MEMINTA ekstradisi seorang bekas kepala negara bukan perkara
kecil. Di sepanjang abad ke-20 ini baru dua kali timbul masalah
ini. Yang pertama pada 1920. Ketika itu pihak sekutu menuntut
diserahkannya Kaisar Wilhelm II dari Jerman untuk diadili
sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pecahnya Perang
Dunia I. Sang Kaisar telah mencari perlindungan di Nederland.
Akan tetapi Nederland menolak karena menganggap tuntutan
ekstradisi itu berlandaskan motif-motif politik. Pada tahun 1963
Amerika Serikat menyerahkan Marcos Perez Jimenez, bekas Presiden
Venezuela, kepada pemerintah baru di negaranya untuk diadili.
Jimenez dituduh telah menggelapkan uang negara, satu tuduhan
non-politis.
Lembaga ekstradisi di dalam hukum internasional telah
diperlengkapi dengan prinsip-prinsip kokoh sejak abad ke-19.
Salah satu syaratnya adalah, antara negara yang meminta dan
negara yang dimintai ekstradisi harus ada perjanjian khusus
mengenai ekstradisi. Kemudian, di dalam perjanjian ekstradisi
itu harus diperinci tindak-tindak pidana apa saja yang
menimbulkan hak dan kewajiban ekstradisi internasional. Biasanya
para pihak tidak memasukkan ke dalam perjanjian-peljanjian
semacam itu perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana
hanya di negara pihak yang satu, tapi tidak dianggap kejahatan
di negara pihak yang lain. Kejahatan-kejahatan yang berbau
politik, misalnya, sama sekali ditolak dari
perjanjian-perjanjian ekstradisi, kecuali apabila kejahatan
politik itu menyangkut pembunuhan.
Akhirnya ada pula syarat yang disebut specialty rule. Kalau
seorang penjahat diekstradisi karena dituduh telah melakukan
kejahatan A, maka ia tidak boleh diadili atas tuduhan tindak
pidana B, C, atau D. Inggris dan Amerika menambahkan satu syarat
lagi: Sebelum permintaan ekstradisi dipertimbangkan, negara
pihak peminta harus terlebih dahulu mengajukan cukup fakta
pembukti sebagai dasar tuduhan. Kalau syarat itu sudah dipenuhi,
warganegaranya sendiripun akan mereka serahkan.
HUKUM VS. WASHINGTON
Sungguh terlalu mudah untuk mengatakan penyanderaan diplomat di
Teheran adalah masalah politik, seperti juga penolakan AS untuk
menyerahkan Reza Pahlevi kepada Pengadilan Revolusioner Iran.
Sekedar untuk memudahkan konteks pemikiran, kita bayangkan saja
penyanderaan diplomatdiplomat kita di KBRI Den Haag oleh
pejuang-pejuang RMS. Kita bayangkan para pejuang itu menuntut
ekstradisi dari J. Muskita, Leo Lopulisa dan Gerrit Siwabessy
atas tuduhan mengkhianati RMS. Kemudian di Jakarta terjadi
demonstrasi-demonstrasi pemuda-pemuda Maluku yang mendukung
tuntutan para penyandera di Den Haag.
Tidaklah sulit untuk membayangkan reaksi kita semua di sini, dan
betapa kesalnya kita kalau ada anggota parlemen, katakanlah di
Malaysia, menyatakan bahwa apa yang terjadi di Den Haag itu
sekedar merupakan masalah politik.
Yang terjadi dengan hubungan Washington-Teheran tidak serupa,
hanya mirip. Para diplomat AS disandera di Teheran, para
penyandera menuntut ekstradisi bekas Syah Iran, dan para
mahasiswa Iran yang studi dengan beasiswa AS di Amerika
berdemonstrasi mendukung Khomeini di New York Washington,
Philadelphia, San Francisco, Houston, Columbus, hampir di
seluruh Amerika. Surat-surat kabar dan masyarakat Amerika
menuntut agar para demonstran dipulangkan saja ke negerinya.
Akan tetapi Departemen Kehakiman dan Imigrasi AS bilang,
pengusiran mahasiswa Iran sulit dicapai sebab undang-undang
pengusiran tidak menyebut demonstrasi atau tindakan-tindakan
kekerasan sebagai alasan, kecuali apabila berakibat putusan
hakim bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merupakan kejahatan.
Lagipula undang-undang AS tidak mengizinkan deportasi apabila
orang yang dipulangkan itu akan terkena tindakan balasan di
tanah airnya. Perlu diingat tidak semua orang yang anti Pahlevi
adalah pro Khomeini.
QOM Vs. SEJARAH
Antara Iran dan Amerika Serikat tidak ada perjanjian ekstradisi.
Di Iran ada revolusi yang tidak mau tunduk pada hukum. Di
Amerika hukum adalah panglima. Adakah alasan-alasan lain yang
bisa menggerakkan hati masyarakat Amerika, terlepas dari hukum,
untuk menyerahkan Reza Pahlevi kepada Khomeini?
Pertanyaan ini, dan tentu jawabannya, menjadi akademis belaka.
Kalau ada motivasi yang lebih kuat daripada hukum bagi
masyarakat Amerika, maka ia harus kita cari di bidang humaniter.
Di bayangan benak Amerika ada gambaran di satu pihak seorang
bekas sekutu politik yang tinggal tulang dibalut kulit dan
tinggal tunggu waktu saja. Di lain pihak ada suatu gerakan massa
Iran yang ekstrem dan haus darah.
Barangkali ada negara di dunia ini yang bersedia menyerahkan
Pahlevi apabila bisa diyakinkan bahwa permintaan ekstradisi oleh
para Ayatullah Iran tidak bermotif politik. Tapi bagaimana dunia
bisa yakin kalau Khomeini sendiri, Imam revolusi Iran, ketika
mendengar Pahlevi diserang penyakit kanker, berdoa di hadapan
massa agar berita itu benar. Bagaimana dunia bisa percaya pada
integritas Pengadilan Revolusioner Iran kalau Ayatullah Sadiq
Khalkali, Hakim Ketua Pengadilan tersebut, menyerukan kepada
umat Islam di Amerika agar menyeret bekas Syah Iran keluar dari
rumah sakit dan mencincangnya. Bagaimana pandangan masyarakat
keluarga bangsa-bangsa tentang kekuasaan tcokratis suatu Dewan
Revolusi yang anggota-anggotanya dirahasiakan?
Saya kira yang terjadi di Iran bukan masalah hukum, bukan
masalah politik, dan bukan pula masalah Islam. Yang terjadi
adalah frustrasi terhadap akibat-akibat pembaruan, dendam
terhadap praktek-praktek keji dinas rahasia rezim Syah, dan
kemarahan atas pemboyongan dana-dana ke luar negeri oleh
keluarga Pahlevi. Sebenarnya pembauran emosi ini dapat diatasi
dengan kepala dingin dan sedikit keahlian teknis. Akan tetapi
isyarat-isyarat yang kita tangkap dari Qom menunjukkan bahwa
suatu elit yang berpengaruh besar sedang sibuk mengembalikan
peradaban bangsanya mundur seribu tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini