Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pesona Teh Biru Yogya

Budi daya bunga telang tengah menjadi tren karena bernilai ekonomi tinggi. Berkhasiat untuk pengobatan dan relaksasi.

5 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Teh bunga telang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bunga bermahkota biru yang pohonnya merambat dan tumbuh liar di kampus Institut Pertanian Bogor itu semula tidak istimewa bagi Yusuf Napiri Maguantara dan Rita Kartikasari. Hingga kemudian, dalam beberapa kali perjalanan ke luar negeri, mereka menemukan makanan berwarna biru berbahan dasar bunga tersebut.

Di Tanah Air, bunga itu dikenal dengan nama telang. Dalam bahasa Inggris, bunga ini biasa disebut butterfly pea, Asian pigeonwings, atau Clitoria ternatea. “Kami suka sekali dengan warnanya,” kata Yusuf kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Kecintaan pasangan tersebut terhadap bunga telang mulai bersemi pada 2013. Di rumahnya di Bogor, Jawa Barat, Yusuf dan Rita mulai menanam dan mengembangbiakkan telang. Saat itu, tak banyak literatur dalam negeri yang membahas khasiat bunga ini, apalagi orang yang membudidayakannya dalam jumlah besar.

Di Malaysia, telang dipakai sebagai pewarna nasi, sementara di Thailand untuk minuman nam dok anchan. Selain sebagai antioksidan, mahkota bunga telang yang diseduh dengan air panas bermanfaat untuk mengatasi kelelahan dan memperlancar saluran cerna. Di Bogor, ketika itu bunga telang belum populer dimanfaatkan untuk minuman herbal.

Yusuf Napiri Maguantara dan Rita Kartikasari.

Dua tahun berselang, pada 2015, Yusuf dan istrinya memutuskan pindah ke Yogyakarta. Yusuf dan Rita meninggalkan Kota Hujan, yang menjadi tempat kuliah, jatuh cinta, dan bekerja selama bertahun-tahun. Keduanya dulu teman satu kampus di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Sekitar sepuluh tahun Yusuf bekerja untuk lembaga swadaya masyarakat Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan. Sedangkan Rita aktif di Perkumpulan Kaoem Telapak sejak 1995. Bekerja di lembaga swadaya membuat Yusuf dan Rita memiliki banyak mitra petani, yang sering mereka dampingi. Sayangnya, kata Yusuf, di LSM, kerja sama tak bisa dilakukan dengan bebas. “Agar lebih bebas dan dekat dengan petani, kami pindah ke Yogya saja,” ujarnya.

Di Yogyakarta, Yusuf dan Rita menyewa sebuah rumah di Dusun Tulung, Desa Tamanmartani, Kalasan, Sleman. Bunga telang tumbuh liar di sekitar perkampungan. Tak ada yang tahu bahwa bunga ini memiliki potensi ekonomi. Padahal, di mata kawan-kawan Rita yang merupakan peneliti dari berbagai negara, bunga ini punya nilai jual tinggi.

Karena tak memiliki kebun, Yusuf menawar sepetak sawah milik tetangganya, Budi Prayitno. Budi, 72 tahun, menolak lantaran pendapatannya bersumber dari sawah itu. Ia menanam padi, cabai, kacang panjang, dan berbagai jenis sayuran lain di tanah seluas 600 meter. “Karena saya tak mau menjual, dia menawarkan kerja sama menanam bunga telang,” ucap Budi di rumahnya.

bunga telang

Semula Budi menyisihkan 300 meter sawahnya untuk ditanami bunga dari tumbuhan suku polong-polongan itu. Ia hanya menerima bibit, pupuk, dan pestisida dari Yusuf. “Saya yang menanam dan menyetor bunga keringnya,” ujar Budi. Bulan pertama panen, Budi sumringah lantaran hasil jual bunga telang lebih tinggi dibanding tanaman lain.

Satu kilogram bunga biru kering dibeli Yusuf dengan harga Rp 500 ribu. “Dalam seminggu, saya bisa setor dua kali,” tuturnya Budi. Ia merasa lebih untung memanen bunga dibanding saat panen gabah atau cabai. “Harganya tidak naik-turun, modalnya sedikit, bisa panen tanpa kenal musim.”

Tanaman bunga telang mudah tumbuh subur di mana pun. Satu tanaman bisa menghasilkan ratusan bunga. Untuk pupuknya, Yusuf dan Rita meracik penyubur yang terbuat dari campuran air kelapa, air cucian beras, gula pasir, kulit buah nanas, dan akar bambu. Adapun untuk pestisida, mereka mencampur tembakau dengan cabai kering dan kulit bawang merah. “Semuanya alami meskipun ulat tidak bisa mati dalam sekali semprot,” kata Budi.

Saat masa panen, Budi bisa mengumpulkan sedikitnya 500 gram bunga per hari mulai pukul 6 pagi hingga 11 siang. Bunga-bunga itu kemudian dijemur di bawah sinar matahari tak langsung selama tiga-empat jam. “Harus kering agar tidak berjamur, tapi tidak bisa lama-lama karena akan layu dan warnanya tidak menarik,” ucapnya.

Yusuf mengungkapkan, harga bunga telang kering laku Rp 3 juta per kilogram di tingkat penjual beberapa tahun lalu. Saat itu, pengeringan bunga masih dilakukan dengan mesin sehingga membutuhkan ongkos listrik cukup besar. Dengan pengeringan lewat sinar matahari, harga jual diturunkan menjadi Rp 1,5 juta per kilogram. Bunga telang kering juga dijual dalam kemasan 10-100 gram. Isi 10 gram dijual Rp 15 ribu per kemasan.


Dalam sebulan, sedikitnya terjual 10 kilogram bunga telang dengan harga Rp 1,2-1,5 juta per kilogram.


Kini Yusuf dan Rita membuka toko penjualan bunga telang kering di rumahnya di Dusun Karangmojo, Prambanan, Sleman. Mereka juga menjual bunga ini lewat marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee. “Pembelinya dari Sabang sampai Merauke,” kata Nuri Rukmiarti, penjaga toko Martani Organik milik Yusuf dan Rita.

Produk Martani Organik memang belum rutin diekspor ke luar negeri. Namun beberapa kolega Yusuf dan Rita dari mancanegara kerap mencicipi keunikan teh dari bunga telang ini. “Kami belum ingin ribet urusan syarat ekspor,” tutur Yusuf. Dalam sebulan, sedikitnya terjual 10 kilogram bunga telang dengan harga Rp 1,2-1,5 juta per kilogram.

Salah satu pelanggannya adalah Mukinah. Sudah dua tahun terakhir Mukinah, 67 tahun, tak pernah lupa menyeduh bunga telang menjadi teh biru untuk suaminya, Budi Prayitno. Secangkir teh biru itu kadang dicampur dengan jeruk nipis hingga menjadi ungu, atau dengan daun serai hingga berwarna kehijauan. Hasilnya, badan Budi jarang terasa pegal meskipun ia berjam-jam bekerja di sawah. “Dulu saya selalu minum pil antilinu, sekarang sudah enggak,” ujar Budi.

Bukan hanya suaminya yang merasakan manfaat dari hasil panen sendiri, Mukinah juga ikut senang setelah tahu air seduhan bunga telang bisa menjernihkan penglihatannya. Dulu, Mukinah harus memakai kacamata setiap kali akan menjahit. “Setelah saya teteskan teh telang berkali-kali, pandangan jadi lebih jelas,” ucapnya. Kini Mukinah gencar mempromosikan manfaat teh telang kepada tetangga.

Hampir setiap rumah di Dusun Tulung kini punya satu pohon bunga telang. Tak jarang Budi dan Mukinah juga menerima tamu dari Jepang, Brasil, dan Amerika Serikat yang ingin mengetahui proses pembuatan teh berkhasiat baik untuk kesehatan itu.

Transparency Market Research menyebutkan teh bunga telang mengandung flavonoid dan tanpa kafein sehingga baik untuk tubuh. Teh biru ini digemari oleh konsumen di Asia-Pasifik dan Amerika Latin. Pada 2016, Seven Tea One—perusahaan teh asal Malaysia—memasarkan teh telang secara komersial untuk pertama kalinya di Asia Tenggara. Tahun lalu, Starbucks Asia turut mengeluarkan minuman edisi spesial musim semi untuk dipasarkan di Malaysia, Filipina, Thailand, Kamboja, Taiwan, dan Vietnam.

Yusuf Napiri mendorong pelanggannya  ikut membudidayakan bunga telang di rumah. Caranya, memberikan bibit atau benih untuk setiap pembelian bunga telang kering siap seduh. “Yang terpenting bagi kami bagaimana mengembangkan bahan makanan lokal,” kata Yusuf. Ia berharap makin banyak bunga telang yang ditanam.

PUTRI ADITYOWATI (YOGYAKARTA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus