Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perhutani mengubah hutan tak produktif menjadi kebun tebu.
Konversi hutan untuk lahan tebu sudah berlangsung di Jawa Timur.
Konversi hutan untuk kebun tebu butuh biaya Rp 40 juta per hektare.
BERPULUH tahun mengelola hasil hutan, Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau Perum Perhutani baru mencicipi manisnya bisnis tebu. Dari sisi waktu, lama musim tanam hingga panen tebu cuma sembilan bulan hingga setahun, jauh lebih cepat daripada kayu jati yang memerlukan waktu 40 tahun untuk bisa dipanen. Karena itu pula Perhutani terlibat dalam program swasembada gula dengan menyediakan lahan hutan untuk perkebunan tebu.
"Gara-gara tebu, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jombang langsung jadi KPH plus. Sebelumnya keuangan mereka minus terus," kata Direktur Utama Perhutani Wahyu Kuncoro kepada Tempo, Jumat, 21 Oktober lalu.
Di Jombang, Perhutani membuka kebun tebu seluas 386 hektare di hutan produksi yang sudah tak produktif sejak 2021. Perhutani juga menanam tebu di KPH Ngawi, Jawa Timur. Di dua kawasan itu Perhutani kini mengelola 613 hektare kebun tebu sejak tahun lalu.
Agak ganjil memang, perusahaan umum yang dipercaya mengelola hutan malah menanam tebu yang masuk kategori tanaman perkebunan. Tapi, menurut Wahyu, itulah satu-satunya cara untuk membuka celah pendapatan bagi Perhutani.
Selama ini Perhutani hanya mengandalkan hasil hutan. Dari pendapatan Perhutani yang mencapai Rp 4,7 triliun pada 2021, sebanyak 80 persen berasal dari kayu dan getah pinus. Rinciannya: Rp 2 triliun dari kayu jati dan Rp 1,9 triliun dari getah pinus. Dua produk ini adalah komoditas dengan masa tanam panjang, yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menyumbang pendapatan. "Saya usulkan membuat bisnis jangka pendek dan menengah buat Perhutani," ucap Wahyu, yang menjabat deputi Kementerian Badan Usaha Milik Negara pada 2015-2019.
Jadilah tebu masuk lingkup bisnis Perhutani dengan nama program Wanatani, mengacu pada tanaman pangan yang disemai di hutan. Pada 2020, perusahaan yang mengelola 2,4 juta hektare hutan di Jawa itu mencanangkan target ambisius, yaitu membuka 18 ribu hektare kebun tebu di hutan nonproduktif sampai 2024. "Ngawi dan Jombang jadi lokasi proyek percontohan," ujar Wahyu. "Tahun ini saya siapkan untuk buka lagi 1.700 hektare kebun tebu."
Lahan yang ditanami tebu di Resort Pemangkuan Hutan Teguhan, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Rejuno, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, 21 Oktober 2022. TEMPO/Nofika Dian Nugroho
Wahyu yakin akan potensi tebu karena tanaman itu bukan barang baru di Perhutani. Ribuan hektare lahan Perhutani di Jawa Timur telah disulap oleh pesanggem atau petani penggarap lahan hutan menjadi kebun tebu secara diam-diam. Pemerintah pun telah memberikan izin 24.589 hektare lahan Perhutani diubah menjadi kebun tebu kepada sejumlah perusahaan. Alasan pemerintah, lahan Perhutani layak dimanfaatkan untuk mengejar target ketahanan pangan. Salah satu caranya adalah mengolah tebu sebagai bahan baku gula.
Kini, ketika pemerintah menyiapkan peraturan presiden tentang percepatan program swasembada gula, lahan Perhutani menjadi sasaran. Dalam rancangan aturan itu pemerintah menargetkan pembukaan kebun tebu baru mencapai 700 ribu hektare. Dan Perhutani punya 62 ribu hektare yang akan ditanami tebu.
•••
AWAN kelabu menggelayut di langit Desa Rejuno, Kecamatan Karangjati, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, Jumat, 21 Oktober lalu. Seorang pria mengayuh sepeda dan memboncengkan seikat besar daun jagung untuk pakan ternak. Daun jagung itu diambil dari lahan di hutan wilayah Resort Pemangkuan Hutan Teguhan Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Rejuno.
Daerah itu menjadi bagian dari Kesatuan Pemangkuan Hutan Saradan seluas 37.936,6 hektare. Sebanyak 6 persen di antaranya berupa hutan lindung, sisanya hutan produksi. Hutan itu masuk empat wilayah administratif di Jawa Timur, yaitu Madiun (66 persen), Ngawi (14 persen), Bojonegoro (19 persen) dan Nganjuk (1 persen).
Di hutan itu banyak warga yang menanam tanaman selain kayu. Mereka bagian dari Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Rukun Makmur Desa Rejuno. Para pesanggem yang tergabung dalam LMDH menanam jagung dan ketela di lahan yang dikelola Perum Perhutani itu dengan skema pinjam garap.
Bertahun-tahun pekerjaan itu dilakoni para pesanggem di lahan yang sama. Namun sejak 2017 sebagian dari mereka harus hengkang. Lahan yang sebelumnya mereka garap harus berpindah tangan ke PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI, badan usaha milik negara sektor perkebunan.
Pada tahun itu, PTPN XI mulai membuka kebun tebu baru. Hasil panennya digiling oleh beberapa pabrik gula milik PTPN, seperti Pagotan (Kabupaten Madiun), Rejosari (Magetan), Purwodadi (Magetan), dan Soedono (Ngawi). “Perhutani sebagai penyedia lahan dan PTPN sebagai penggarap,” kata Ketua LMDH Rukun Makmur Desa Rejuno, Senung Budiarto.
Senung tidak merinci jumlah pesanggem yang terpaksa berpindah lahan gara-gara kebun tebu baru PTPN itu. Namun dia ingat, pada awal kerja sama Perum Perhutani dengan PTPN, sempat timbul kontroversi. Sejumlah petani di hutan keberatan pindah karena sudah mengolah lahan itu bertahun-tahun.
Kontroversi meredup setelah para pesanggem dilibatkan dalam pengelolaan kebun tebu. Sebanyak 200 dari 800 pesanggem dipekerjakan PTPN dalam pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan kebun.
Senung menghitung luas lahan hutan untuk budi daya tebu di wilayah Desa Rejuno sekitar 420 hektare. Angka itu masih di bawah target sejak program tersebut bergulir lima tahun lalu, yakni 480 hektare. PTPN, Senung melanjutkan, hanya menanam tebu di lahan datar, menghindari kontur yang berlekuk-lekuk dan curam.
Direktur Utama Perhutani Wahyu Kuncoro mengatakan pembukaan kebun tebu baru oleh PTPN XI di lahan Perhutani itu adalah penerapan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.81/MenLHK/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Kerjasama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan.
Lewat peraturan tersebut, pemerintah memberikan hak kepada siapa pun yang memohon izin menggunakan hutan produksi, termasuk area Perhutani, untuk kegiatan usaha ketahanan pangan. Peraturan ini menjadi salah satu regulasi yang mendasari pembukaan food estate di sejumlah daerah.
Hingga 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memberikan izin pengelolaan hutan produksi seluas 24.589 hektare untuk kebun tebu baru. Namun sampai September lalu baru 2.634 hektare alias 10,7 persen yang telah ditanami. “Mereka baru tahu konversi hutan jadi tebu itu susahnya setengah mati,” ucap Wahyu. “Saya sudah diminta mengevaluasi izin yang sudah keluar tapi tak ditanami sama sekali.
Selain mengizinkan PTPN XI, Perhutani memberi izin kepada PTPN X, PTPN IX, serta sejumlah pabrik gula swasta, yaitu PT Kebun Tebu Mas, PT Wahyu Daya Mandiri, dan PT Usaha Ridha Semesta. Mereka mendapat izin pengelolaan lahan 10 tahun. PT Wahyu Daya Mandiri pernah tersangkut korupsi pengadaan mesin penggilingan tebu di Pabrik Gula Djatiroto PTPN XI periode 2015-2016 yang merugikan negara hingga Rp 15 miliar. Adapun PT Usaha Ridha Semesta adalah perusahaan dengan lahan berizin terluas, yaitu 11 ribu hektare.
•••
PEMBUKAAN lahan kebun tebu menjadi tantangan program swasembada gula. Bertahun-tahun pemerintah memberikan jatah impor gula kepada sejumlah perusahaan dengan harapan mereka menambah kebun tebu agar pasokan bahan bakunya bisa dipenuhi dari pasar dalam negeri. Namun harapan itu tak terpenuhi karena berbagai masalah, seperti perusahaan yang membuka kebun tebu jauh dari pabrik gula. Salah satunya dilakukan PT Gendhis Multi Manis yang membangun pabrik gula di Blora, Jawa Tengah, tapi membuka kebun tebu di Kalimantan.
Pembukaan hutan untuk kebun tebu juga tak lepas dari persoalan. Di Bojonegoro, Jawa Timur, pada Juni lalu ratusan pesanggem berunjuk rasa menolak konversi kebun tebu oleh Perhutani. Sebab, konversi kebun tebu akan menghilangkan penghasilan mereka yang selama ini menggarap tanaman lain di lahan Perhutani.
Sampai saat ini pemerintah tidak mencatatkan penambahan luas kebun tebu signifikan. Yang terjadi malah penyusutan kebun, dari 470 ribu hektare pada 2014 menjadi 443 ribu hektare pada 2021. Karena itu, dalam rancangan peraturan presiden tentang percepatan swasembada gula nasional, pemerintah mencanangkan target membuka lahan tebu 700 ribu hektare agar swasembada gula konsumsi tercapai pada 2030. Saat ini Indonesia mengimpor gula konsumsi sebanyak 1 juta ton per tahun dan gula rafinasi 3 juta ton per tahun untuk industri.
Target 700 ribu hektare itu antara lain dipenuhi dari perhutanan sosial yang bakal dikelola petani hingga badan usaha milik negara. BUMN diperintahkan membuka 70 persen dari kebutuhan atau 490 ribu hektare. Sebanyak 350 ribu hektare dibebankan ke PTPN, sisanya digarap PT Rajawali Nusantara Indonesia dan Perhutani.
Salah satu perusahaan pelat merah yang terlibat dalam program ini adalah Sugar Co, holding yang membawahkan sejumlah pabrik gula. Direktur Utama Sugar Co Aris Toharisman menghitung kebutuhan lahan baru itu akan dipenuhi dari penggunaan lahan Perhutani dan konversi kebun PTPN yang sudah tidak produktif. “Kami konversi dari tanaman karet dan kakao yang tidak produktif jadi tebu,” ujarnya pada Rabu, 19 Oktober lalu.
PTPN, Sugar Co, dan Perhutani punya sejumlah skema untuk memperluas kebun tebu. Ada 62 ribu hektare lahan Perhutani yang bisa diubah menjadi kebun tebu buat program swasembada gula. Perhutani sudah mencanangkan target mengembangkan perkebunan tebu secara mandiri sampai 18 ribu hektare pada 2024. Sisanya dikerjasamakan dengan PTPN dan Sugar Co. Nilai investasinya diperkirakan sebesar Rp 40 juta per hektare.
NOFIKA DIAN NUGROHO (NGAWI)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo