Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Per Oktober 2024, jumlah peserta JKN yang tidak aktif mencapai 56,8 juta. Angka ini naik 3,3 juta dibanding periode yang sama pada 2023.
Meski tingkat peserta yang tidak aktif mencapai sekitar 21 persen, BPJS Kesehatan sampai saat ini belum berencana menghapus tagihan peserta yang memiliki tunggakan.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, menilai penghapusan tagihan bukan solusi yang tepat karena melanggar asas keadilan bagi masyarakat yang taat membayar tagihan setiap bulan.
DIREKTUR Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengungkapkan tren kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus meningkat. Dalam rapat bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, 13 November 2024, ia menyebutkan total peserta JKN menembus 277,55 juta jiwa.
Jumlah ini mencapai 98,25 persen dari total penduduk Indonesia. Capaian tersebut menembus target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yaitu 98 persen dari total populasi. Jumlah peserta aktif bertambah 7,2 juta dibanding pada tahun lalu. Namun jumlah peserta yang tidak aktif pun terus bertambah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Per Oktober 2024, jumlah peserta JKN yang tidak aktif mencapai 56,8 juta. Angka ini naik 3,3 juta dibanding periode yang sama pada 2023. Ali berujar banyaknya peserta yang tidak aktif ini membuat BPJS berpotensi rugi hingga Rp 7 triliun.
Potensi rugi (potential loss) yang dihadapi BPJS Kesehatan didorong oleh banyaknya peserta yang tidak membayar premi. Dari total 56,8 juta peserta nonaktif, 15 juta di antaranya menunggak iuran. Sedangkan 41,8 juta lainnya disebabkan oleh mutasi atau peserta pekerja bukan penerima upah-tanpa tunggakan iuran (PBPU-TTI).
Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan Mahlil Ruby mengatakan risiko kerugian akibat lonjakan peserta yang menunggak mencapai Rp 20 triliun. Itu pun belum dihitung dengan biaya manfaat yang kemungkinan didapatkan bila para peserta aktif membayar premi. "Kalau (membayar) nantinya biaya manfaatnya bisa sampai Rp 30 triliun,” ujar Mahlil di Jakarta Pusat, Senin, 11 November 2024.
Adapun 15 juta peserta yang menunggak iuran menjadi tidak lagi aktif karena ada keterlambatan pembayaran yang belum dilunasi. Sedangkan 42 juta peserta yang berstatus nonaktif karena mutasi atau peserta PBPU-TTI berasal dari berbagai segmen, di antaranya penerima bantuan iuran jaminan kesehatan yang dinonaktifkan oleh Kementerian Sosial dan pemerintah daerah karena sudah dianggap mampu serta pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Meski tingkat peserta yang tidak aktif mencapai sekitar 21 persen, BPJS Kesehatan sampai saat ini belum berencana menghapus tagihan peserta yang memiliki tunggakan. Untuk meningkatkan keaktifan peserta, BPJS Kesehatan meluncurkan berbagai program, di antaranya Rencana Pembayaran Bertahap (Rehab), yang membuat peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau mandiri yang menunggak bisa mencicil pembayaran iuran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Rizky Anugrah mengatakan pihaknya berupaya menjaga keaktifan peserta dengan menggencarkan layanan autodebet di bank mitra untuk memudahkan pembayaran otomatis. Ditambah perluasan kanal pembayaran online dan pengiriman pesan kepada para peserta melalui aplikasi WhatsApp sebagai pengingat tagihan iuran.
Warga mengurus layanan kesehatan di kantor BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Selatan, November 2021. TEMPO/Tony Hartawan
BPJS Kesehatan juga membuat Program Inovasi Pendanaan Masyarakat Peduli JKN (PIPMPJ) bekerja sama dengan badan usaha untuk membantu melunasi tunggakan peserta melalui skema corporate social responsibility (CSR) atau donasi. Selain itu, skema sharing iuran (SSI) untuk pendaftaran PBPU dan bukan pekerja.
Koordinator Advokasi Jaminan Sosial BPJS Watch Timboel Siregar menuturkan ada lebih dari 19 juta peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang statusnya dinonaktifkan karena mutasi atau perubahan status. Padahal peserta tersebut masih tergolong miskin dan tidak mampu pindah ke segmen BPJS lain yang membayar secara mandiri.
Timboel menduga penghapusan status aktif bagi mereka disebabkan oleh keterbatasan kuota peserta PBI yang dibiayai dari APBN dan APBD. "Padahal kelompok ini merupakan orang miskin yang tidak mampu untuk mutasi ke segmen lain sehingga harus dicari solusinya," tutur Timboel kepada Tempo, Rabu, 13 November 2024. Untuk itu, ia mengusulkan pemerintah meningkatkan kuota PBI menjadi 113 juta sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2023 tentang Peta Jalan Jaminan Sosial.
Sedangkan untuk kelompok masyarakat mampu yang menjadi tidak aktif karena menunggak pembayaran, Timboel menyarankan penerapan sanksi, seperti pembatasan akses ke layanan publik. Hal itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013. Terlebih saat ini ada beberapa peraturan, seperti yang diterbitkan oleh kepolisian, yang mensyaratkan keanggotaan aktif BPJS untuk mengurus dokumen tertentu, antara lain surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) dan surat izin mengemudi (SIM).
Timboel juga menyarankan pemberian diskon pembayaran bagi masyarakat kelas menengah yang mampu tapi menunggak. Selain itu, penghapusan tunggakan bagi pekerja mandiri yang jatuh miskin. Dengan memberikan diskon 60 persen, ia memperkirakan peserta kelas menengah bisa membayar 40 persen sisanya atau sekitar Rp 6 triliun. Dengan demikian, pendapatan BPJS bisa bertambah dan mengurangi defisit.
Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, pun menilai tagihan yang sudah terlalu lama dapat dihapus atau diputihkan asalkan dilakukan dengan kriteria yang tepat sehingga realistis dan tidak terlalu membebani keuangan BPJS Kesehatan. "Ini akan membuat database BPJS lebih bersih dan konkret karena tak ada lagi data tunggakan yang sudah tidak dapat ditagih," tuturnya.
Namun Wijayanto mengingatkan penghapusan tagihan bisa menyebabkan defisit keuangan BPJS Kesehatan makin besar. Adapun tahun ini diperkirakan BPJS Kesehatan mengalami defisit sekitar Rp 20 triliun. Karena itu, ia lebih menyarankan BPJS Kesehatan mendisiplinkan peserta nonaktif agar membayar premi secara rutin. Misalnya, mereka yang belum melunasi premi tidak lagi dapat menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan.
Banyaknya peserta mandiri yang menunggak iuran, menurut Wijayanto, memang menjadi tantangan besar karena tidak ada pengawasan oleh pihak ketiga. Sedangkan untuk peserta korporasi, BPJS Kesehatan dapat bekerja sama dengan perusahaan. Untuk itu, ia pun mendorong BPJS Kesehatan memanfaatkan teknologi seperti sistem pembayaran melalui akun ponsel agar partisipasi dan kepatuhan peserta mandiri bisa meningkat.
Berpendapat berbeda, ekonom dari Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, menilai penghapusan tagihan bukan solusi yang tepat karena melanggar asas keadilan bagi masyarakat yang taat membayar tagihan setiap bulan. Penghapusan tagihan juga berisiko menimbulkan moral hazard. Peserta merasa tidak perlu membayar tepat waktu karena mengandalkan kemungkinan penghapusan tagihan di masa depan.
Nailul mendorong BPJS Kesehatan mempertimbangkan lagi penentuan besaran iuran secara hati-hati (prudent) dan menyesuaikan dengan kondisi keuangan masyarakat yang saat ini sangat tidak menentu. "Sebab, banyak yang ketika mau membayar, tunggakannya sudah banyak dan saat itu masyarakat tidak mampu membayarnya. Dengan demikian, sistem pembayaran denda ini yang memberatkan," ujar Nailul.
Sependapat dengan Nailul, pengamat kesehatan dari Universitas Indonesia, Ahmad Fuady, menilai BPJS Kesehatan tidak perlu menghapus tagihan peserta yang menunggak, tapi memberikan kesempatan untuk mencicil pembayaran tunggakan mereka. Menurut dia, pendekatan ini tidak hanya membantu mengurangi beban tunggakan, tapi juga berfungsi sebagai edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya asuransi.
Pasalnya, Ahmad berpandangan bahwa rendahnya kesadaran masyarakat soal urgensi asuransi kesehatan menjadi salah satu penyebab lonjakan tunggakan iuran BPJS. Banyak peserta merasa tidak perlu membayar iuran jika mereka sedang dalam kondisi sehat karena menganggap asuransi baru penting saat sakit. Tanpa edukasi yang tepat, persoalan yang sama diperkirakan terus berulang.
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu juga menyoroti masalah ketidaksesuaian iuran dengan kemampuan dan kemampuan untuk membayar. Ahmad menilai banyak peserta merasa bahwa besaran iuran JKN terlalu tinggi dibanding kemampuan ekonomi mereka. Imbasnya, sebagian peserta cenderung menunda atau bahkan tidak membayar sama sekali. Dengan demikian, perlu diukur kembali sejauh mana peserta mampu membayar supaya iuran yang terkumpul dapat lebih optimal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Vedro Immanuel berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Catatan revisi: Artikel ini telah diedit pada pukul 13.33 WIB, Kamis, 14 November 2024. Sebelum direvisi, artikel ini menampilkan ilustrasi kartu yang menunjukkan tulisan BPJS Ketenagakerjaan. Atas kekeliruan tersebut, redaksi meminta maaf.