BANYAK meja karyawannya sudah kosong. Suasana kantor di PT
Siemens Indonesia di Jalan Kebon Sirih, Jakarta, menjadi sepi.
Tapi kenderaan yang diparkir di halaman gedungnya masih ramai
seperti biasa. Sebagian kenderaan itu adalah milik karyawan dan
direksi PT Dian-Graha Elektrika (DCE), yang mengoper bidang
perdagangan dari Siemens. Pengambil-alihan itu kelihatannya dan
terwujud minggu lalu, apalagi surat-menyurat termasuk penagihan
maupun penawaran jasa yang tadinya oleh Siemens, kini sudah
menonjolkan identitas PT DGE.
Cuma identitas saja berobah, sedang orangnya itu ke itu juga,
yang menimbulkan kesan bahwa Siemens telah membentuk suatu
"perusahaan boneka" karena dipaksa oleh keadaan. Praktek seperti
itu, mungkin dengan variasi sedikit berbeda, terjadi juga di
banyak perusahaan asing lainnya yang terkena Undang-Undang no.
6/1968. Ini mengingatkan orang kembali pada istilah "perusahaan
Ali-Baba" sesudah PP no. 10/1959 yang melarang usaha dagang
asing (kebanyakan Cina) di daerah pedesaan di luar ibukota
kabupaten. Ketika itu banyak pengoperan usaha dilakukan pada Ali
tapi Baba tetap hadir di belakang.
Boneka atau tidak, bukanlah soal penting sekarang ini tampaknya
bagi pemerintah, asalkan tidak terjadi kegoncangan. Tujuan
pokok, menurut Menteri Perdagangan Radius Prawiro, ialah
"Indonesianisasi" di bidang perdagangan bisa tercapai.
Ada bersisa 19 perusahaan asing dan 14.028 perusahaan
domestik-asing yang dicatat pemerintah harus mengakhiri kegiatan
dagangnya pada 31 Desember 1977. Di antara mereka, walaupun
belum secara resmi mengakhiri, sudah jauh hari sebelumnya
menyalurkan produksi masing-masing via agen dan distributor
nasional. Ini umpamanya kelihatan pada PT Unilever Indonesia, PI
British American Tobacco (BAT) dan perusahaan farmasi Hoechst,
yang tentu tenang-tenang saja menghadapi bata-waktu itu.
Bagi perusahaan seperti PT Singer Indonesia, pengalihan itu
dilakukannya pada sekitar 20 agennya sendiri. Kesemua agennya
jika tadinya menjadi karyawan Singer, kini dijelmakan menjadi
perusahaan nasional yang terpisah untuk tetap menjual mesinjahit
Singer.
Kabar Jelek
Agak mirip dengan praktek Siemens ialah di PT Dunlop Indonesia
yang memindahkan beberapa karyawannya ke perusahaan baru -- PT
Bonauli Utama. Bedanya, pemindahan karyawan berikut manajer dan
direktur dari Siemens ke PT DGE berlangsung dalam jumlah besar
-- 97 orang. Bahkan Dir-Ut PT DGE Subingar, adalah bekas
direktur personalia Siemens.
Ternyata banyak kabar jelek datang dari Siemens. Dari sejumlah
276 karyawan Indonesianya, 205 dikenakan PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja). Cuma 97 yang bisa ditampung di PT DGE dari akibat PFIK
Siemens itu, hingga 108 orang menjadi penganggur. Di antara
mereka yang ditampung di PT DGE cuma mengomel antara lain
tentang uang makan-siang dan pengobatan,karena perusahaan baru
itu belum mau memberikan fasilitas penuh seperti di Siemens.
Juga dengan mengikuti PT DGE itu, mereka mulai lagi sebagai
karyawan baru, tapi masih lumayan dibanding jadi penganggur.
Namun umumnya karyawan eks Siemens itu masih tidak puas dengan
jumlah pesangon dan uang ganti rugi pensiun. Sebaliknya Siemens
sudah tidak melanggar peraturan perburuhan, menurut keputusan P4
(panitia arbitrase) Pusat, berdasar PMP no. 9/1964.
Ketua Umum Federasi Buruh Se-Indonesia (FBSI), Agus Sudono,
menaksir lebih kurang 30.000 orang akan kehilangan pekerjaan
sebagai akibat pengakhiran dagang asing itu. Rata-rata dua
penganggur dari tiap perusahaan asing maupun domestik asing,
menurut taksiran Sudono. Angka sebesar itu rupanya tak pernah
terbayang jauh hari sebelumnya. Karena kaget belakangan ini
Menteri Nakertranskop, Subroto, meminta laporan FBSI secepatnya.
Dan Menteri Perdagangan Radius, sesudah dikecam FBSI, pun
berkata: "Saya juga gembira bila bisa mendapatkan salinan
laporan itu."
Alpa
Bagi banyak majikan asing, penyelesaian PHK dengan peraturan
1964 saja akan gampang. Tapi dengan perkembangan perjanjian
kerja tahun 1970-an ini, pihak karyawan merasa dirugikan. Maka
kini mendadak muncul suara yang menyesalkan pemerintah karena
tidak menyiapkan peraturan terbaru dan tersendirt untuk
menampung kasus PHK dari pengakhiran dagang asing ini. Bahkan
FBSI sendiri rupanya alpa mengingatkan supaya minimal ada Surat
Keputusan Bersama Menteri Nakertranskop dan Menteri Perdagangan
jauh hari sebelumnya.
Banyak lagi kealpaan lain, tapi telah diperbaiki pemerintan
ketika batas-waktu hampir tiba, guna melaksanakan UU no. 6/1968
itu. Ini terbukti, sesudah lama ditunggu-tunggu, akhirnya keluar
PP no. 36 tanggal 29 Desember 1977 dan keputusan Menteri
Perdagangan no. 382 tanggal 30 Desember 1977. Keduanya itu
mengatur masa peralihan bagi pengalihan dagang asing.
Kini menjadi tegas bahwa masa peralinan itu tidak boleh
berlarut-larut. Selambatnya 30 hari (berarti akhir Januari ini)
sesudah batas-waktu, semua perusahaan asing bersangkutan wajib
melaporkan kepada Departemen Perdagangan bahwa kegiatan
dagangnya sudah diakhiri dan sudah dialihkan resmi kepada siapa.
Perusanaan nasional yang mengoper kegiatan dagang aSing itu
ditegaskan pula supaya sudah memiliki SUP (surat izin usaha
perdagangan).
Khusus terhadap 14.02 perusahaan dagang domestik asing
(kebanyakan Cina) juga diwajibkan melaporkan diri itu tapi masih
diberi kelonggaran menunda peralihan tiga bulan. Terutama
kelonggaran ini diberikan pada mereka yang sedang mengurus-surat
kewarganegaraan. Perpanjangan tiga bulan itu masih akan terus
diberikan sampai ada ketentuan ia diterima atau tidak menjadi
WNI.
Bahwa akhirnya sebagian besar pengalihan itu jatuh ke tangan
non-pribumi, itu sudah kelihatan. Pokoknya, Indonesianisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini