Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Pro dan Kontra Tapera, dari Moeldoko hingga Mahfud Md

Keputusan Presiden Jokowi untuk memasukkan seluruh pegawai baik PNS atau swasta mengikuti program atau Tapera menuai pro dan kontra.

3 Juni 2024 | 13.04 WIB

Pekerja tengah menyelesaikan proyek pembangunan rumah subsidi di kawasan Sukawangi, Bekasi, Jawa Barat, Senin, 6 Februari 2023. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. targetkan 182.250 unit KPR FLPP dan Tapera, seiring dengan rasio jumlah kebutuhan rumah (backlog) masih tinggi mencapai 12,75 unit. Tempo/Tony Hartawan
Perbesar
Pekerja tengah menyelesaikan proyek pembangunan rumah subsidi di kawasan Sukawangi, Bekasi, Jawa Barat, Senin, 6 Februari 2023. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. targetkan 182.250 unit KPR FLPP dan Tapera, seiring dengan rasio jumlah kebutuhan rumah (backlog) masih tinggi mencapai 12,75 unit. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Presiden Jokowi untuk memasukkan seluruh pegawai baik PNS atau swasta mengikuti program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera menuai pro dan kontra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Iuran peserta pekerja ditanggung bersama antara perusahaan dengan karyawan masing-masing sebesar 0,5 persen dan 2,5 persen dari penghasilan, sedangkan peserta pekerja mandiri menanggung simpanan secara keseluruhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peserta yang yang termasuk dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat memperoleh manfaat berupa kredit pemilikan rumah (KPR), kredit bangun rumah (KBR), dan kredit renovasi rumah (KRR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.

Sedangkan peseta di luar MBR, harus menunggu sampai usia 58 tahun untuk menikmati tabungannya. Dana yang dihimpun dari peserta akan dikelola oleh Badan Pengelola Tapera sebagai simpanan yang akan dikembalikan kepada peserta.

Kelompok pendukung menilai kebijakan tersebut akan membantu pekerja, terutama yang berpenghasilan rendah. Namun sejumlah pihak lain menilai keputusan tersebut semakin menambah beban, baik dari sisi pemberi kerja maupun pekerja karena perusahaan menanggung setengah persen dari upah sebagai dasar potongan.

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Ari Tri Priyono meminta sosialisasi tabungan perumahan ditingkatkan untuk menghindari polemik di masyarakat.

"Regulasinya sebenarnya sudah lama. Sebaiknya pemerintah dan Badan Pengelola (BP Tapera) segera menyosialisasikan kebijakan ini ke berbagai pihak," kata Ari di Jakarta, Minggu, 2 Juni 2024.

Menurut Ari, regulasi terkait tabungan perumahan sudah digulirkan sejak lima tahun lalu, hanya saja belum bisa langsung diterapkan.

Sebaiknya disampaikan saja bahwa pekerja justru diuntungkan karena gajinya tetap ada dalam bentuk tabungan serta bisa diambil jika tidak dimanfaatkan, katanya.

"Jelaskan juga kapan tabungan itu bisa cair dan bagaimana prosedurnya," kata Ari setelah mengukuhkan kepengurusan DPP Himperra periode 2023-2027 di Gedung MPR/ DPR RI.

Menurut Ari, banyak pihak yang salah menangkap informasi terkait iuran tabungan perumahan. Padahal iuran yang dimaksud merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi kesenjangan angka kebutuhan rumah.

“Menurut saya pekerja justru diuntungkan. Karena 0,5 persen yang asalnya dari pemberi kerja itu masuk sebagai pendapatan dan disimpan ke tabungan perumahan untuk pekerja," katanya.

Sedangkan 2,5 persen yang asalnya dari pekerja itu sendiri uangnya juga tidak hilang. Bisa dimanfaatkan untuk punya rumah atau jika tidak mau, bisa dicairkan sebagai investasi. "Jadi ruginya dimana?” kata Ari.

Anggota Komisi IX DPR Darul Siska menilai bahwa ide dasar kebijakan terkait Tapera sangat mulia karena sesuai dengan konstitusi, yakni membantu masyarakat mendapatkan rumah.

"Ide dasar untuk menyediakan rumah bagi rakyat baik dan mulia sesuai konstitusi, agar rakyat dapat melindungi keluarga dan pertumbuhan keluarganya,” kata Darul.

Menurut Darul, selain mulia karena sesuai dengan konstitusi, membantu masyarakat dalam memiliki rumah yang layak juga dapat mengurangi risiko stunting bagi keluarga tertentu.

“Misalnya dalam rumah yang sehat mencegah lahirnya anak yang berisiko stunting," ujar Darul.

Darul menilai penolakan dari masyarakat mungkin karena berbagai hal seperti pembuatan peraturan pemerintah yang kurang memerhatikan aspirasi pemangku kepentingan.

Selain itu, kurang menyosialisasikan ke masyarakat, dinilai tidak tepat waktu, hingga adanya kecurigaan berulangnya kasus di lembaga yang mengelola uang masyarakat.

Berikutnya: Moeldoko bantah Tapera untuk bangun IKN

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko membantah bahwa ada upaya pemerintah membiayai program makan gratis dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) lewat dana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

"Tapera ini tidak ada hubungannya dengan APBN, enggak ada upaya pemerintah untuk membayar makan gratis, apalagi untuk IKN. Semuanya sudah, IKN sudah ada anggarannya," kata Moeldoko usai menggelar konferensi pers di Gedung Bina Graha Kantor Staf Presiden (KSP) Jakarta, Jumat.

Moeldoko menegaskan bahwa dana Tapera dikelola secara transparan melalui Komite Tapera yang dipimpin oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Komisioner OJK serta kalangan profesional.

Pembentukan Komite Tapera ini untuk mengawal pemupukan dana Tapera milik masyarakat agar tepat sasaran.

Menurut Moeldoko, pro dan kontra terhadap program Tapera muncul karena masyarakat belum mengetahui program Tapera.

Hal itu menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada bulan ini.

Moeldoko menjelaskan bahwa program serupa untuk pendanaan rumah yang dikelola pemerintah sudah ada melalui Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) yang dikhususkan untuk ASN.

"Sesungguhnya ini sudah ada Bapertarum sebelumnya. Terus ada Tapera sebagai kelanjutan. Tapera ini diperluas yang tadinya hanya ASN, diperluas dengan pekerja dan mandiri swasta. Karena belum dipahami sebenarnya, kalau nanti ini setelah sosialisasi ini saya pikir masyarakat semakin paham," kata Moeldoko.

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI dan Jamsos) Kemnaker Indah Anggoro Putri mengatakan, Tapera sesuai Pasal 100 dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan pekerja berhak atas fasilitas kesejahteraan.

"Itu menjadi beban bersama, bahkan pemberi kerja, pengusaha, juga wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan pekerja. Apa saja kesejahteraan pekerja? Termasuk di dalamnya rumah bagi pekerja," kata Indah Anggoro Putri.

"Jadi Tapera ini adalah dari mulai Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 itu sudah sangat harmoni dengan Undang-undang Ketenagakerjaan, yaitu menyediakan perumahan bagi para pekerja," katanya.

Upaya penyediaan hunian bagi pekerja dibutuhkan, jelasnya, merespons persoalan backlog atau kesenjangan kebutuhan pemenuhan rumah untuk 9,9 juta warga Indonesia yang belum memiliki hunian saat ini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023.

Dia menyebut bahwa Tapera bukan merupakan iuran tapi tabungan yang berlaku untuk pekerja dengan pendapatan di atas upah minimum dan tidak akan memberatkan untuk pekerja.

"Bukan cuma untuk memiliki rumah bagi pekerja atau buruh, yang sudah memiliki rumah jika dia peserta Tapera maka bisa diambil uangnya secara cash ketika masa pensiun atau ketika beliau sudah tidak mau menjadi peserta Tapera," tuturnya.

Berikutya: Mahfud Md: hitungan matematisnya tidak masuk akal

Mahfud Md meminta pemerintah mempertimbangkan suara publik terkait Tapera. Ia menyebut, jika tidak ada kebijakan jaminan akan mendapat rumah dari pemerintah bagi peserta, maka hitungan matematisnya tidak masuk akal.

“Misalnya, orang yang mendapat gaji Rp5 juta per bulan kalau menabung selama 30 tahun dengan potongan sekitar 3 persen per bulan hanya akan dapat sekitar Rp100 juta. Untuk sekarang pun Rp100 juta tak akan dapat rumah, apalagi 30 tahun yang akan datang, ditambah bunganya sekali pun.” kata Mahfud dalam cuitan melalui akun X @mohmahfudmd pada Kamis, 30 Mei 2024.

Lebih lanjut, Mahfud bahkan mengatakan, bagi orang yang gajinya di atas Rp10 juta pun akan sulit dapat rumah karena dalam 30 tahun hanya akan mengumpulkan sekitar Rp225 juta.

Menurutnya, ada pun orang dengan gaji Rp15 juta lebih baik dibiarkan untuk mengambil Kredit Perumahan (KPR) sendiri ke bank-bank Pemerintah sejak sekarang.

“Mungkin jatuhnya malah lebih murah daripada menabung 3 persen/bulan. Apa ada kebijakan yg menjamin para penabung betul-betul dapat rumah? Penjelasan tentang ini yang ditunggu publik,” katanya.

“Tentu kita paham, potongan tabungan 3 persen utk Tapera itu ada bunganya, tapi akumulasi bunga itu sepertinya tak akan punya arti signifikan bagi keseluruhannya untuk membeli sebuah rumah kelak. Terlebih bagi mereka yang harus berhenti kerja tak sampai 30 tahun, misal, karena pensiun atau sebab lain,” kata Mahfud.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi mengemukakan bahwa kebijakan iuran Tapera sebaiknya bersifat opsional atau pilihan.

"Saya menilai kebijakan ini lebih baik bersifat opsional, tidak digeneralisir. Artinya pekerja yang ikut iuran Tapera adalah mereka yang belum memiliki rumah atau berencana memiliki rumah," kata Diana.

Sementara itu, bagi pekerja yang telah memiliki atau tengah mencicil rumah, maka tidak perlu ikut Tapera dan mendapat kewajiban membayar iuran.

Menurut Diana, keharusan bagi pengusaha dan pekerja membayar iuran Tapera dikhawatirkan bisa menjadi beban dan memberatkan para pengusaha dan pekerja.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani sebelumnya mengatakan, Program Tapera semakin menambah beban, baik dari sisi pemberi kerja maupun pekerja, di tengah adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar.

Program Tapera terbaru dianggap semakin menambah beban baru di tengah adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar.

“Tapera sebaiknya diperuntukkan bagi ASN, TNI/Polri," kata Shinta melalui keterangan resmi, Selasa, 28 Mei 2024.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengungkap ada enam poin alasan menolak iuran Tapera. Pertama, Tapera tidak memberikan kepastian pekerja untuk memiliki rumah. Kedua, Pemerintah juga lepas tanggung jawab dengan tidak menyisihkan anggaran untuk Tapera.

Ketiga, Tapera dianggap membebani biaya hidup di tengah daya beli buruh yang diklaim turun 30 persen dan upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja. Keempat, kebijakan Tapera rawan penyelewengan sebab tak ada preseden kebijakan sosial tersebut – dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah.

Kelima, tabungan ini sifatnya memaksa. Keenam ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera, apalagi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sangat tinggi.

Said juga menyatakan bakal menggugat Undang Undang Nomor 4 Tahun 2016 mengenai Tapera ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta pemerintah berhati-hati ketika mengeluarkan suatu kebijakan yang langsung bersinggungan dengan penghasilan atau akan berefek pada daya beli masyarakat. Ketika menyasar ke masyarakat tentunya sosialisasi yang diutamakan.

“Harus ada yang menyampaikan dengan baik. Sosialisasikan. Karena ini menyangkut kepentingan masyarakat luas," kata Bambang yang juga Majelis Pembina Himperra.

Tetapi, menurut Bambang, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan daya beli masyarakat dulu.

ANTARA | TIM TEMPO

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus