Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga Bujang Raba tak lagi menikmati kompensasi dari hutan karbon.
Pemerintah menghentikan perdagangan karbon di pasar sukarela sejak 2021.
Pasar karbon sukarela di dalam negeri belum terbentuk.
WARGA lima desa di sekitar hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba), Jambi, harap-harap cemas. Mereka sedang menunggu status karbon hutan yang mereka daftarkan bersama Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi ke Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) yang dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. "Tahap 1 dan 2 sudah, sekarang tahap 3, menunggu verifikasi Kementerian," kata Penasihat KKI Warsi Rudi Syaf pada Jumat, 1 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hutan Bujang Raba adalah satu dari 9.382 proyek perubahan iklim yang sedang antre masuk ke SRN PPI. Hingga Sabtu, 2 September lalu, baru 238 proyek yang terdaftar dan 183 yang terverifikasi. Pemerintah mewajibkan semua kegiatan yang berhubungan dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta nilai ekonomi karbon terdaftar dan terverifikasi dalam SRN PPI. Termasuk proyek penyimpan karbon yang sebelumnya sudah terdaftar dan terverifikasi oleh lembaga internasional seperti Bujang Raba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bujang Raba sebetulnya bukan pedagang karbon. Pada 2013, KKI Warsi mendampingi warga di lima desa Kabupaten Bungo, Jambi, dalam pengelolaan 7.000 hektare hutan desa dengan skema perhutanan sosial. Lima tahun kemudian, KKI Warsi mendaftarkan 5.339 dari 7.000 hektare hutan Bujang Raba ke Plan Vivo sebagai hutan penyimpan karbon. Plan Vivo adalah lembaga internasional yang mensertifikasi hutan karbon sekaligus menghubungkan pengelola hutan dengan pembeli karbon atau pemberi kompensasi untuk menjaga hutan.
Tidak semua area diajukan menjadi hutan karbon. Yang diajukan hanya area yang benar-benar terancam atau pernah terkena program pembukaan hutan atau deforestasi. Menurut hitungan KKI Warsi dan warga desa serta hasil verifikasi Plan Vivo, cadangan karbon hutan Bujang Raba yang terancam adalah 400 ribu ton selama 10 tahun atau 40 ribu ton per tahun.
Lewat Plan Vivo, TUI Airways, perusahaan asal Inggris, bersedia menyokong penjagaan hutan Bujang Raba. TUI bersedia memberi US$ 6 per ton karbon dioksida yang disimpan hutan tersebut. "Tapi mereka bukan beli karbon. Ini semacam tanggung jawab sosial mereka. TUI tidak mengklaim karbon ini sebagai pengurang emisi mereka," ucap Rudi Syaf.
Yang jelas, dana dari TUI Airways digunakan warga desa untuk membeli bibit durian dan duku hingga membiayai patroli pelindungan hutan. Setiap desa mendapat Rp 32 juta untuk pemberdayaan masyarakat agar mereka bisa ikut menjaga rimba.
Kendati bukan pedagang karbon, Bujang Raba tetap menghentikan aktivitas kompensasi karbon ketika pemerintah memberlakukan moratorium perdagangan karbon sejak 2021. Moratorium ini berhubungan dengan upaya memasukkan setiap unit karbon yang dihasilkan hutan Indonesia ke SRN PPI. "Kami melihat pemerintah sedang menyusun sistem yang lebih baik. Kami pun secara mandiri menghentikan transaksi," ujar Rudi.
Ketika pemerintah memberlakukan moratorium perdagangan karbon, pasar sukarela sebetulnya sudah cukup mapan. Beberapa pedagang karbon komersial telah beroperasi di beberapa wilayah dengan konsesi hak pengusahaan hutan yang mereka peroleh dari pemerintah. Salah satunya Katingan Mentaya Project milik PT Rimba Makmur Utama (RMU).
Pada 2013, RMU mengantongi konsesi restorasi ekosistem (KRE) 108.225 hektare dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. KRE adalah izin usaha perhutanan yang berfokus pada pemulihan deforestasi di hutan produksi. Kini luas area konsesi Katingan Mentaya Project mencapai 157,875 hektare. Dari hutan yang mereka lindungi, RMU mengklaim bisa menjamin 7,5 juta ton karbon per tahun atau setara dengan emisi 2 juta mobil per tahun.
Lantaran sifatnya bisnis, harga jual karbon yang didapatkan RMU lebih tinggi dibanding perolehan Bujang Raba. Maklum, pembeli karbon Katingan Mentaya Project adalah perusahaan energi global yang mencari unit karbon untuk meng-offset emisi mereka. Pembelinya antara lain Shell, Total, dan BP. Namun karbon yang diperjualbelikan itu tidak diklaim oleh negara asal perusahaan sebagai bagian dari pengurang emisi dalam kontribusi nasional atau nationally determined contribution (NDC) masing-masing.
Perkara pengurang emisi ini yang menjadi salah satu alasan pemberlakuan moratorium perdagangan karbon pada 2021. Pemerintah khawatir, jika perdagangan karbon tidak disetop, stok karbon lokal sudah diborong oleh pembeli luar negeri dan diklaim sebagai NDC oleh negara asalnya. Padahal pemerintah juga membutuhkan karbon tersebut untuk memenuhi target NDC di sektor kehutanan berupa penurunan emisi gas rumah kaca hingga 140 juta ton setara karbon dioksida pada 2030.
Pada 21 September 2022, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Aturan itu menyebutkan karbon baru bisa diperdagangkan ke luar negeri jika target NDC tercapai, mendapat otorisasi pemerintah, terdaftar dalam SRN PPI, serta tidak dikaitkan dengan penurunan emisi negara pembeli.
Meski ada celah untuk menjual karbon ke luar negeri, pelaku perdagangan karbon merasa ada kendala. Hambatan itu ada dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Regulasi ini membatasi perdagangan karbon ke luar negeri. Padahal selama ini permintaan pasar internasional menjadi pendorong bisnis karbon. Hal ini terjadi karena pemerintah belum mewajibkan entitas lokal melakukan offset emisi karbon.
Chief Executive Officer Landscape Indonesia Agus P. Sari mengatakan kebijakan pemerintah dalam pasar karbon ini terbalik. Menurut dia, semestinya pemerintah mematok kewajiban penurunan emisi bagi para pelaku usaha, setelah itu disediakan opsi apakah harus membeli karbon, membayar pajak, atau menjual hak emisi yang tak terpakai kepada entitas lain yang melewati batas. "Kalau pasarnya ada tapi pembatasan emisi belum ada, buat apa jual-beli karbon kredit," katanya pada Kamis, 31 Agustus lalu.
Pemerintah baru merencanakan kewajiban itu melalui pajak karbon. Awalnya pajak karbon akan berlaku mulai 1 April 2022, tapi kemudian dimundurkan hingga 2025. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, tarif pajak karbon minimal sama atau lebih tinggi dari harga pasar, dengan tarif terendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida atau US$ 2 per ton.
Kendati memakai batas bawah, nilai tersebut jauh dari harga karbon di pasar sukarela. Sebagai contoh, Bujang Raba menetapkan harga karbon US$ 6 per ton. Menurut Agus, tanpa kewajiban menurunkan emisi atau membuat pasar mandatory (wajib), bisnis karbon tak akan menarik jika hanya mengandalkan pembeli dalam negeri.
Kini ada ratusan pemegang konsesi hutan yang mengajukan permohonan perubahan status usaha menjadi penyedia jasa lingkungan perdagangan karbon atau restorasi ekosistem. Jika pasar karbon internasional dibatasi dan permintaan dalam negeri tidak terbentuk, hutan-hutan ini akan terus terancam deforestasi. Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruanda Agung Sugardiman tidak menjawab saat ditanyai tentang pembukaan kembali perdagangan karbon di pasar sukarela.
Bujang Raba pun sudah dua tahun tak mendapat kompensasi. Menurut Rudi Syaf, warga desa masih bisa menjaga hutan dan mempertahankan program konservasi dengan dana yang tersisa. "Kami berharap regulasi perdagangan karbon bisa cepat keluar, apakah Bujang Raba ini masuk ke pasar komersial atau tetap sukarela."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hutan Karbon Menanti Aturan"