iran sampai Oktober lalu mencapai 3 juta barrel sehari. Jepang adalah pembeli terbesar, sedang AS termasuk kecil (lihat grafik). Sekalipun produksinya kini separuh dibandingkan sewaktu Syah masih herkuasa, Iran banyak meraih untung dari harga minyak. Jenis Iranian Light crude boleh dibilang sekualitas dengan Arabian Light (Marker) crude. Tapi harga kontrak minyak Iran itu sudah mencapai batas tertinggi yang ditetapkan OPEC US$ 23,50 per barrel. Sedang harga patokan minyak Arab Saudi masih tetap bertahan pada harga lantai US$ 18 per barrel. Di samping itu Iran makin gemar saja menyisihkan sebagian minyaknya untuk dijual di pasaran pot yang mencapai di atas US$ 40 per barrel. Iran juga yang makin meramaikan pasaran spot (di nana jual-beli minyak tak didasarkan kontrak jangka panjang). Diperkirakan perdagangan minyak spot yang berpusat di Rotterdam dan New York itu telah mencapai 10% dari seluruh ekspor minyak dunia. Tadinya, sebulan sebelum pecahnya revolusi di Iran, masih berkisar antara 5 - 6%. Sedang di awal musim panas sekitar April lalu, naik menjadi 8%. Kini dengan disetopnya aliran minyak ke AS yang 700.000 barrel sehari, ada kemungkinan itu mereka salurkan ke pasaran spot. Sebab, katanya, negara industri sekutu AS, yakni Jepang dan Eropa, sudah bersedia untuk menyambut himbauan Jimmy Carter agar tak menampung bagian minyak yang diembargo oleh AS. Kalau betul para 'sekutu' AS mematuhinya, beberapa pengamat di Eropa memperkirakan itu bisa menekan harga di pasaran spot. Amerika sendiri, untuk sementara, memang tak perlu khawatir karena bagian minyak Iran itu cuma sekitar 4% dari konsumsi total minyak di AS. Sekalipun untuk menggantikan pengilangan minyak Iran dengan minyak jenis lain, tak begitu mudah prosesnya. Hampir separuh dari minyak Iran yang diposes itu digunakan untuk bahan bakar, minyak diesel, bahan pemanas, minyak tanah dan produk lain yang diproses di berbagai penyulingan minyak di daerah Karibia. The Majors Presiden Carter sendiri melihat pukulan Khomeini sebagai peluang yang baik untuk mempraktekkan gerakan penghematan minyak yang tadinya banyak dicemoohkan rakyatnya. Kalau berhasil, tindakan konservasi di AS itu diperkirakan akan bisa menghemat sekitar 600.000 barrel setahun. Kalaupun sasaran itu tak tercapai, karena rakyat AS yang sudah terlanjur manja menggunakan bahan bakar dari minyak selama ini, persediaan di AS sendiri dianggap cukup. Yang agaknya dikhawatirkan bukan tindakan penyetopan impor minyak AS itu sendiri. Tapi balasan Ayatullah Khomeini Iran tak lagi boleh menjual minyaknya kepada setiap perusahaan minyak AS. "Ini bisa mengacau negeri seperti Jepang dan Eropa," kata seorang pejabat minyak di Jakarta. Sekitar 10% dari seluruh impor minyak Jepang yang antara 4,5 juta sampai 5 juta barrel sehari datang dari Iran. Itu sudah termasuk 460.000 barrel sehari minyak mentah yang dijual langsung oleh Iran ke perusahaan-perusahaan Jepang. Sebanyak 150.000 barrel sehari masuk ke Jepang melalui maskapai-maskapai minyak AS raksasa yang dikenal sebagai the majors dan dari pasaran spot. Dari jumlah tersebut, sekitar sepertiga atau 50.000 barrel sehari berasal dari majors itu. Diperkirakan jumlah itu harus dicari gantinya oleh para importir minyak di Jepang, setelah tindakan Iran. Jepang bisa saja mencarinya ke pasaran spot, dengan anggapan bahwa jatah yang sedianya masuk ke AS itu dilempar ke pasaran itu. Tapi konsekuensinya Jepang harus membayar harga yang hampir dua kali mahalnya dibandingkan dengan harga kontrak. Itu dengan sendirinya akan menaikkan biaya-biaya produksi di Jepang, yang buntutnya akan memukul importir barang-barang buatan Jepang seperti Indonesia. Bisakah Indonesia memanfaatkan kesempatan itu? Sebanyak 13-15% dari konsumsi minyak sehari di Jepang datang dari Indonesia. "Dan angka itu sudah notok," kata seorang di Pertamina. Dengan kata lain, tak bisa ditambah lagi. Sedang untuk tujuan jangka panjang, dengan mengharapkan Jepang melakukan investasi yang lebih gencar untuk mencari minyak di sini, merupakan masalah yang belum dipikirkan oleh pihak Jepang. "Sebab siapa tahu keadaan juga akan berubah lagi di Iran," kata orang Pertamina itu. Situasi di Iran bisa saja berubah, dalam arti bertambah gawat. Sudah ada suara-suara di antara para anggota Dewan Revolusi yang ingin membiarkan jatah minyak untuk AS itu terpendam di bumi Iran. Berjaga-jaga terhadap kemungkinan yang paling buruk di Iran itulah yang sudah dilakukan oleh berbagai negara industri. Mereka pernah mengalami negeri yang mulanya memprodusir 6 juta barrel sehari, tiba-tiba tak mengekspor seharrel minyak pun. Kini negeri seperti Jepang yang amat tergantung dari impor minyak itu sudah memiliki persediaan untuk 92 hari. Bahkan sebuah sumber di Japan-lndonesia Oil Co. Ltd. di Jakarta percaya persediaan minyak mentah di Jepang itu sudah mampu untuk melayani 99 hari, andaikan seluruh ekspor minyak ke Jepang itu terhenti. Jerman Barat keadaannya mendekati Jepang. Sejak pecahnya krisis di Iran adalah Jerman Barat yang paling getol membarong minyak di pasaran spot. Suatu tindakan yang dikecam oleh para tetangganya, karena bisa mengacau harga. Pukul rata persediaan minyak di negara-negara industri itu, menurut beberapa pengamat minyak, sudah mencapai di atas 55 hari. Suatu tingkat yang jauh lebih baik dibandingkan sewaktu peristiwa embargo minyak Arab ketika timbulnya perang Arab-lsrael pada 1973. Banyak negara memang bisa hidup dengan embargo terbatas minyak Iran sekarang. Tapi adanya gangguan suplai minyak, betapa kecilpun, pasti akan menciptakan pasaran yang semakin sempit dan harga minyak yang makin membubung. Tanpa konflik Iran-AS saja beberapa negara merasa perlu untuk menaikkan harga minyaknya, sekalipun harus melanggar konsensus OPEC. Rebutan Berapa harga baru yang akan dipasang OPEC setelah bersidang di Karakas ibukota Venezuela 17-18 Desember mendatang? Ada yang bilang harga patokan yang baru bisa mencapai US$ 26 per barrel. Ada juga yang beranggapan harga yang pantas itu berada di atas batas tertinggi OPEC sekarang. Tapi yang pasti, seperti diakui seorang pejabat di Departemen Pertambangan, akan di atas US$ 20 per barrel untuk marker crude. Tapi yang agaknya pasti, OPEC akan kembali pada penetapan harga berdasarkan formula lama. Yaitu menetapkan satu harga patokan untuk marker crude itu, dan para anggota lain bebas menetapkan harga sendiri-sendiri di seputar harga patokan Arabian Light crude tadi. Kembali ke formula lama atau tidak, yang pasti harga minyak bakal naik terus. Iran di bawah Ayatullah Khomeini adalah Iran yang dirundung ketidakpastian yang sewaktu-waktu bisa meledak lebih keras lagi. Banyak pengamat sependapat negeri kaum mullah yang kava minyak itu akan lebih kacau lagi kalau saja Ayatullah Khomeini, yang menginjak usia 80 tahun, tiada lagi. Di atas semua itu, timbul kesulitan lain di Eropa Timur Konsumsi minyak negara-negara COMECON yang selama ini disuplai Uni Soviet mulai berkurang. Hanya Rumania yang tidak. Satu-satunya negeri Eropa Timur penghasil minyak itu, mampu memenuhi 60% dari kebutuhan dalarn negeri. Tapi sebanyak 40% kebutuhan Rumania diimpor dari OPEC. Berapa yang masih diekspor Uni Soviet ke COMECON tak diketahui. Dalam salah satu beritanya baru-baru ini harian resmi Pravda mengakui berkurangnya produksi minyak dan batubara di Uni Soviet. Sedang pertengahan Oktober lalu, majalah Aussenwirtschaft (Perdagangan Luar Negeri) yang terbit di Jerman Timur menyatakan bahwa mereka harus meningkatkan impor minyak dari OPEC. Tampaknya suatu ketegangan dunia bisa terjadi di tahun 80-an gara-gara rebutan minyak. Konflik Iran-Amerika sekarang barulah sebuah awal -- atau aba-aba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus