Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Silang-Sengkarut Data Corona

Transparansi data pemerintah Cina soal jumlah korban dan cara menanganinya dipertanyakan. Fokus dunia kini pada mengatasi wabah.

25 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas medis, membawa pasien positif Covid-19, di Massachusetts, Amerika Serikat, 21 April 2020./REUTERS/Bryan Snyder

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Australia dan Amerika Serikat mencari dukungan menyelidiki asal-usul pandemi corona.

  • Akurasi data Cina soal infeksi corona dipertanyakan.

  • Cara negara merespons pandemi dibentuk oleh faktor budaya, bentuk pemerintahan, dan pengalamannya.

AUSTRALIA bersama Amerika Serikat mencari dukungan untuk diadakannya penyelidikan internasional tentang asal-usul pandemi corona, termasuk respons dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) atas wabah ini. Perdana Menteri Australia Scott Morrison, seperti dilansir Reuters pada Kamis, 23 April lalu, mengharapkan dukungan dari negara anggota WHO.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juru bicara Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan akan ada waktu ketika Inggris harus melihat pelajaran yang bisa dipetik dari krisis. Tapi untuk saat ini, kata dia, para menteri berfokus pada memerangi pandemi. Pejabat Prancis punya pandangan yang sama: urgensi saat ini adalah mengatasi virus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Transparansi pemerintah Cina soal jumlah korban dan cara menanganinya memang menjadi perdebatan. Data terbaru menyatakan lebih dari 232 ribu orang mungkin telah terinfeksi pada gelombang pertama wabah Covid-19 di Cina daratan. Ini empat kali lipat dari angka resmi, menurut sebuah penelitian di Hong Kong.

Cina melaporkan lebih dari 55 ribu kasus per 20 Februari lalu. Hasil penelitian Hong Kong University yang diterbitkan di Lancet menunjukkan jumlah sebenarnya akan jauh lebih besar jika definisi kasus Covid-19 digunakan sejak awal. Cina kini telah melaporkan lebih dari 83 ribu kasus dengan kematian sekitar 4.600.

Ada banyak kontroversi di beberapa negara soal data kematian dan infeksi. Di Inggris, ada perbedaan antara angka harian pemerintah, yang hanya menghitung kematian di rumah sakit, dan angka-angka yang diterbitkan setiap minggu oleh Kantor Statistik Nasional, yang mencakup kematian di masyarakat. Analisis Financial Times pada pekan ini menunjukkan angka kematian sebenarnya di Inggris bisa mencapai 41 ribu, dua kali lipat dari yang tercatat. Adapun angka resmi untuk infeksi di Inggris jauh lebih tinggi daripada angka sebenarnya karena kurangnya pengujian massal.

Informasi yang akurat adalah penting. Menurut CNN, untuk mengalahkan virus, orang harus diyakinkan mau mematuhi pembatasan ketat. Para ilmuwan mengatakan satu-satunya cara mengalahkan virus adalah melalui jarak sosial, yang mengharuskan warga untuk secara drastis mengubah cara hidup mereka.

Media Australia, ABC, Jumat, 24 April lalu, mengulas sejumlah faktor yang menjadi penyebab tinggi-rendahnya kasus infeksi. Amerika Serikat, Italia, Spanyol, Prancis, dan Inggris kini telah melampaui Cina. Menurut data Johns Hopkins University, selain Cina, tidak ada negara Asia lain yang masuk daftar 15 negara teratas.

Pakar kesehatan mengatakan cara suatu negara dan populasinya merespons pandemi dibentuk oleh faktor budaya, bentuk pemerintahan, dan pengalamannya baru-baru ini. Cina, Taiwan, dan Singapura mengalami wabah sindrom saluran pernapasan akut (SARS) pada 2003, sementara Korea Selatan mendapat pelajaran dari wabah saluran pernapasan Timur Tengah (MERS) pada 2015.

Gary Slutkin, ahli epidemiologi Amerika dan mantan pejabat WHO, mengatakan pengalaman itu “sangat instruktif” bagi negara-negara Asia dan berarti mereka siap menanggapi patogen pernapasan yang serius. Sebagai perbandingan, dia mengatakan, meskipun Amerika juga memiliki kasus ebola dan SARS, negara itu tidak mengalami epidemi serius dalam sejarahnya baru-baru ini. “Amerika terbiasa melihat hal-hal mengerikan terjadi di tempat lain yang tidak mempengaruhinya, apakah itu perang atau wabah,” kata Slutkin.

Korea Selatan, Singapura, dan Hong Kong—yang semuanya memiliki beberapa keberhasilan dalam memerangi penyebaran Covid-19—mempunyai satu kesamaan: pengujian yang ketat dan penelusuran kontak yang efektif. Demikian pula strategi Singapura melibatkan pengujian kontak orang yang terinfeksi, yang memungkinkan negara pulau itu mengidentifikasi banyak kasus tanpa gejala.

Namun Slutkin mengakui bahwa Singapura tidak melakukan segalanya dengan benar karena kasus di negara itu baru-baru ini meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi sekitar 11.200. Banyak dari mereka yang baru terinfeksi adalah pekerja migran yang tinggal di asrama yang ketat.

Ada juga faktor yang kurang nyata mengapa banyak negara Asia menangani pandemi lebih efektif, yaitu budaya dan politik. Lee Sung-yoon, profesor hubungan internasional di Tufts University, mengatakan tradisi Konfusianisme di negara seperti Cina, Korea Selatan, dan Singapura memberi negara paternalistik: "tangan yang lebih bebas dalam menjalankan otoritas” selama keadaan darurat.

Namun, Sung-yoon menambahkan, ia percaya keberhasilan penahanan penyakit menular tidak banyak bergantung pada bentuk pemerintahan (demokrasi versus otoriter) atau budaya (Protestan versus Konfusianisme), tapi lebih pada memori institusional, seperti pengalaman Cina dengan SARS. Di masa depan, kata dia, Amerika dan Eropa akan banyak belajar dari wabah ini.

ABDUL MANAN (REUTERS, ABC, GUARDIAN, CNN)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus