Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pertambangan Nikel di Halmahera Dinilai Overproduksi dan Melampaui Daya Dukung Lingkungan

AEER mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium dan evaluasi atas izin tambang nikel di wilayah Daerah Aliran Sungai Ake Kobe, Halmahera

29 Agustus 2024 | 06.37 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium dan evaluasi atas izin tambang nikel di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Ake Kobe. Menurut AEER, kerusakan DAS Kobe diduga karena tingginya produksi nikel di wilayah itu. Sedangkan daya dukung lingkungan di Halmahera Tengah tidak bisa menopang aktivitas tambang yang sangat masif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain mencemari sumber air utama yang selama ini dimanfaatkan warga Kecamatan Weda, kini sungai Kobe juga menjadi ancaman ketika hujan lebat. "Kalau hujan, pasti itu sungai meluap, bulan lalu empat desa terendam banjir cukup lama, tidak pernah sebelumnya seperti ini," kata Supriyadi Sudirman, aktivis Safe Halmahera yang datang sebagai pembicara saat diskusi bersama AEER di Jakarta, Rabu, 28 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Supriyadi mengaku terakhir kali menyaksikan sungai Kobe berair jernih pada Agustus tahun 2023. Kini setelah setahun berlalu, sungai Kobe selalu berair kuning kecoklatan pekat, setiap hari. "Biasanya keruh kalau hujan saja, tapi sekarang, mau panas, mau hujan, tetap keruh," katanya.

Koordinator AEER Pius Ginting mengatakan aktivitas tambang nikel sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan lingkungan Halmahera Tengah. Hampir setengah dari luas wilayah itu kini berada dalam konsesi tambang. Wilayah konsesi itu juga meliputi lebih dari 299 DAS dan sub-DAS yang berperan penting dan mempengaruhi bentang alam Halmahera Tengah.

Pencemaran dan kerusakan DAS yang dipicu pertambangan nikel, kata Pius, tidak hanya terjadi pada sungai Kobe, tetapi juga di Pulau Yoi yang terletak di tenggara Pulau Halmahera. Selain itu eksploitasi berlebihan oleh perusahaan nikel kini membikin sejumlah sungai utama yang bermuara ke Laut Halmahera sudah tercemar.

Menurut Pius, pembatasan produksi nikel mendesak dilakukan. Saat ini, kata Pius, kondisi daya dukung lingkungan di Halmahera Tengah sudah tidak sebanding dengan risiko dari aktivitas tambang. "Sudah saatnya produksi nikel di Halmahera dibatasi agar seimbang dengan daya dukung lingkungan dan daya tampungnya," kata Pius dalam diskusi yang sama.

Berdasarkan riset yang dilakukan AEER, saat ini ada 82 ribu hektar DAS yang harus dipulihkan. Sebagian besar DAS tersebut berada di wilayah Kecamatan Weda Utara dan Weda Timur. Pius mengatakan kerusakan DAS tidak bisa dibiarkan makin meluas. Saat ini, kata dia, ada 27 konsesi tambang yang mengancam 29 DAS di Halmahera Tengah dengan total luas konsesi mencapai 102,5 ribu hektar.

Keberadaan konsesi tambang nikel di wilayah DAS akan menjadi bom waktu bagi ribuan penduduk Halmahera Tengah. Mengacu dokumen kajian risiko bencana Maluku Utara tahun 2021-2026, Pius menjelaskan potensi luasan banjir di Kabupaten Halmahera Tengah mencapai 16.290 hektar dan termasuk dalam risiko tinggi. "Wilayah yang terancam banjir bandang yakni seluas 8.166 hektar," katanya.

 

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus