Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Stasiun televisi baru bertebaran setelah program ASO berjalan.
Industri televisi masih dikuasai delapan grup besar.
Para pemain besar menguasai mayoritas kue iklan.
SETELAH libur menonton siaran televisi selama sebulan, Didik akhirnya membeli televisi baru. Pesawat yang ia beli sudah dilengkapi perangkat untuk menangkap siaran televisi digital plus penayang video streaming dengan koneksi Internet. Warga Depok, Jawa Barat, itu terpaksa membeli televisi baru pada awal Desember 2022 agar tak tertinggal siaran langsung sepak bola Piala Dunia 2022 yang berlangsung di Qatar. "Ribet kalau harus pasang alat seperti set-top box," kata pria 52 tahun itu kepada Tempo pada Sabtu, 14 Januari lalu.
Set-top box (STB) yang dimaksud Didik adalah perangkat tambahan untuk menangkap sinyal digital pada televisi model lama, yang hanya bisa menyiarkan gelombang analog. STB menjadi barang yang paling diburu setelah pemerintah memberlakukan analog switch-off (ASO) atau migrasi siaran televisi digital dari analog pada 2 November 2022. Perangkat ini dibeli secara terpisah untuk dihubungkan ke televisi analog. Namun cara ini merepotkan dan cenderung ketinggalan zaman jika dibandingkan dengan membeli televisi pintar alias smart TV yang sudah dilengkapi penangkap sinyal digital dan penghubung ke jaringan Internet.
Tapi membeli smart TV yang harganya di atas Rp 2 juta bukan pilihan bagi banyak orang, terutama yang berpenghasilan rendah. Mereka memilih membeli STB seharga Rp 200-500 ribu. Bahkan pemerintah menyediakan STB gratis khusus untuk warga tak mampu. Toh, kenyataannya penyediaan STB gratis juga tak lancar sehingga Kementerian Komunikasi dan Informatika menunda pelaksanaan ASO tahap ketiga yang semestinya berlangsung mulai 10 Januari 2023. Pada tahap ini, ASO berlaku di Malang dan sekitarnya (Jawa Timur 2); Madiun dan sekitarnya (Jawa Timur 9); Purwokerto, Cilacap, Brebes, dan Purbalingga (Jawa Tengah 7); serta Bali, Makassar, Banjarmasin, Medan, dan Palembang.
Keputusan pemerintah menunda pelaksanaan ASO tahap ketiga disampaikan dalam rapat antara Kementerian Komunikasi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan sejumlah lembaga penyiaran. Karena itu, KPI mendorong pemerintah menagih komitmen stasiun televisi penyelenggara multipleksing (mux) memenuhi kewajiban mendistribusikan STB. Sejauh ini, pembagian STB gratis dari penyelenggara mux baru terealisasi 5,7 persen dari total 5 juta unit yang dijanjikan. “Pemerintah harus lebih tegas menagih komitmen itu. Jika begini terus, kapan ASO mau selesai?” kata komisioner KPI, Mohammad Reza, pada Senin, 9 Januari lalu.
Direktur Utama TV MU Makroen Sanjaya saat wawancara dengan Tempo di Kantor Pusat TV MU, Jakarta, 13 Januari 2023. Tempo/Tony Hartawan
Ketua Umum Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) Eris Munandar mengakui kelanjutan program ASO terhambat masalah penyaluran STB gratis untuk masyarakat kurang mampu. “Mudah-mudahan segera tuntas,” ujarnya. Menurut Eris, pemerintah menargetkan pada peringatan Hari Penyiaran Nasional 1 April mendatang ASO sudah berlangsung di seluruh Indonesia. Dia menilai maju-mundurnya program ASO menimbulkan ketidakpastian bagi industri pertelevisian, terutama buat pemain baru yang berencana berekspansi ke daerah-daerah. Saat ini peluang perluasan bisnis belum terbuka di beberapa wilayah yang masih menggunakan siaran analog.
ATSDI berharap semangat migrasi siaran televisi digital, yaitu mendiversifikasi konten dan memperluas kepemilikan, bisa segera terwujud. Dengan diversifikasi konten, masyarakat bisa segera menikmati tayangan yang lebih beragam. Eris mengatakan pemberlakuan ASO secara nasional akan memudahkan pemetaan bisnis. Saat ini, tatkala siaran digital belum merata, calon klien atau pemasang iklan di stasiun menjadi ragu dan berpikir ulang untuk melancarkan rencananya.
Setelah Televisi Digital
Migrasi siaran analog ke digital membuka babak baru industri televisi nasional. Setelah program analog switch-off berjalan, muncul banyak stasiun televisi baru. Sebagian di antaranya memang benar-benar pemain baru. Bahkan ada penyelenggara yang tak berstatus perusahaan media atau broadcaster. Tapi banyak juga stasiun televisi baru yang menjadi anak perusahaan besar atau pemain lama di industri ini. Di era siaran digital, stasiun televisi besar memang beranak-pinak dengan membuka jaringan stasiun semi-nasional, regional, dan lokal di semua daerah.
Beberapa stasiun televisi baru milik pemain lama adalah Mentari TV dan Moji TV. Keduanya milik PT Surya Citra Media Tbk (SCM) yang juga dikenal sebagai anak usaha PT Elang Mahkota Teknologi atau Grup Emtek. Moji TV adalah wajah baru O Channel. Bedanya, O Channel menyajikan siaran umum, sementara Moji TV menayangkan konten olahraga. Di luar grup SCM, ada Magna Channel dan BN Channel yang merupakan bagian dari Media Group. Media Group, perusahaan milik pengusaha cum politikus Surya Paloh, lebih dulu dikenal dengan stasiun televisi berita Metro TV serta surat kabar harian Media Indonesia.
Karyawan tengah melakukan siaran ruang kontrol siaran TV MU di Kantor Pusat TV MU, Jakarta, 13 Januari 2023. Tempo/Tony Hartawan
Kepada Tempo, Jumat, 13 Januari lalu, Direktur Utama SCM Sutanto Hartono mengatakan perusahaannya melihat ceruk pasar yang belum digarap maksimal oleh stasiun televisi siaran gratis alias free-to-air (FTA) yang ada. Mentari TV dan Moji TV pun akan membidik penonton kelas menengah ke atas. “ASO memberi peluang bagi SCM sebagai operator mux untuk menghadirkan dua kanal tambahan,” ujarnya.
Menurut Sutanto, SCM meluncurkan Moji TV pada 21 Agustus 2022 dengan segmen pasar pencinta olahraga, pemirsa muda, dan penyuka hiburan. Adapun Mentari TV yang meluncur pada 6 Januari 2021 membidik pemirsa anak-anak dan para ibu. Meski Mentari TV relatif baru, Sutanto mengklaim stasiun televisi itu sukses menembus posisi tujuh stasiun FTA dengan rating tertinggi dalam waktu tiga bulan setelah peluncuran. “Dengan share 7,5 persen.”
Karena itu, Sutanto kian yakin konten Mentari TV cocok untuk siaran FTA. Stasiun televisi ini memegang hak siar beberapa program yang ngetop di kalangan anak Indonesia. Misalnya serial animasi Tayo the Little Bus dan Pororo the Little Penguin yang "diimpor" dari Korea Selatan. Penayangan program itu adalah perpanjangan hak dari Vidio, platform streaming video milik SCM. Serial Pororo pun sebenarnya telah berpindah-pindah tayang di beberapa stasiun televisi, seperti RCTI, ANTV, dan RTV. Dengan konten semacam itu, SCM bisa mengklaim telah menguasai pangsa pasar televisi hingga 36,7 persen pada triwulan IV 2022.
Stasiun televisi baru yang benar-benar dimiliki pemain anyar adalah TV Mu. Stasiun televisi terestrial digital ini milik organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah. Diluncurkan sebagai stasiun televisi satelit pada 18 November 2013, TV Mu menyediakan berbagai program bernuansa religi, seperti acara dakwah, pendidikan, dan kebudayaan. Sebelum mengudara di saluran digital, siaran TV Mu dapat diakses melalui antena parabola.
Direktur Utama TV Mu Makroen Sanjaya mengatakan saat ini acara stasiun televisinya hanya tayang di Jakarta. Rencana bersiaran di Bandung, Semarang, dan Surabaya masih tertahan soal perizinan. Sejak 2020 pemerintah menjalankan moratorium atau penghentian sementara pemberian izin penyiaran baru di daerah. “Keran perizinan masih tertutup,” kata Makroen, yang juga menjabat Pemimpin Redaksi TV Mu, pada Jumat, 13 Januari lalu. Di luar itu, dia menambahkan, ada kendala modal untuk membuka siaran di daerah-daerah.
Menurut Makroen, pemain baru yang paling besar adalah Nusantara TV atau NTV. Jaringan stasiun televisi swasta digital dengan jangkauan nasional ini milik NT Corp, kelompok usaha yang dipimpin Nurdin Tampubolon, pengusaha dan politikus Partai Hanura. Grup ini mencakup Bhinneka TV, Gold TV, dan Harum TV. Pada 26 April 2021, NTV resmi memenangi seleksi mux digital untuk wilayah layanan Bandar Lampung dan Bali. Yang juga baru adalah Inspira TV, jaringan televisi digital regional yang berpusat di Bandung. “Tapi perkembangan para pendatang baru ini juga berat,” ucap Makroen.
Di luar itu, para pemain baru industri televisi masih kelas gurem, termasuk televisi religi seperti TV Mu dan MQ TV. MQ TV alias Manajemen Qolbu TV adalah stasiun televisi lokal di Bandung milik Yayasan Daarut Tauhiid, lembaga yang didirikan pedakwah Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym. Sebelum bersiaran di saluran terestrial digital melalui mux Metro TV Bandung, MQ TV mengudara melalui satelit Palapa C2 milik Indosat.
Kue Iklan Televisi
Pada era siaran digital, stasiun televisi baru boleh saja bermunculan bak cendawan di musim hujan. Pada kenyataannya, penguasa industri pertelevisian nasional saat ini tak berbeda jauh dengan pada era siaran analog. Direktur Utama TV Mu yang juga dosen penyiaran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Makroen Sanjaya, mengaku sedang menggelar penelitian tentang peta bisnis televisi mutakhir.
Menurut Makroen, saat ini ada 15 stasiun televisi berjaringan nasional besar yang berada di bawah delapan grup. Dari semuanya, lima kelompok besar merupakan pemain lama, yaitu MNC Media yang memiliki RCTI, MNCTV, GTV, dan iNews; SCM yang menaungi SCTV, Indosiar, Moji TV, dan Mentari TV; Visi Media Asia yang terdiri atas ANTV, TVOne, dan VTV; Trans Media yang memiliki Trans7, Trans TV, CNN Indonesia, dan CNBC Indonesia; serta Media Group melalui Metro TV, Magna Channel, dan BN Channel.
Sedangkan tiga grup lain bisa disebut sebagai pemain baru, yakni KG Media yang meliputi Kompas TV, Gramedia TV, dan KTV; Rajawali Corpora dengan RTV; dan Net Visi Media selaku penyelenggara NET TV. Tapi, Makroen mengingatkan, ketiga pemain baru ini sebenarnya adalah wajah lama. “Jadi seperti ganti baju saja. Orangnya itu-itu juga," katanya. Dia memberi contoh Kompas TV yang dulu pernah punya TV7 yang kemudian dijual ke CT Corp dan berubah menjadi Trans7. Adapun Rajawali Corpora, pemilik Rajawali Televisi alias RTV, terafiliasi dengan Peter Sondakh yang mendirikan RCTI pada 1990-an.
Begitu pula NET, produk rebranding dari PT Televisi Anak Spacetoon (Spacetoon) yang diakuisisi Grup Indika pada 2013. Di belakang NET ada Agus Lasmono Sudwikatmono, putra konglomerat Sudwikatmono. Sebelumnya Agus berkecimpung di industri televisi sebagai pemegang saham SCM.
Menurut Makroen, delapan grup ini yang menyedot kue iklan televisi terbanyak. Pada 2021, dia menjelaskan, nilai kapitalisasi (gross) industri pertelevisian diperkirakan mencapai Rp 203 triliun. Adapun nilai bersihnya kira-kira 20 persen atau sekitar Rp 40 triliun. Pada 2022, Nielsen Ad Intel melaporkan belanja iklan per semester pertama mencapai Rp 135 triliun. Nilai ini meningkat 7 persen dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat Rp 127 triliun.
Stasiun televisi masih mendominasi dengan porsi perolehan belanja iklan sebanyak 79,2 persen dengan nilai Rp 107,5 triliun. Di bawahnya ada platform digital, yang mendapat porsi 15,2 persen atau senilai Rp 20,5 triliun. Sebaliknya, porsi belanja iklan media cetak tertekan menjadi 4,8 persen, sementara stasiun radio 0,3 persen. Nielsen menghitung nilai belanja iklan berdasarkan gross rate card yang tidak mempertimbangkan aspek diskon, promosi, paket, dan lain-lain. Nielsen memonitor 15 stasiun televisi, 161 media cetak, 104 stasiun radio, 200 situs, dan 3 media sosial serta reklame di Jakarta.
Duit itu, Makroen melanjutkan, lebih banyak disedot oleh 15 besar stasiun televisi nasional. “Para pemain kecil seperti kami ini kebagian remah-remah. Dapat 1 persennya saja sudah bagus.” Makroen menambahkan, demokratisasi penyiaran di era digital sebatas klaim. Toh, kenyataannya industri televisi masih dikuasai pemain besar yang cenderung ekspansif dengan membuka stasiun televisi baru. Menurut Makroen, stasiun televisi berbasis komunitas seperti TV Mu ditopang oleh organisasi pendirinya. “Kami saling menopang sehingga bisa hidup.”
Meski begitu, pemerintah mengklaim tak sembarangan memberi izin siaran televisi baru. Direktur Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Informatika Geryantika Kurnia mengatakan pemberian izin kepada stasiun televisi harus melalui kajian demand-supply dengan mempertimbangkan kue iklan. Untuk wilayah layanan yang sudah padat, dia menjelaskan, tidak perlu ada izin baru. Saat ini di Jawa rata-rata jumlah stasiun televisi sudah di atas 25. "Sistem hukum pasar berlaku, yang tidak kuat akan gulung tikar," ucapnya.
Pemain utama pun tak risau terhadap para pendatang baru. Direktur Corporate Secretary MNC Group Syafril Nasution mengatakan bisnis televisi sangat ditentukan oleh programnya. “Bukan pemilik atau orangnya,” tuturnya pada Rabu, 11 Januari lalu. Bila programnya diminati masyarakat, kata dia, stasiun televisi bisa bertahan hidup dengan ditopang pendapatan iklan. “Kalau program tidak menarik, bagaimana bisa mendapat iklan?”
Sebaliknya, Syafril menambahkan, pemasang iklan akan rugi jika masuk ke stasiun televisi yang tidak ada penontonnya. “Lebih baik bagi-bagi brosur biar dilihat banyak orang atau pasang iklan di papan reklame,” ujarnya. Karena itu, Syafril menegaskan, MNC Group akan berfokus pada program yang diminati masyarakat. “Kami punya pemirsa tersendiri.”
Ketua Umum Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia Eris Munandar mengatakan akan bekerja sama dengan pemerintah daerah agar membelanjakan sebagian kue iklan ke stasiun televisi lokal di daerahnya. Menurut dia, upaya itu menjadi komitmen keberpihakan pemerintah daerah terhadap industri kreatif lokal setiap daerah.
Senada dengan Eris, Sekretaris Perusahaan Nusantara TV Tulus Tampubolon menegaskan komitmen perusahaan berkolaborasi untuk membangkitkan kepercayaan diri stasiun televisi daerah. “Tidak boleh ada lagi monopoli dari A sampai Z, dari hulu sampai hilir,” katanya. Tulus mengatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah menempatkan industri televisi pada porsi yang adil.
Pemerintah daerah tinggal dimotivasi untuk membangun wilayahnya melalui siaran yang berkualitas. Program analog switch-off ke televisi digital, menurut Tulus, membuat biaya produksi dan operasi siaran televisi lebih ringan, yang akan berdampak murahnya tarif iklan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo