Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Lembaga publik di bidang lingkungan menengarai pembentukan Bank Tanah hanya sebagai pemancing investor.
Pembentukan Bank Tanah akan memperburuk konflik agraria.
Ekonom optimistis Bank Tanah bisa merapikan tata kelola lahan.
JAKARTA – Sejumlah lembaga publik di bidang lingkungan menengarai pembentukan Bank Tanah hanya sebagai pemancing investor. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menilai lembaga yang anggota pelaksananya baru dikukuhkan lewat Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 itu akan memperparah konflik agraria.
“Hanya gula pemanis, padahal berpotensi menjadi perampasan tanah atas nama kepentingan umum,” ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Menurut Dewi, lahan masyarakat yang kepemilikannya sulit dibuktikan akan rentan diambil pemerintah melalui skema hak pengelolaan. Bank Tanah dirancang untuk mengambil alih berbagai jenis lahan yang statusnya tidak jelas, termasuk lahan telantar tanpa penguasaan. Wewenang itu dianggap mengancam kawasan yang minim edukasi pengelolaan tanah. “Posisi warga miskin, petani, atau masyarakat adat akan rentan jika pendekatan Bank Tanah sebatas legal formal.”
Saat meluncurkan Catatan Akhir 2021, tim KPA menyatakan bahwa peruntukan Bank Tanah belum dijelaskan secara spesifik oleh pemerintah. Tujuan pengumpulan tanah yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 pun dinilai masih abu-abu. Aturan yang diterbitkan pada 29 April 2021 tersebut mendasari pembentukan Bank Tanah.
“Melayani kepentingan pengusaha dan investor agar cepat mendapatkan tanah,” begitu bunyi catatan KPA. Begitu pula Pasal 26 PP Nomor 64 Tahun 2021 disebutkan terlalu mengedepankan logika pasar, yang tampak dari pemberian wewenang kepada Bank Tanah untuk menentukan tarif pemanfaatan tanah, “Jadi seperti barang komoditas,” kata Dewi.
Polisi mengawasi proses pengosongan paksa lahan dan permukiman warga yang tetap bertahan di tengah proyek Bandara Kulon Progo, Yogyakarta, 4 Desember 2017. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari catatan KPA, konflik agraria masih terjadi di lebih dari 500 desa yang tersebar di 98 kabupaten dan 20 provinsi. Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, contohnya, masih ada perdebatan perihal kepemilikan lahan antara puluhan rumah tangga petani dan Perhutani. Ada pula tanah milik bekas pengungsi Timor Timur di Buleleng, Bali, yang belum juga dilegalkan oleh pemerintah daerah.
Menurut KPA, pemerintah seharusnya lebih mengutamakan penyelesaian konflik di seluruh lahan yang luas totalnya menembus 670 ribu hektare tersebut. “Masih banyak klaim tumpang-tindih, ini malah akan jadi obyek Bank Tanah.”
Direktur Eksekutif Trend Asia, Yuyun Indradi, pun mempertanyakan nihilnya rencana rehabilitasi lahan bekas tambang dalam skema kerja Bank Tanah. Jenis lahan tersebut masuk dalam daftar aset yang bisa dikelola oleh lembaga tersebut. “Artinya, memang tidak ada fungsi perlindungan lingkungan,” katanya, kemarin.
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komaruddin, pun khawatir akan nada promosi investasi dalam publikasi Bank Tanah. “Yang disuarakan pemerintah lebih banyak soal ketersediaan lahan untuk investasi.”
Untuk kemudahan investasi, pemerintah memang berencana memperpanjang durasi hak guna bangunan (HGB) dari 30 tahun menjadi 50 tahun, bahkan maksimal 80 tahun. Tenor HGB yang pendek dianggap sebagai pengganjal masuknya modal asing ke Indonesia. Kementerian Agraria dan Tata Ruang pernah menyatakan perpanjangan HGB menjadi 80 tahun bisa direalisasi pada lahan Bank Tanah.
Adapun ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance, Didik Junaidi Rachbini, optimistis Bank Tanah bisa merapikan tata kelola lahan. Menurut dia, pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia tak diimbangi dengan stok lahan yang cukup. Hasilnya adalah permainan harga oleh para pemborong konsesi.
“Coba dicek lagi seberapa produktif ratusan ribu hektare tanah yang disimpan para konglomerat,” ucap dia. “Para spekulan ini yang seharusnya menjadi sasaran Bank Tanah.”
YOHANES PASKALIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo