Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Aroma Tak Sedap Impor Sampah

Investigasi ini terselenggara atas kerja sama antara majalah Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dalam program Investigasi Bersama Tempo.

 

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membongkar skandal impor sampah plastik yang mengandung limbah berbahaya dan beracun melebihi ketentuan. Dari belasan importir pemilik kontainer, baru satu yang diseret ke jalur hukum. Diduga ada upaya lobi ke sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Liputan ini terselenggara atas kerja sama majalah Tempo dan Free Press Unlimited dalam program Investigasi Bersama Tempo.

25 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kontainer berisi limbah impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, September 2019.Kkontainer berisi limbah impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, September 2019./ANTARA/Didik Suhartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penyelesaian kasus impor limbah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mandek hampir setahun.

  • Seribuan kontainer limbah ilegal dari berbagai negara maju menggunung di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.

  • Ada usaha penyuapan pejabat.

BERSAMA tiga belas anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat, Dedi Mulyadi bertandang ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada akhir Januari lalu. Wakil ketua komisi yang salah satunya membidangi lingkungan hidup dan kehutanan itu memimpin rombongan meninjau kontainer-kontainer sampah plastik yang sudah beberapa bulan teronggok di pelabuhan. Tak lama setelah tiba di sana, para anggota Dewan menyaksikan dua kontainer dibuka petugas Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. “Ternyata itu sampah dari tempat pembuangan akhir dari luar negeri,” kata Dedi saat ditemui awal Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain anggota Dewan, turut dalam rombongan tersebut sejumlah pejabat kementerian terkait. Mereka di antaranya Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati; Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup Rasio Ridho Sani; Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardana; serta otoritas pelabuhan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ada juga tim PT Sucofindo (Persero) selaku surveyor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada rombongan, Sucofindo mengklaim impor sampah dari luar negeri itu untuk didaur ulang menjadi bahan baku. Mereka menyatakan scrap plastik bekas yang didatangkan dari Amerika Serikat, Inggris Raya, Australia, dan beberapa negara lain itu dalam kondisi bersih sehingga sudah sesuai dengan aturan impor bahan baku. Namun dua kontainer yang dibuka sebagai sampel itu menunjukkan sampah plastik tampak sangat kotor dan tercampur bahan berbahaya. Menurut Dedi, seharusnya perusahaan pelat merah mitra Kementerian Perdagangan ini menjadi penyaring barang impor, tapi malah lalai membiarkan sampah masuk ke Tanah Air. “Kalau untuk industri seharusnya bahan baku bersih,” ujarnya.

Seribuan kontainer itu teronggok di pelabuhan sejak Mei tahun lalu. Sebagian besar kontainer itu milik PT New Harvestindo International, yang beralamat di Tangerang, Banten. Pada Mei-Agustus 2019, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menahan 2.041 kontainer, termasuk milik dua perusahaan di Tangerang itu, karena bercampur limbah berbahaya dan beracun yang melebihi ketentuan pemerintah. Kontainer scrap plastik yang ditahan tersebar di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya; Batam; Pelabuhan Tanjung Priok; dan Tangerang. “Beberapa sudah kami kembalikan ke negara asal,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi saat rilis pada September 2019.

Ketentuan mengenai impor scrap plastik tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 92 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri. “Dalam peraturan itu sudah jelas bahwa bahan baku tidak boleh bercampur dengan sampah, tidak berasal dari tempat pembuangan akhir, ataupun bercampur dengan limbah B3,” ucap Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun Kementerian Lingkungan Hidup Rosa Vivien Ratnawati. Kandungan kontaminasi dari scrap plastik impor itu seharusnya tak melebihi 2 persen.

Pabrik PT. New Harvestindo International di Kawasan Tangerang, Banten, 21 April 2020./TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Seusai kunjungan ke pelabuhan itu, menurut seorang anggota Dewan yang ikut rombongan, ada utusan Sucofindo menemui dia dan beberapa koleganya di Komisi IV. Sang utusan meminta mereka membantu membebaskan kontainer yang ditahan Bea dan Cukai. Utusan perusahaan tersebut, kata sumber ini, mengeluhkan beban tagihan penumpukan dan biaya kelebihan waktu berlabuh (demurrage) kontainer yang harus ditanggung importir yang nilainya mencapai hampir Rp 200 miliar. “Permintaannya agar kontainer dilepas,” ujar politikus yang sudah beberapa kali duduk di parlemen ini.

Tak lama setelah itu, menurut sumber yang sama, datang seorang utusan yang mengaku sebagai orang dekat petinggi partai politik menemui sejumlah anggota Komisi IV. Dia juga meminta Komisi IV membantu mengeluarkan kontainer-kontainer tersebut di pelabuhan. Dedi Mulyadi tidak membantah dan membenarkan adanya lobi-lobi membebaskan kontainer tersebut. Ia meminta agar masalah ini dikaitkan dengan urusan seperti itu. Dedi berjanji terus mengusut permasalahan ini. “Kami akan tetap memanggil pengusaha dan surveyor. Saat ini jeda karena masih dalam suasana pandemi,” ucap politikus Partai Golkar ini.

Manajemen Sucofindo tak mau menanggapi tudingan adanya upaya lobi ke sejumlah anggota Dewan agar membantu membebaskan kontainer yang tertahan di pelabuhan. “Permasalahan ini sudah dalam penanganan kementerian terkait. Demikian yang dapat kami sampaikan,” kata Kepala Divisi Sekretariat Perusahaan PT Sucofindo (Persero) Iwan Eddy Himawanto.

• • •


DERETAN kontainer dengan pintu belakang berstiker Bea dan Cukai terparkir mengular di Jalan Kampung Picung, Pasar Kemis, Tangerang, Banten, pada Rabu sore, 15 April lalu. Salah satu kontainer bernomor SKHU892041 berasal dari Tsuruga, Jepang, mendapat giliran masuk ke pabrik PT New Harvestindo International. Sisanya, 13 kontainer dari luar negeri, antre bersama beberapa truk lokal untuk bongkar muatan di kawasan berikat perusahaan pengimpor scrap plastik tersebut.

Meski barang terus berdatangan, General Manager PT New Harvestindo International Agung Priadi mengatakan perusahaannya tidak mendatangkan bahan baku dari luar negeri semenjak 1.015 kontainernya tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Banten pada pertengahan 2019. “Enggak ada impor lagi,” ujar Agung, Rabu, 22 April lalu.

New Harvestindo merupakan satu dari 14 perusahaan pengolah plastik ataupun kertas daur ulang yang ditindak Bea dan Cukai karena mengimpor sampah bercampur limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Sejak Mei hingga akhir 2019, Bea dan Cukai total menahan 2.041 kontainer sampah, yakni 1.024 kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok; 257 kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak; 467 kontainer di Pelabuhan Batu Ampar, Kepulauan Riau; dan sisanya di Pelabuhan Merak, Banten. Separuh dari kontainer yang ditindak itu milik Harvestindo.

Penerbitan nota hasil intelijen ini bermula dari penemuan sampah di peti kemas berisi kertas bekas di Surabaya milik PT AS serta milik PT PD di Karawang dan milik PT FSW di Bekasi, Jawa Barat, pada medio 2019. Sampah-sampah ini diperjualbelikan kepada warga sehingga tercecer di perkampungan, bahkan ada yang dibuang ke sungai. Pemeriksaan acak ini juga setelah Filipina dan Malaysia menolak kiriman sampah dari Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Inggris Raya.

Negara-negara maju itu mulai gencar mengirim sampah ke Asia Tenggara melalui Hong Kong tatkala Cina berhenti menerima limbah plastik dan daur ulang dari seluruh dunia karena masalah lingkungan dengan kebijakan National Sword mulai 2018. Pada 2016, Cina memproses 45,1 persen dari ekspor plastik, kertas, dan logam dunia, termasuk sampah dari Inggris, yang cukup untuk mengisi 10 ribu kolam renang Olimpiade.

Seiring dengan kebijakan Cina itu, volume impor sampah Indonesia makin menggunung. Berdasarkan penelusuran Tempo, pada 2015-2017, impor sampah Indonesia fluktuatif dari 200 sampai 2.000 kontainer per bulan. Namun, mulai 2018 hingga April 2020, volume impor sampah masif menjadi 2.000-6.000 kontainer per bulan. Total bea masuk yang harus dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan ini pada 2015-April 2020 seharusnya sekitar Rp 37 miliar. Namun, lantaran perusahaan tersebut kebanyakan berada di kawasan berikat, negara memfasilitasi penangguhan bea masuk dan kelonggaran pajak lain.

Sampah-sampah yang dikirim ke Indonesia itu juga berasal dari Amerika Serikat, Inggris, Kepulauan Marshall, Australia, Selandia Baru, Cina, Spanyol, Hong Kong, dan negara lain. Bea dan Cukai menggandeng Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengetes kandungan sampah itu, termasuk milik perusahaan yang mendapat fasilitas jalur hijau dan kawasan berikat. “Kami membantu mengecek jika ada permintaan dari Bea dan Cukai,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Rosa Vivien Ratnawati.

Dari 800-an kontainer yang diperiksa, tim Kementerian Lingkungan Hidup menemukan isi peti kemas itu bercampur limbah medis. “Yang paling ekstrem kami temui ada yang kontaminasinya lebih dari 50 persen. Banyak botol obat yang pecah-pecah, bekas perban, dan slang infus,” ujar salah seorang anggota tim pemeriksa. Limbah terparah itu ditemukan di peti kemas asal Australia yang disita di Banten.

Saat Tempo menelusuri lahan-lahan warga pembeli sampah Harvestindo di Kecamatan Sindang Jaya, Tangerang, banyak berserakan pecahan botol kaca. Warga Sindang Jaya, Maman, mengakui lahan yang banyak tersisa pecahan kaca itu merupakan bekas lapaknya memilah sampah yang ia beli dari perusahaan milik warga negara Cina. “Tapi sudah enam bulan terakhir ini kami tidak mendapat kiriman,” kata pria 60 tahun tersebut.

Bukan cuma beling, di lahan itu juga berceceran bungkus makanan produksi Inggris. Senior Advisor Nexus3 Yuyus Ismawati, lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada isu lingkungan, menemukan New Harvestindo mendapat pasokan sampah plastik dan kertas dari Wales, Inggris Raya. Sampah yang dipasok My Recycling Wales itu berupa bungkus detergen, daging, dan lainnya. Pada 2018, tercatat 1.539 ton sampah plastik dan 1.039 ton kertas yang dikirim ke Harvestindo. “Ada juga perusahaan lain. Sekitar 36,9 persen sampah daur ulang Wales dikirim ke Indonesia,” ujar perempuan yang berdomisili di Inggris ini.

Mengacu pada Peraturan Kementerian Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun, kontaminasi sampah diperbolehkan maksimal 2 persen. Residu kontaminasi 2 persen itu diwajibkan untuk dimusnahkan menggunakan insinerator dengan diawasi Komite Peduli Lingkungan Hidup Indonesia. “Negara-negara tadi ketika buang sampah tentu bayar,” kata Yuyun.

Seorang Importir bercerita mengenai proses pembelian sampah-sampah dari luar negeri itu. Dia bersama pengusaha lain memang mempunyai pabrik pengolahan plastik daur ulang untuk bahan baku tekstil, kursi, dan lainnya. Ia tak menargetkan negara-negara tertentu untuk mendatangkan pasokan bahan baku itu. Harga sampah pun bervariasi, dari US$ 200 hingga US$ 800 per kontainer. “Sampah kami diperiksa surveyor. Ada tarif resmi untuk pemeriksaan surveyor. Kalau sampahnya lantas dianggap kotor di sini, itu sudah lolos oleh surveyor,” ujar pengusaha ini. Biasanya pembelian sampah secara borongan, misalnya 400 kontainer sekaligus. Nah, dalam kondisi inilah terkadang negara asal memberi bonus puluhan kontainer limbah plastik yang tercampur berbagai macam sampah kotor.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan, dari harga pembelian itu, pengusaha terlihat sengaja memasukkan sampah, bukan bahan baku. “Ini menarik buat kami, mereka ada niat jahat,” kata pria yang biasa disapa Roy ini.

Sejauh ini, tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru menjerat pidana satu perusahaan. Perusahaan yang baru berdiri pada 2019 milik pengusaha Singapura ini memasukkan 63 kontainer sampah bercampur limbah tanpa mengantongi izin. Bahkan 24 kontainer di antaranya sudah masuk ke kawasan berikat mereka di Cikupa, Tangerang. “Komisaris dan korporasinya kami jerat sebagai tersangka,” ujarnya.

Tumpukan sampah asal luar negeri di Kawasan Tangerang, Banten, 21 April 2020./TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Roy mengultimatum belasan perusahaan lain agar mereekspor atau mengembalikan sampah-sampah itu ke negara asalnya. “Seandainya reekspor tidak berjalan, kami akan masuk melalui proses hukum pidana,” katanya. Ia akan berkoordinasi dengan Bea dan Cukai serta Kementerian Perdagangan ihwal progres upaya reekspor ini.

Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai Banten Aflah Farobi mengatakan cukup sering kementerian terkait menggelar rapat ihwal reekspor. Hingga pandemi Covid-19 ini, mereka belum ada keputusan. “Penanganannya dipegang KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” ujar Aflah. Kepala Bidang Lalu Lintas Angkutan Laut Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Dedi Hermanto juga menyatakan Kementerian Lingkungan Hidup yang bisa menentukan kepastian reekspor ini.

Ketua Asosiasi Ekspor Impor Plastik Industri Indonesia Akhmad Ma’ruf Maulana mengatakan penahanan kontainer yang berlarut-larut ini merugikan anggotanya. Menurut dia, persoalan ini akibat dari perbedaan pandangan dari kementerian terkait mengenai kadar pengotor, yakni 2 persen, atau tanpa ditoleransi sebagaimana keinginan Kementerian Lingkungan Hidup. “Tertahannya bahan baku ini membuat kami rugi besar,” kata Ma’ruf.

LINDA TRIANITA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus