Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA gelagat badai Covid-19 mulai mereda. Secara global, grafik jumlah penularan baru setiap hari makin landai. Di Amerika Serikat, negara dengan jumlah penderita Covid-19 terbesar, perdebatan bahkan sudah mengancik pada kapan saatnya membuka kembali ekonomi agar situasi segera normal lagi.
Beban ekonomi pada banyak orang sudah tak tertahankan. Terhentinya aktivitas ekonomi karena Covid-19 memang berdampak luar biasa. Di Amerika, dalam lima pekan terakhir, total ada tambahan 26 juta penganggur baru. Tak aneh jika muncul desakan sangat keras agar pemerintah segera memulihkan aktivitas ekonomi. Kekhawatiran akan hancurnya ekonomi mengalahkan rasa takut masyarakat terhadap virus SARS-CoV-2 yang memicu pandemi.
Dalam perdebatan ini, umumnya para ekonom berpandangan sebaliknya: pembukaan kembali aktivitas ekonomi yang terlalu cepat berisiko besar. Argumentasinya, jika pemerintah terlalu cepat memulihkan kegiatan ekonomi, wabah gelombang kedua sangat mungkin meledak. Ekonomi yang dua kali terpukul wabah jauh lebih sulit bangkit normal kembali.
Perdebatan itu membuat pasar finansial terombang-ambing di antara sentimen positif dan negatif. Namun, setidaknya, pasar lebih tenang dan rasional sekarang. Sudah tidak ada lagi kepanikan memindahkan dana investasi dari negara-negara berkembang ke pasar negara mapan yang dianggap aman.
Di Indonesia, perdarahan devisa akibat keluarnya dana investasi portofolio tak lagi sederas pekan-pekan silam. Dana investor asing yang parkir di obligasi terbitan pemerintah bahkan mulai bertambah. Per 23 April, dana milik asing di Surat Berharga Negara tercatat Rp 922,14 triliun, naik Rp 3,82 triliun dibandingkan dengan posisi terendahnya tahun ini, 13 April lalu. Meredanya aliran keluar dana portofolio asing tecermin pula pada kurs rupiah yang relatif stabil sekitar 15.400 per dolar Amerika Serikat pekan lalu.
Cuma pasar saham yang belum tenang. Dana investasi asing masih keluar cukup deras. Dalam sepekan terakhir, hingga Jumat siang, 24 April lalu, dana asing senilai Rp 2,7 triliun hengkang dari bursa saham. Wajar jika di saat-saat seperti ini investor memilih masuk ke obligasi pemerintah ketimbang ke saham, yang berisiko lebih besar.
Merosotnya ekonomi karena Covid-19 sudah tentu akan berdampak besar pada banyak korporasi yang sahamnya tercatat di bursa. Potensi keuntungannya merosot, prospeknya pun bakal muram setidaknya satu-dua tahun ke depan.
Persoalannya, kondisi keuangan pemerintah juga belum sepenuhnya aman. Ada ancaman lain yang dapat memperbesar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara: harga minyak bumi yang merosot berkepanjangan. Ekonomi global yang praktis terhenti membuat permintaan minyak anjlok. Persaingan antarnegara produsen minyak yang sama-sama tak mau mengalah memotong produksi kian memperparah keadaan. Praktis kini dunia tenggelam dalam minyak.
Harga minyak yang murah memang baik untuk neraca pembayaran kita. Devisa yang keluar untuk membayar impor minyak berkurang. Tapi, di sisi lain, penerimaan negara dari minyak bumi bisa turun tajam. Jangan lupa, pemerintah masih mendapat jatah bagi hasil dari setiap barel minyak yang disedot dari bumi Indonesia. Jatah ini masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang perubahan anggaran, pemerintah memakai acuan harga US$ 38 per barel. Jika melihat murahnya minyak sekarang ini, ada kemungkinan realisasi harga minyak Indonesia di bawah patokan itu. Harga minyak patokan pasar, Brent, misalnya, hanya US$ 22 per barel pada 24 April lalu. Jika harga minyak Indonesia mencapai rata-rata US$ 30,9 saja, menurut hitungan Kementerian Keuangan, akan ada tambahan defisit Rp 12,2 triliun lagi.
Kemungkinan melebarnya defisit membuat pemerintah harus makin berhati-hati mengeluarkan berbagai stimulus ataupun belanja ekstra untuk penanganan Covid-19. Defisit anggaran yang meledak jauh di atas rencana dapat membahayakan kredibilitas anggaran yang tahun ini sudah amat banyak bergantung pada utang dari pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo