Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANTOR itu cuma ruangan tiga meter persegi. Letaknya menyempil di antara deretan toko di kawasan Pasar Besar Malang, Jawa Timur. Perabotannya: hanya satu meja penerima tamu plus counter. Tapi jangan anggap enteng. Inilah gerai Danamon Simpan Pinjam (DSP).
Gerai DSP merupakan ujung tombak Bank Danamon merengkuh para mbok pedagang sayur atau pedagang kelontong lain di pasar-pasar tradisional di seluruh Indonesia. Dalam setahun terakhir ini Bank Danamon menaruh perhatian besar pada kredit mikro, yang nilainya cuma Rp 1 juta sampai Rp 10 juta.
Digenjot sejak awal tahun, DSP sekarang telah memiliki 131 gerai di berbagai kota. Sampai akhir tahun manajemen Bank Danamon menargetkan 200 gerai. Tahun depan ditambah lagi hingga menjadi 600 gerai. Untuk menarik debitor, DSP memberikan iming-iming pemberian kredit secara cepat dan sering tanpa agunan.
Moch. Hasan, 53 tahun, pemilik Toko Serayu di lantai I Pasar Besar Malang, sudah merasakannya. Sebelumnya Hasan tak pernah mendapat kredit dari lembaga mana pun. Ia malas mengajukan permintaan karena tahu prosesnya biasanya sulit dan makan waktu lama.
Nah, menjelang Ramadan ia mendapat tawaran kredit dari DSP. Kebetulan ia sedang butuh modal tambahan untuk menyambut Idul Fitri. "Menjelang Hari Raya jumlah dagangan harus banyak," ujar Hasan, yang sehari-hari berjualan sepatu, sandal, topi, dan kopiah.
Hasan tertarik tawaran DSP karena lokasinya dekat dengan kiosnya. Pertimbangan lain, petugas DSP menjanjikan proses pencairan kredit cuma dua hari. Namun ia mesti tetap menyediakan agunan, berupa rumah. "Ternyata prosesnya memang hanya dua hari," kata Hasan, yang akhirnya memperoleh kredit Rp 7,5 juta.
Begitu pula Jumayah, 43 tahun, pedagang daging di pasar yang sama. Ia mendapat pinjaman Rp 5 juta dengan agunan surat keterangan kepemilikan bedak (kios). Sebelumnya Jumayah kerap mendapat suntikan modal dari tukang kredit perorangan yang berseliweran di pasar.
Untuk mencicil pinjamannya, Hasan diwajibkan membayar setiap hari Rp 26 ribu selama 18 bulan. Hitung punya hitung, ternyata Hasan dibebani bunga 5,15 persen per bulan. Sedangkan Jumayah wajib mencicil Rp 18 ribu per hari selama dua tahun. Itu berarti ia dikenai bunga 6,6 persen sebulan.
Jumlah itu sangat tinggi jika dibandingkan kredit konsumtif seperti kredit kepemilikan rumah atau mobil. Toh, minat para pedagang tetap saja tinggi. Mereka selama ini memang haus suntikan modal tapi sulit mengakses bank.
Menurut Kepala Divisi Perbankan Mikro Bank Danamon, Djemi Suhenda, perbankan Indonesia baru bisa melayani sekitar 36 persen dari total 19,5 juta pelaku usaha berskala mikro dan kecil. Padahal, berdasarkan survei pasar, ada sekitar 94 persen pelaku usaha yang memerlukan pinjaman.
Dengan demikian, jelas terlihat, segmen pasar kredit mikro sesungguhnya masih sangat besar. Nah, perbankan mulai tertarik mengucurkan kredit setelah mengetahui para pedagang kecil itu ternyata tahan banting menghadapi krisis ekonomi. Hal itu terbukti dari kelancaran mereka membayar kewajibannya.
Alhasil, bagi bank atau lembaga pembiayaan lainnya, itu merupakan jaminan bahwa risiko usaha di sektor ini relatif kecil. Bank BRI, misalnya, yang telah puluhan tahun menekuni kredit mikro lewat BRI Unit Desa, per Juni 2004 hanya punya angka kredit macet 2,65 persen dari total kredit yang telah dikucurkan, Rp 16,9 triliun.
Angka kredit macet di PT Permodalan Nasional Madani malah lebih kecil. Lembaga pembiayaan yang menyalurkan kredit mikro tanpa agunan lewat bank perkreditan rakyat itu hanya mencatat kredit macet satu persen. Tak mengherankan jika mereka begitu bersemangat menerjuni segmen kredit mikro.
Bank Danamon, misalnya, tahun ini sudah menyediakan dana Rp 500 miliar_Rp 600 miliar untuk kredit mikro. Sedangkan PT Permodalan Nasional dalam setengah tahun terakhir berencana menyalurkan dana Rp 250 miliar. Bank BRI malah punya misi mengangkat para pedagang kecil menjadi pengusaha yang "layak perbankan" melalui program kredit mikro.
Kualitas para bakul pasar itu dibina sehingga yang tadinya hanya mendapat pinjaman Rp 3 juta bisa melambung menjadi Rp 50 juta. Kalau sudah begitu, "Mereka bisa menjadi nasabah kantor cabang, dan status kreditnya meningkat menjadi kredit retail," ujar Sekretaris Perusahaan BRI, Yadi Suyatno.
Nugroho Dewanto, S.S. Kurniawan, Bibin Bintariadi (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo