GEMURUH tepuk tangan mengakhiri Musyawarah Nasional pertama
Asosiasi eksportir dan produsen kerajinan Indonesia (Asephi)
yang berlangsung 2 hari di gedung DKI pekan lalu. Keplok itu
juga bergema ketika 120 orang pengusaha yang ber-Munas itu
sepakat menunjuk Bapak Angkat (BA) untuk membina industri
kerajinan. "Sekarang kami menunggu penunjukan sang bapak angkat
itu," kata Latief, Ketua Umum Asephi kepada TEMPO seusai Munas.
Tak kurang 20 juta penduduk yang kabarnya terlibat dalam sektor
industri kecil ini. Di antaranya 740 produsen dan eksportir
anggota Asephi, yang sebagian besar masih tradisionil. Modal
utama adalah ketrampilan sedang modal uang praktis sangat kecil.
Mereka juga kekurangan pengetahuan tentang keadaan di luar
lingkungan usahanya dan informasi pasar. Januari-Nopember 1978
devisa yang diperolehnya baru $13,4 juta, naik $ 1,3 juta dari
ekspor selama 1977.
Selama ini menurut Abdul Latief yang juga Dir-Ut PT Sarinah Jaya
"bisnis industri kerajinan dikelola secara amatir, sedang
pembinaannya bersifat fungsional." Misalnya pembinaan dari
Departemen Perindustrian berdasarkan pada sistim target produksi
tanpa menghiraukan selera pasar. "Akibatnya tak laku," katanya.
Layak Bank
Bagi Abdul Latief yang memiliki pabrik garment (pakaian jadi)
dan meubel rotan di Pulogadung itu bisnis hasil-hasil kerajinan
memang sudah menjadi profesinya. Selaku BA PT Sarinah Jaya juga
melakukan fungsi pemasaran (trading house) untuk ekspor maupun
untuk pasaran lokal. Maka ir. Suryana dari Dep. Perindustrian
menyarankan agar yang ditunjuk menjadi BA itu haruslah
eksportir. Alasannya: "Para eksportir yang bonafid mengetahui
tentang produk yang diingini pasar serta tata cara perdagangan
luar negeri di samping mereka itu juga dianggap layak bank."
"Kami setuju dengan adanya bapak angkat," sambut Moh. Sardjan,
bekas Menteri Pertanian dalam Kabinet Sukiman dulu yang kini
menjadi Ketua Koperasi Pondok Pinang, Jakarta. Koperasi yang
dipimpinnya telah satu setengah tahun mendapat BA, yakni PT
Kerta Niaga. "Bantuan dan pertolongannya sangat besar," kata
Sardjan. Antara lain berupa kredit investasi, mesin-mesin dan
kredit bahan mentah.
Dengan adanya PT Kerta Niaga sebagai BA, koperasi Pondok Pinang
berhasil mendapatkan order pertama 500 buah model mebel gaya
antik Eropa senilai Rp 80 juta. Tetapi proses mendapatkan order
itu katanya, memakan waktu 1,5 tahun, seumur koperasinya, telah
menimbulkan kesulitan bagi sang BA karena menanggung bunga bank
dari kredit yang dilimpahkannya kepada anak angkat. "Ini tidak
adil, bila sang bapak diharapkan berkorban," katanya.
Seorang Bapak Angkat menurut ketua koperasi Pondok Pinang itu
"harus bertindak sama lugasnya dengan kelugasan sikap bank
kepada Bapak Angkat itu." Jika demikian konsekwensi logis
selanjutnya adalah bahwa kredit dari BA tokh dilimpahkan beban
bunganya kepada anak angkat ditambah dengan ganti resiko serta
jasa yang akan menjadi lebih berat bagi industri kerajinan.
Jalan lain tak mungkin. Meskipun Mhd Sardjan setuju dengan
sistim Bapak Angkat ini dan telah menjadi anak angkat, namun
bagi industri kerajinan, produsen dan eksportir ia minta tetap
diberi kesempatan mendapatkan kredit investasi dan modal kerja
langsung dari bank.
Bank Indonesia dalam pengembangan pengusaha kecil tidak diam.
Ini kelihatan dari peningkatan jumlah plafon kredit investasi
kecil (KIK) maupun Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Menurut
Ketua Umum Asephi dari 70 anggotanya hampir 50% sudah menikmati
KIK/KMKP. Separonya lagi masih belum mengecap terbentur pada
tehnis perbankan seperti jaminan yang tak cukup.
Asephi minta agar permohonan kredit itu didasarkan pada
penelitian kelayakan. "Soal jaminan supaya tidak dihubungkan
dengan besarnya kredit yang diterimanya, tapi sekedar
menunjukkan adanya rasa tanggung jawab," kata Toto Kuswara,
Ketua I Asephi. Untuk menggalakkan ekspor, menurut Toto,
pusat-pusat promosi perdagangan (TPC) di London, Frankfurt dan
New York perlu dirobah menjadi kantor dagang." Tidak seperti
sekarang yang hanya bertugas sebagai promosi," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini