Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Misteri Voucer Saddam Hussein

Iraq Survey Group membenarkan miliaran dolar dikeruk Saddam dari program "Minyak untuk Pangan". Nama Megawati kembali muncul.

18 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAPORAN setebal seribu halaman itu menyibak wajah lain rezim terakhir Irak. Saddam Hussein memang ternyata tak memiliki senjata pemusnah massal?seperti difitnahkan Amerika Serikat dan sekutunya. Namun Saddam, yang menggenggam pucuk kekuasaan Irak selama 26 tahun, berhasil mengumpulkan uang sampai US$ 11 miliar (sekitar Rp 99 triliun).

Dalam laporan yang disusun Iraq Survey Group (ISG), Saddam mengumpulkan duit sebanyak itu dengan memanipulasi program kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Irak, yang dikenal sebagai Minyak untuk Pangan (Oil for Food). Lembaga bentukan dinas rahasia Amerika Serikat, CIA, itu mengambil kesimpulan berdasarkan hasil wawancara dengan Saddam Hussein, yang kini ditahan di Baghdad, dan para pembantunya.

ISG juga menelisik ribuan dokumen yang tercecer dari rezim Saddam. Laporan tim yang dikepalai Charles Duelfer itu menyimpulkan, "Meski PBB memberlakukan sanksi ekonomi atas Irak, banyak negara dan perusahaan terlibat dalam transaksi dengan Irak sepanjang 1990-an."

Kesimpulan laporan Duelfer tak jauh berbeda dengan artikel Wall Street Journal (akhir tahun silam) ataupun harian Al-Mada (April 2004). Bisa jadi karena ketiganya mengandalkan sumber yang sama, yaitu dokumen rezim Saddam yang tercecer. Sebagian besar kesimpulan tentang ekspor haram minyak Irak, misalnya, datang dari State Oil Marketing Organization (SOMO).

Dalam laporan Duelfer, yang dikutip oleh Harian Washington Post, terselip nama Presiden Indonesia, Megawati Soekarnoputri, di antara nama terkenal lain yang menerima "hadiah" voucer minyak dari rezim Saddam. Selain Megawati, muncul pula nama mantan Menteri Dalam Negeri Prancis Charles Pasqua, Presiden Rusia Vladimir Putin, mantan kandidat presiden Rusia Vladimir Zhirinovsky, dan Partai Kongres India.

Daftar ini seakan mengulang nama-nama tenar yang dimuat oleh harian Al-Mada. Selain Megawati, di antara lebih dari 200 nama tertera pula Amien Rais, calon presiden dari Partai Amanat Nasional yang kalah pada pemilihan presiden pertama tahun ini (lihat Tempo edisi 50, 15 Februari 2004).

Menanggapi laporan Duelfer itu, para penyelidik federal Amerika kini menginvestigasi kemungkinan korupsi yang dilakukan kepala program Minyak untuk Pangan, Sevan Benon. Sejumlah perusahaan minyak ternama Amerika seperti Exxon, Chevron, dan El Paso, yang disebut-sebut ikut menikmati perdagangan haram ala Saddam, harus menghadapi panggilan (subpoena) dari pihak penyidik.

Sejauh ini belum diketahui apakah raja-raja minyak Amerika itu akan terkena tuduhan pelanggaran hukum. "Semua pembelian yang dilakukan perusahaan kami sesuai dengan hukum yang berlaku," kata juru bicara Chevron, seperti dikutip Wall Street Journal. Perusahaan minyak raksasa di Amerika, terutama yang telah masuk bursa, terikat serangkaian aturan yang ketat, seperti larangan terlibat praktek suap atau melanggar sanksi internasional.

Namun, menipisnya pasokan minyak ke pasar dunia?isu ini yang dalam dua bulan terakhir mengangkat harga minyak hingga ke US$ 50 per barel?mau tak mau mendorong koboi-koboi minyak itu berpaling ke negara-negara tempat korupsi merupakan bagian dari ritual bisnis.

Tak seperti perusahaan-perusahaan minyak Amerika, PBB tak akan mudah lepas tangan atas merajalelanya bisnis Saddam. Manuver Saddam melakukan ekspor-impor ilegal dengan memanfaatkan skema Minyak untuk Pangan, yang didesain PBB, jelas menampar badan dunia itu.

Kritik pertama terhadap kebobrokan program kemanusiaan PBB itu datang dari Claude Hankes-Drielsma, warga negara Inggris yang menjadi konsultan sekaligus karib Ahmed Chalabi, anggota Dewan Pemerintahan Irak bentukan Amerika. Melalui surat yang dikirimkan akhir tahun lalu, Hankes-Drielsma mendesak Sekretaris Jenderal PBB membentuk tim independen untuk mengkaji dan menginvestigasi program Minyak untuk Pangan.

Surat bernada sama juga dikirim Hankes-Drielsma ke Hans Correl, pejabat bidang hukum PBB. Alih-alih mengikuti permintaan Hankes-Drielsma, Correl malah meminta Hankes-Drielsma menyediakan "bukti yang memadai".

Sikap PBB baru runtuh setelah sejumlah politisi Amerika dan Inggris mempersoalkan program kemanusiaan itu. Di Amerika, kecaman datang dari Henry Hyde, ketua Kongres yang membawahkan hubungan internasional. Di Inggris, desakan agar PBB menginvestigasi program kemanusiaan di Irak datang dari Perdana Menteri Tony Blair.

Para petinggi PBB akhirnya membentuk tim penyelidik program Minyak untuk Pangan. Paul Volcker, mantan Kepala Federal Reserves Amerika, ditunjuk sebagai pemimpin panel. Volcker dibantu Richard Goldstone, pensiunan jaksa di Afrika Selatan yang pernah menjadi jaksa penuntut PBB dalam kejahatan etnis di Yugoslavia dan Rwanda, serta Mark Pieth, kriminolog ahli jejak pencucian uang.

Sejauh ini, tim yang bekerja sejak lima bulan lalu itu belum berhasil menjaring bukti keras tentang keterlibatan para pejabat PBB. Minyak untuk Pangan merupakan program yang dirintis PBB pada 1995. Benih program ini adalah penderitaan rakyat Irak akibat sanksi ekonomi yang dijatuhkan PBB pada 1991, menyusul invasi Irak ke Kuwait. Dalam lima tahun pertama embargo, tak kurang dari 250 ribu anak-anak Irak tewas kelaparan.

Di bawah skema ini, pemerintahan Saddam diizinkan menjual minyak ke pembeli yang mereka tunjuk. Hasil penjualan kemudian ditransfer ke rekening di BNP Paribas dan Rabo Bank yang diawasi PBB. Uang itulah yang kemudian dipakai untuk membeli pangan, obat-obatan, dan aneka barang kebutuhan kemanusiaan.

Belakangan, skema itu hanya bagus di atas kertas. Celah yang digunakan Saddam adalah keleluasaannya menentukan kepada siapa ia menjual minyak. Dengan kebebasan itu, pemerintah Saddam melepas sebagian minyaknya dengan harga lebih murah dari harga pasar.

Hanya, mereka yang kebagian minyak bersubsidi ala Saddam itu harus menyetor "upeti" 10-15 persen. Uang kickback ini tentu langsung menyelonong ke kantong Saddam, dan luput dari mata para pengawas PBB. Saddam tak hanya bebas memilih eksportir minyaknya. Ia juga diperkenankan memilih pemasok.

Seperti dalam memilih pembeli minyaknya, Saddam menunjuk penjual barang berdasarkan besaran upeti. Belakangan, PBB mengakui ada sekitar US$ 31 miliar hasil penjualan minyak yang dibelanjakan rezim Saddam untuk barang-barang yang tak berhubungan dengan program kemanusiaan.

Setoran gelap para pembeli minyak dan pemasok barang itulah yang menjadi modal Saddam merancang apa yang kemudian disebut voucer minyak. Voucer ini bentuknya berupa kontrak penjualan minyak yang dapat diperdagangkan. Pihak Barat menuduh Saddam menggunakan voucer ini untuk "membeli" dukungan diplomatik dari para politisi dunia. Pasalnya, sebagian besar penerima voucer bukanlah pihak yang biasa berdagang minyak.

Voucer semacam inikah yang dikantongi oleh Megawati? "Saya tak pernah mendengar itu," kata Direktur Jenderal Kerja Sama Industri dan Perdagangan Internasional Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Pos Hutabarat. Seorang pensiunan pejabat Departemen Perindustrian mengingatkan, Indonesia pernah mengirim misi ke Irak untuk menyatakan niat membeli minyak. "Tapi itu tidak jalan, karena jenis minyak Irak tak cocok dengan kilang yang ada di sini," katanya.

Arifin Panigoro, tokoh PDI Perjuangan yang juga bos konglomerat minyak Medco, mengaku tak tahu-menahu tentang voucer minyak. Namun Arifin mengaku pernah mendapat tiga kali jatah pengangkutan minyak dari Irak. "Saya mengikuti proses yang diatur PBB. Mintanya dari pemerintah Irak," ujar Arifin.

Perdagangan pun dilakukan di bawah bendera Medco. Dari jual-beli minyak Irak sebanyak 6 juta barel, Arifin menyebut laba yang dikantonginya tak terlalu besar. "Sekitar 10 sen per barel. Itu angka yang biasa dalam perdagangan minyak," kata Arifin. Dalam hitungan Iraq Survey Group, pemegang voucer minyak sebesar 10 juta barel dapat menangguk laba US$ 1 juta hingga 3,5 juta.

Seorang sumber Tempo yang turut wara-wiri ke Irak menjelang akhir pemerintahan Saddam menduga voucer minyak yang dimaksud dalam laporan ISG sebagai bentuk lain penyelundupan. "Kalau menyelundup, saya tak yakin ada orang Indonesia. Itu sudah kelas atas," ujar Arifin seraya tertawa.

Thomas Hadiwinata, M. Syakur Usman, (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus