Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapa pun yang bertandang ke kantor Der Spiegel di Hamburg akan melihat tiga kata bersepuh warna perak yang menempel di dinding lobi kantor majalah paling prestisius di Jerman itu: “sagen, was ist”—katakan, apa adanya. Di bawahnya ada tanda tangan Rudolf Karl Augstein, pendiri dan pemimpin redaksi pertama majalah mingguan politik sejak 1946 itu, yang meninggal pada 2002.
Saya berdiri di sana pada 3 Desember 2018 sore, membaca kalimat itu sambil mengagumi kemegahan kantor Spiegel yang 13 lantai dengan tangga kayu yang melintang, dengan aluminium dan kaca yang kokoh, dengan lift yang turun-naik mengangkut penumpangnya yang penuh. “Hai, halo, selamat datang,” suara Jürgen Dahlkamp dalam bahasa Inggris dengan aksen Jerman menyapa dari belakang.
Ia Redaktur Pelaksana Desk Investigasi Der Spiegel. Dahlkamp ditemani Nicolai Kwasniewski, redaktur Spiegel Online. Majalah ini membagi timnya menjadi dua sejak 1994. Spiegel Online punya tim terpisah dari tim majalah. Sebanyak 200 reporter dan editor online di lantai paling atas bekerja membuat berita-berita mutakhir selama 24 jam, memproduksi video, podcast, blog, serta analisis peristiwa.
Dahlkamp mengajak saya, yang datang bersama tiga wartawan Indonesia lain dan seorang mahasiswa doktoral Universität Hamburg serta anggota staf di Komisi Jerman untuk UNESCO, ke lantai 10. Dari ruang 3 x 4 meter itu kami bisa melihat pemandangan kota pelabuhan Hafencity yang basah-kelabu di bawah suhu 10 derajat.
Dahlkamp langsung pada tujuan, bercerita bagaimana kultur investigasi terus dipertahankan oleh majalah ini di tengah disrupsi Internet. Juga bagaimana Spiegel menjaga berita dengan menyiapkan seregu tim cek fakta yang terdiri atas 70 orang. “Bersama saya di desk Investigasi ada tiga penulis yang bekerja tanpa deadline,” katanya. Football Leaks adalah kerja sukses departemen ini membongkar skandal pajak dan penyelewengan dalam industri sepak bola dunia.
Ketika Dahlkamp berbicara, di ruangan lain rupanya ada satu tim yang sedang bekerja dengan berkerut kening. Seperti diceritakan Pemimpin Redaksi Der Spiegel Ullrich Fichtner di Spiegel.de edisi 19 Desember 2018, hari itu e-mail majalah ini menerima sebuah surat dari seseorang di Arizona, Amerika Serikat, yang mengatakan bahwa Claas-Hendrik Relotius tak mewawancarainya untuk artikel tentang patroli perbatasan Meksiko.
Relotius, 33 tahun, adalah wartawan Spiegel yang paling bersinar. Ia baru satu-setengah tahun menjadi redaktur, setelah enam tahun sebelumnya reporter lepas. Ia menulis dari pelbagai negara, menyajikan feature liputan mendalam yang memikat. Pada jam ketika Dahlkamp berbicara dengan kami, ia sedang berada di Berlin untuk menerima German Reporter Award 2018. Para juri menilai liputannya tentang bocah Suriah yang terlibat perang sipil sebagai tulisan terbaik tahun itu.
Surat elektronik dari Arizona tersebut menyentak para redaktur Spiegel. Mereka teringat pada Juan Moreno, penulis pendamping Relotius sejak 2007, yang gigih meminta dewan redaksi memeriksa fakta yang ditulis koleganya itu lebih saksama sejak akhir November 2018. Moreno curiga apa yang ditulis Relotius banyak bohongnya.
Mula-mula usul Moreno diabaikan para editor Spiegel. Mereka bahkan menganggap permintaan itu sebagai rasa iri sesama penulis. Apalagi tim cek fakta sudah memeriksa artikel Relotius sebelum terbit.
Menurut Dahlkamp, anggota tim itu mengecek detail reportase para penulis sebelum menerbitkannya di majalah. Misalnya, jika seorang reporter melaporkan “di bawah suhu 2 derajat Celsius pada musim dingin 2018, sebuah mobil melaju kencang di jalan Selandia Baru melewati banyak kaktus...”, tim cek fakta akan memeriksa suhu pada tanggal tersebut dan memakai Google Earth untuk mengecek benarkah ada kaktus di lokasi yang direportasekan penulis itu.
Artikel Relotius sudah melewati pengecekan yang rigid itu. “Bahkan pemeriksaan kata per kata,” tulis Fichtner. Masalahnya, tim cek fakta hanya bisa memeriksa apa yang ada di permukaan. Mereka tak bisa menjangkau detail reportase kepada narasumber para reporternya.
Seperti artikel “Jaegers Grenze” tentang perbatasan Amerika Serikat-Meksiko itu. Atau cerita tentang Colin Kaepernick, atlet American football yang memprotes tindakan rasialis terhadap orang kulit hitam, yang ternyata palsu. Relotius tak pernah menemui atlet berambut kribo tersebut ataupun orang tuanya. Editor Spiegel mendapat kepastian itu setelah pengacara keluarga Kaepernick menyatakan kutipan-kutipan dalam artikel berjudul “Atlet Rugbi yang Merobek Trump” tersebut tanpa dasar.
Skandal Relotius mengguncang jagat media pada akhir 2018. Total ada 14 artikel yang ia karang dari 55 tulisan yang terbit di Der Spiegel. Redaksi majalah itu secara transparan menjelaskan duduk soal penipuan tersebut dengan detail, kronologi, dan investigasi internal mereka terhadap kejahatan Relotius, lalu mempublikasikannya lewat Spiegel Online. Melalui akun Twitter, Spiegel meminta maaf atas ulah wartawannya itu.
Di Jerman, tradisi cek fakta sudah lama ada. Selama berkeliling 12 hari ke kantor media besar di sana, saya mendapat penjelasan bahwa redaksi setiap media umumnya punya tim khusus untuk mengecek fakta sebelum artikel terbit. Kini, di zaman Internet, tim itu tak hanya memverifikasi artikel-artikel wartawan mereka sendiri, tapi juga memeriksa informasi yang berkembang di media sosial. Deutsche Presse-Agentur, kantor berita Jerman, punya 120 anggota tim cek fakta.
Majalah Stern (Bintang) melipatkan jumlah anggota tim cek fakta dari satu menjadi sepuluh orang, terutama setelah terungkap skandal diari palsu Adolf Hitler pada 1983. Skandal itu memukul majalah mingguan ini dengan merosotnya oplah dari 1,8 juta per edisi menjadi tinggal 1 juta. “Sekarang kami menerbitkan sekitar 700 ribu eksemplar per edisi,” kata Uli Rauss, wartawan investigasi Stern.
Di Stern, Rauss menjelaskan, sebuah artikel yang terbit diperiksa oleh berlapis-lapis tim. Penyunting memeriksa artikel dari penulis, lalu menyetorkannya kepada pemimpin redaksi sebelum masuk meja tim cek fakta. Lapis terakhir adalah pengacara. Seperti di Spiegel, tim cek fakta terdiri atas para jurnalis dan ahli-ahli. Di Stern bahkan ada ahli biologi yang menjadi anggota tim ini.
Sebelum ada heboh Relotius, skandal diari palsu Hitler adalah noda terbesar dalam jurnalisme Jerman. Relotius melakukan dosa besar jurnalistik itu karena tertekan oleh keinginannya menjadi sukses. “Saya takut gagal,” ucapnya dalam interogasi internal seperti dikutip Ullrich Fichtner. “Ketakutan itu kian menekan saya untuk menjadi sukses.”
Fichtner mengatakan apa yang dilakukan anak buahnya itu titik terendah sepanjang 70 tahun usia majalah dengan oplah 750 ribu eksemplar tersebut. Ia merujuk kembali apa yang ditulis Rudolf Karl Augstein yang tertera di atrium gedung Spiegel. Seperti Der Spiegel yang berarti “cermin” yang memantulkan obyek apa adanya, tulis Fichtner, “Sagen was ist itu misi dan cita-cita jurnalistik kami, bukan sekadar hiasan dinding.”
BAGJA HIDAYAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo