KETEGANGAN antara AS dan Iran kini melebar juga dalam perang
ekonomi. Setelah ancaman Iran untuk mengembargo aliran minyaknya
ke AS, Presiden Carter cepat melarang masuknya minyak Iran ke
Amerika.
Maka Gedung Putih pun bersiap-siap menghadapi balasan Iran. Rabu
14 November jam 5 dinihari di Washington DC, telex di Departemen
Keuangan hidup dan mengetik berita yang sudah ditunggu-tunggu
Menlu Iran Abulhassan Bani-Sadr mengeluarkan perintah untuk
memindahkan seluruh dana pemerintah Iran dari bank-bank di AS ke
bank-bank Eropa. Disebutkan juga bahwa deposito yang akan
ditarik berjumlah US$ 12 milyar.
Empat puluh lima menit kemudian konsep perintah pemblokiran
seluruh kekayaan (assets) Iran -- yang rupanya sudah
dipersiapkan sebelumnya -- telah diletakkan di meja Presiden
Carter. Sesudah sarapan dan konsultasi dengan beberapa tokoh
Congress, jam 8 pagi Carter membubuhkan tandatangannya. Maka
sejumlah US$ 5 milyar dana Iran di bank-bank AS resmi dibekukan.
Main Blokir
Iran sendiri masih punya utang US$ 2 milyar kepada konsorsium
bank-bank di AS untuk membiayai pembangunan negerinya di aman
Syah Iran. Dengan demikian dana yang dibekukan AS lebih dari
cukup untuk dijadikan jaminan kembalinya utang tersebut. Seperti
dikatakan jurubicara Gedung Putih Jody Powell Rabu pagi itu:
"Tujuan tindakan ini ialah untuk menjamin klaim-klaim pembayaran
di AS bisa dilaksanakan secara teratur."
Menurut surat keputusan pembekuan itu, kekayaan Iran yang
dibekukan adalah deposito pemerintah Iran, deposito bank sentral
Iran dan badan-badan lain yang dikontrol pemerintah Iran dan
yang berada di bank-bank AS, cabang-cabang dan anak-anak
perusahaannya. Presiden Jimmy Carter bertindak berdasarkan
kewenangan yang dimilikinya dari Undang-undang Kekuasaan Ekonomi
Internasional Darurat, yang antara lain menegaskan: "Presiden
berwenang untuk bertindak dalam menghadapi setiap ancaman luar
biasa terhadap kamanan nasional, kebijaksanaan politik luar
negeri atau ekonomi AS."
Benarkah perintah Iran untuk menarik seluruh kekayannya dari AS
meru pakan suatu ancaman luar biasa bagi ekonomi AS? Bank-bank
AS memang sangat tergantung kepada dana-dana luar negeri. Akhir
Agustus lalu dana luar negeri yang tersimpan sebagai deposito di
bank-bank AS mencapai US$ 200 milyar, termasuk US$ 75 milyar
deposito bank-bank sentral luar negeri dan lembaga-lembaga
keuangan milik negara lain.
Kekayaan Iran sebenarnya cuma 2,5% dari seluruh dana luar negeri
yang tersimpan di bank-bank AS. Pengaruhnya tah akan besar bila
memang ditarik semuanya. Namun karena denyut jantung AS tak
pernah stabil selama ini, sulit diramalkan apa yang akan terjadi
bila Iran sempat menarik atau mengubah kekayaannya dari dollar
ke matauang asing lainnya. Bisa jadi tindakan begitu akan
menimbulkan akibat berantai. Orang akan berlomba melempar
dollarnya dan membeli mata-uang lain.
Pengaruh seperti itu sempat muncul beberapa saat sesudah rencana
Iran itu ditangkap di lropa. Nilai dollar segera anjlok dengan
satu atau dua point di London, Frankfurt dan Zurich. Di London
harga emas naik US$ 7 per troy ons menjadi US$ 391,25. Sedang di
Zurich naik US$ 5 menjadi US$ 389 per truy ons. Namun segera
setelah Jimmy Carter melakukan tindakan balasan, gengsi dollar
kembali lagi ke tingkat semula. Bahkan cenderung untuk lebih
mantap.
Sampai akhir pekan lalu belum terlengar reaksi keras dari negara
anggota pengekspor minyak (OPEC)' terhadap tindakan balasan AS
yang beruntun itu. Mula-mula timbul kekhawatiran cara-cara AS
yang main blokir uang orang itu bisa saja terjadi pada negara
lain, sebagaimana dikemukakan Menteri Negara Kuwait Abdul Aziz
Husein. Merasa prihatin terhadap masa depan hubungan keuangan
internasional, Menteri Abdul Aziz mengingatkan: "Saya rasa
tindakan itu merupakan pendahulu yang penting, karena memperluas
definisi kepentingan nasional untuk penafsiran pribadi."
Tapi reaksi umumnya anggota OPEC tidaklah sampai menuding
tindakan AS. Deposito OPEC di bank-bank AS terakhir berjumlah
sekitar US$ 45 milyar. Kuwait dan Arab Saudi sebagai pemegang
deposito terbesar tampaknya tak begitu khawatir atas keamanan
dana-dananya itu. Menurut Menteri Keuangan AS William Miller --
yang rupanya sudah mengontak Arab Saudi -- negara yang memompa
9,5 juta barrel minyak sehari itu "mengerti tindakan AS" dan
"menyadari" bahwa tindakan drastis AS itu bersifat terbatas
serta ditujukan untuk menghadapi suatu situasi yang amat khusus.
Langkah Chase
Kekayaan Iran menurut Menlu Bani Sadr, sebagian besar disimpan
pada Chase Manhattan Bank serta cabang dan anak perusahaannya.
Dan utang-utang Pemerintah Iran yang US$ 2 milyar itu, sebagian
besar adalah kredit komersial dari Chase, Bank of America dan
City Bank Mungkin atas desakan Gedung Putih, City Bank buru-buru
membekukan deposito Pemerintah Iran untuk menutupi kredit yang
diberikannya kepada Iran.
Menurut undang-undang perbankan AS tindakan bank secara sepihak
dengan nnembekukan deposito nasabah sebagai Jaminan pembayaran
utangnya tidak diperkenankan. Tapi sekali ini nampaknya
Departemen Keuangan AS bisa membenarkannya.
Namun yang agaknya paling menyakitkan Iran adalah ketika Chase
Manhattan juga mengambil langkah-langkah menghadapi krisis Iran.
Chase, sebagai bank yang paling erat hubungannya dengan Iran,
telah membentuk suatu sindikat bank yang memberi kredit US$ 500
juta kepada Iran. Bunga yang mestinya jatuh waktu 15 November
lalu rupanya tak dibayar Iran. Sebabnya tak begitu jelas. Tapi,
seperti kemudian dijelaskan oleh Bank Markazi, bank sehtral Iran
melalui Bank Melli Iran di London, tak dibayarnya bunga itu
terutama disebabkan pemblokiran dana-dana Iran tadi.
Tak dibayarnya bunga yang jatuh waktu, memang bisa dijadikan
alasan bagi bank untuk menyatakan suatu kredit tak bisa dibayar.
Itu juga pernah terjadi dengan Indonesia, yang mengakibatkan
pecahnya krisis Pertamina tempo hari. Dan pernyataan suatu
kredit tak bisa dibayar nasabah (default) memberi hak kepada
bank yang bersangkutan untuk menyita jaminan, kalau perlu.
Berbeda dengan City Bank ke Chase punya sedikit kelemahan dari
segi hukum. Sindikat yang diketuai Chase dibentuk oleh Chase
cabang London, jadi bukan oleh kantor pusatnya di New York
Beberapa anggota sindikat bukan bank AS ternyata kurang berminat
untuk terlibat dalam kemelut Iran-AS. Sekalipun demikian, Chase
mempersilakan anggota sindikat untuk mengajukan gugatan utang
kepada beberapa perusahaan Iran, seperti Perusahaan Minyak dan
Gas Bumi Iran yang diketahui masih berutang US$ 300 juta kepada
sindikat tersebut.
Jatuhnya Riyal
Belum terdengar ada bank non AS yang berbuat tindakan serupa.
Juga tak kedengaran ada cabang bank AS di luar negeri yang
membekukan kekayaan Pemerintah Iran. Tapi menurut seorang bankir
Panin Bank di Jakarta, adanya tindakan dari bank-bank AS itu
saja sudah cukup untuk membuat Iran tak lagi mempunyai kelayakan
kredit seperti dulu. "Bisa dipastikan tak ada satu bank
terkemuka sekarang ini yang dengan serius akan mempertimbangkan
permintaan kredit dari Iran," katanya.
Ada benarnya. Seorang bankir di Kopenhagen telah menolak sebuah
LC yang dibuka oleh pemerintah Iran, kecuali kalau dikover 100%.
Riyal Iran yang tadinya masih terhormat di pasaran uang
internasional kini mulai tak laku. Kursnya juga tak lagi
tercatat di papan-papan kurs uang. Dan yang pertama kali
memerintahkan untuk tak menerima mata-uang riyal Iran adalah
bank sentral Filipina, sejak 16 November lalu. Penukaran riyal
terakhir dilakukan untuk melayani buruh-buruh Filipina yang baru
kembali dari Iran pertengahan November.
Sejauh mana hal ini akan berpengaruh terhadap ekonomi Iran belum
jelas. Kegiatan industri dan perdagangan di negara yang sedang
dilanda revolusi itu sudah merosot sejak Syah digulingkan. Maka
berkurangnya bahan baku tak akan banyak berpengaruh. Ekspor dari
AS ke Iran turun sekali: dari US$ 3,7 milyar pada 1978 menjadi
di bawah US$ 1 milyar dalam tahun ini. Sebanyak 250 perusahaan
AS yang tadinya terlibat dengan pembangunan di Iran, kini bisa
dihitung dengan sepuluh jari.
Demikian pula dengan investasi Jepang. Sekalipun tetap
berhubungan baik dengan rezim yang baru di Iran, berbagai proyek
investasi Jepang yang milyaran dollar kini lumpuh. Ekspor dari
Jepang ke Iran yang tahun lalu mencapai US$ 2,6 milyar
diperkirakan akan berkurang dengan lebih separuh. Kalau selama
tahun lalu saja Iran memasukkan 66 ribu truk dari Jepang, maka
tahun ini sampai September lalu Iran hanya mengimpor 2.000 truk.
Sebuah sumber perdagangan Jepang di Jakarta (Jetro) percaya
jumlahnya tak akan bertambah sampai di penghujung tahun ini.
Iran di bawah sang Ayatullah tampaknya siap untuk 'meliburkan'
pembangunannya, asal saja perut rakyat cukup diberi makan. Tapi
25% dari pangannya selama itu datang dari AS. Mencapai US$ 500
juta, selama tahun fiskal yang berakhir September lalu, Iran
telah mengimpor 816.000 ton gandum dari Amerika.
Suara-suara untuk menggunakan pangan sebagai senjata untuk
menekan Iran pun mulai santer di Amerika. Tapi Washington belum
melakukannya -- sadar bahwa tindakan itu tak efektif. Iran
memang sudah mulai mengalihkan pembelian pangannya ke
negeri-negeri lain.
Tetap diberkahi uang minyak, pemerintah Khomeini sejak beberapa
waktu sudah berpaling ke Australia untuk mengimpor pangannya,
meskipun $ 20 per ton lebih mahal dari AS. Juga kebutuhan
berasnya, yang tak banyak itu, siap mereka alihkan dari AS ke
Muangthai. Dan Australia boleh merasa lebih senang, karena
kebutuhan daging Iran juga akan lebih banyak masuk dari sana, di
samping Selandia Baru. Sedang Turki yang lagi kena inflasi,
akan kebagian mengekspor telur ayam ke Iran.
Segala yang berbau Amerika tampaknya mereka musuhi. Juga
mata-uang dollarnya. Membalas kontan tindakan pembekuan
kekayaannya itu, Menlu Bani-Sadr di hari Jumat 16 November itu
keluar dengan pengumuman lain: Iran tidak akan menerima dollar
Amerika sebagai pembayaran minyak, dan hanya akan menerima
pembayaran dengan mata uang lain seperti DM, Franc Prancis atau
Swiss ataupun Yen.
Tapi pernyataan Menlu Bani-Sadr, yang belakangan ini sudah
merangkap menjadi jurubicara ekonomi rezim Ayatullah Khomeini,
sempat dibantah oleh Menteri Urusan Minyak Ali Monfair: "Saya
tak akan membenarkan atau menyangkal hal ini sekarang yang bisa
saya katakan adalah bahwa saya belum memerintahkan hal itu."
Pernyataan rekannya sekabinet menyebabkan Menlu Bani-Sadr naik
pitam. Kepada reporter koran terkemuka Le Monde dia menegaskan
larangan menerima dollar tetap berlaku. "Dengan tanggungjawab
saya di bidang ekonomi dan keuangan, maka sayalah yang
memutuskan, dan bukan Monfair," katanya.
Yen Bisa Goncang
Sesaat setelah penegasan Bani-Sadr, Dewan Revolusi di Teheran
mentelex ke setiap langganannya agar tak lagi membayar minyak
dalam US$. Tapi esoknya keluar reaksi Menteri Perminyakan Arab
Saudi Sheik Zaki Yamani: "Tidak ada mata-uang lain di dunia ini
yang bisa menggantikan dollar AS sebagai pembayaran rekening
minyak."
Suara Arab Saudi seperti itu memang bukan barang baru. Jauh
sebelumnya pemikiran untuk menggantikan dollar yang terus
inflasi dengan sekelompok mata-uang kuat lain, sudah
diperdebatkan dalam berbagai pertemuan OPEC.
Tapi belakangan ini suara yang tak lagi mau memakai dollar itu
tak lagi terdengar. Sebabnya antara lain karena para pengekspor
minyak bisa saja menetapkan harga yang tinggi, bahkan di atas
plafon US$ 23,50 per barrel. Selain itu dollar juga tampaknya
kian mantap, tak lagi seburuk tahun lalu posisinya. Hingga,
seperti kata Adimir Adin, wakil Indonesia dalam Komisi Ekonomi
OPEC, dalam sidang OPEC di Karakas pertengahan Desember nanti
soal dollar AS itu tampaknya tak akan masuk agenda.
Belum diketahui apa reaksi para pembeli minyak Iran itu. Tapi
seorang pejabat minyak Jepang di Jakarta kepada Bachrun Suwardi
dari TEMPO mengakui tak begitu mudah untuk mengganti alat
pembayaran itu dalam waktu yang singkat. "Kalau Khomeini tetap
berkeras menolak dollar, ada kemungkinan mata uang Yen akan
guncang lagi," katanya. "Yen selain memiliki perputaran
(velocity) yang terbatas, juga tak sefleksibel dollar."
Sekalipun sering terserang penyakit inflasi, peranan mata-uang
US$ itu teramat kuat rupanya. "Begitu hebat peranannya sehingga
melahirkan apa yang lama dikenal sebagai Euro-dollar dan
petro-dollar," kata seorang pejabat ekonomi PBB yang baru-baru
ini singgah di Jakarta. Kalau benar demikian, maka beberapa
negara Eropa sebagai langganan minyak Iran akan susah pula
dibuatnya.
Berapa produksi minyak Iran sekarang memang sulit ditebak. Ada
yang bilang 3,5 juta sampai 4 juta barrel sehari. Menurut Adimir
Adin yang baru kembali dari markas besar OPEC di Wina, produksi
minyak Iran kini 3,74 juta barrel sehari. Dari jumlah itu
sebanyak 700 ribu barrel dipakai di dalam negeri.
Angka yang diungkapkan pejabat Migas itu nampaknya benar.
Mingguan Le Point yang terbit di Paris pertengahan November
lalu mencatat ekspor minyak Iran sampai Oktober lalu mencapai 3
juta barrel sehari. Jepang adalah pembeli terbesar, sedang AS
termasuk kecil (lihat grafik).
Sekalipun produksinya kini separuh dibandingkan sewaktu Syah
masih herkuasa, Iran banyak meraih untung dari harga minyak.
Jenis Iranian Light crude boleh dibilang sekualitas dengan
Arabian Light (Marker) crude. Tapi harga kontrak minyak Iran
itu sudah mencapai batas tertinggi yang ditetapkan OPEC US$
23,50 per barrel. Sedang harga patokan minyak Arab Saudi masih
tetap bertahan pada harga lantai US$ 18 per barrel.
Di samping itu Iran makin gemar saja menyisihkan sebagian
minyaknya untuk dijual di pasaran pot yang mencapai di atas US$
40 per barrel. Iran juga yang makin meramaikan pasaran spot
(di nana jual-beli minyak tak didasarkan kontrak jangka
panjang). Diperkirakan perdagangan minyak spot yang berpusat di
Rotterdam dan New York itu telah mencapai 10% dari seluruh
ekspor minyak dunia. Tadinya, sebulan sebelum pecahnya revolusi
di Iran, masih berkisar antara 5 - 6%. Sedang di awal musim
panas sekitar April lalu, naik menjadi 8%.
Kini dengan disetopnya aliran minyak ke AS yang 700.000 barrel
sehari, ada kemungkinan itu mereka salurkan ke pasaran spot.
Sebab, katanya, negara industri sekutu AS, yakni Jepang dan
Eropa, sudah bersedia untuk menyambut himbauan Jimmy Carter agar
tak menampung bagian minyak yang diembargo oleh AS. Kalau betul
para 'sekutu' AS mematuhinya, beberapa pengamat di Eropa
memperkirakan itu bisa menekan harga di pasaran spot.
Amerika sendiri, untuk sementara, memang tak perlu khawatir
karena bagian minyak Iran itu cuma sekitar 4% dari konsumsi
total minyak di AS. Sekalipun untuk menggantikan pengilangan
minyak Iran dengan minyak jenis lain, tak begitu mudah
prosesnya. Hampir separuh dari minyak Iran yang diposes itu
digunakan untuk bahan bakar, minyak diesel, bahan pemanas,
minyak tanah dan produk lain yang diproses di berbagai
penyulingan minyak di daerah Karibia.
The Majors
Presiden Carter sendiri melihat pukulan Khomeini sebagai peluang
yang baik untuk mempraktekkan gerakan penghematan minyak yang
tadinya banyak dicemoohkan rakyatnya. Kalau berhasil, tindakan
konservasi di AS itu diperkirakan akan bisa menghemat sekitar
600.000 barrel setahun. Kalaupun sasaran itu tak tercapai,
karena rakyat AS yang sudah terlanjur manja menggunakan bahan
bakar dari minyak selama ini, persediaan di AS sendiri dianggap
cukup.
Yang agaknya dikhawatirkan bukan tindakan penyetopan impor
minyak AS itu sendiri. Tapi balasan Ayatullah Khomeini Iran tak
lagi boleh menjual minyaknya kepada setiap perusahaan minyak AS.
"Ini bisa mengacau negeri seperti Jepang dan Eropa," kata
seorang pejabat minyak di Jakarta.
Sekitar 10% dari seluruh impor minyak Jepang yang antara 4,5
juta sampai 5 juta barrel sehari datang dari Iran. Itu sudah
termasuk 460.000 barrel sehari minyak mentah yang dijual
langsung oleh Iran ke perusahaan-perusahaan Jepang. Sebanyak
150.000 barrel sehari masuk ke Jepang melalui maskapai-maskapai
minyak AS raksasa yang dikenal sebagai the majors dan dari
pasaran spot. Dari jumlah tersebut, sekitar sepertiga atau
50.000 barrel sehari berasal dari majors itu. Diperkirakan
jumlah itu harus dicari gantinya oleh para importir minyak di
Jepang, setelah tindakan Iran.
Jepang bisa saja mencarinya ke pasaran spot, dengan anggapan
bahwa jatah yang sedianya masuk ke AS itu dilempar ke pasaran
itu. Tapi konsekuensinya Jepang harus membayar harga yang hampir
dua kali mahalnya dibandingkan dengan harga kontrak. Itu dengan
sendirinya akan menaikkan biaya-biaya produksi di Jepang, yang
buntutnya akan memukul importir barang-barang buatan Jepang
seperti Indonesia.
Bisakah Indonesia memanfaatkan kesempatan itu? Sebanyak 13-15%
dari konsumsi minyak sehari di Jepang datang dari Indonesia.
"Dan angka itu sudah notok," kata seorang di Pertamina. Dengan
kata lain, tak bisa ditambah lagi. Sedang untuk tujuan jangka
panjang, dengan mengharapkan Jepang melakukan investasi yang
lebih gencar untuk mencari minyak di sini, merupakan masalah
yang belum dipikirkan oleh pihak Jepang. "Sebab siapa tahu
keadaan juga akan berubah lagi di Iran," kata orang Pertamina
itu.
Situasi di Iran bisa saja berubah, dalam arti bertambah gawat.
Sudah ada suara-suara di antara para anggota Dewan Revolusi yang
ingin membiarkan jatah minyak untuk AS itu terpendam di bumi
Iran. Berjaga-jaga terhadap kemungkinan yang paling buruk di
Iran itulah yang sudah dilakukan oleh berbagai negara industri.
Mereka pernah mengalami negeri yang mulanya memprodusir 6 juta
barrel sehari, tiba-tiba tak mengekspor seharrel minyak pun.
Kini negeri seperti Jepang yang amat tergantung dari impor
minyak itu sudah memiliki persediaan untuk 92 hari. Bahkan
sebuah sumber di Japan-lndonesia Oil Co. Ltd. di Jakarta percaya
persediaan minyak mentah di Jepang itu sudah mampu untuk
melayani 99 hari, andaikan seluruh ekspor minyak ke Jepang itu
terhenti.
Jerman Barat keadaannya mendekati Jepang. Sejak pecahnya krisis
di Iran adalah Jerman Barat yang paling getol membarong minyak
di pasaran spot. Suatu tindakan yang dikecam oleh para
tetangganya, karena bisa mengacau harga. Pukul rata persediaan
minyak di negara-negara industri itu, menurut beberapa pengamat
minyak, sudah mencapai di atas 55 hari. Suatu tingkat yang jauh
lebih baik dibandingkan sewaktu peristiwa embargo minyak Arab
ketika timbulnya perang Arab-lsrael pada 1973.
Banyak negara memang bisa hidup dengan embargo terbatas minyak
Iran sekarang. Tapi adanya gangguan suplai minyak, betapa
kecilpun, pasti akan menciptakan pasaran yang semakin sempit
dan harga minyak yang makin membubung. Tanpa konflik Iran-AS
saja beberapa negara merasa perlu untuk menaikkan harga
minyaknya, sekalipun harus melanggar konsensus OPEC.
Rebutan
Berapa harga baru yang akan dipasang OPEC setelah bersidang di
Karakas ibukota Venezuela 17-18 Desember mendatang? Ada yang
bilang harga patokan yang baru bisa mencapai US$ 26 per barrel.
Ada juga yang beranggapan harga yang pantas itu berada di atas
batas tertinggi OPEC sekarang. Tapi yang pasti, seperti diakui
seorang pejabat di Departemen Pertambangan, akan di atas US$ 20
per barrel untuk marker crude.
Tapi yang agaknya pasti, OPEC akan kembali pada penetapan harga
berdasarkan formula lama. Yaitu menetapkan satu harga patokan
untuk marker crude itu, dan para anggota lain bebas menetapkan
harga sendiri-sendiri di seputar harga patokan Arabian Light
crude tadi.
Kembali ke formula lama atau tidak, yang pasti harga minyak
bakal naik terus. Iran di bawah Ayatullah Khomeini adalah Iran
yang dirundung ketidakpastian yang sewaktu-waktu bisa meledak
lebih keras lagi. Banyak pengamat sependapat negeri kaum mullah
yang kava minyak itu akan lebih kacau lagi kalau saja Ayatullah
Khomeini, yang menginjak usia 80 tahun, tiada lagi.
Di atas semua itu, timbul kesulitan lain di Eropa Timur Konsumsi
minyak negara-negara COMECON yang selama ini disuplai Uni Soviet
mulai berkurang. Hanya Rumania yang tidak. Satu-satunya negeri
Eropa Timur penghasil minyak itu, mampu memenuhi 60% dari
kebutuhan dalarn negeri. Tapi sebanyak 40% kebutuhan Rumania
diimpor dari OPEC.
Berapa yang masih diekspor Uni Soviet ke COMECON tak diketahui.
Dalam salah satu beritanya baru-baru ini harian resmi Pravda
mengakui berkurangnya produksi minyak dan batubara di Uni
Soviet. Sedang pertengahan Oktober lalu, majalah
Aussenwirtschaft (Perdagangan Luar Negeri) yang terbit di Jerman
Timur menyatakan bahwa mereka harus meningkatkan impor minyak
dari OPEC.
Tampaknya suatu ketegangan dunia bisa terjadi di tahun 80-an
gara-gara rebutan minyak. Konflik Iran-Amerika sekarang barulah
sebuah awal -- atau aba-aba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini