Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rengkuh Banyu Mahandaru menjadi pemenang SATU Indonesia Awards 2023. Pria kelahiran Garut, 26 Juli 1991 ini merupakan pendiri dan inisiator Plepah yang berfokus pada inisiatif pemberdayaan masyarakat di area konservasi melalui pengolahan produk hasil hutan non-kayu berupa limbah pertanian, yakni wadah makanan pelepah Pinang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Plepah terinspirasi dari sebuah riset di India, di mana masyarakatnya menggunakan peralatan makan dengan bahan yang ramah lingkungan setiap hari.
Budaya mengkonsumsi produk ramah lingkungan dalam keseharian ini sudah diterapkan pada segala aspek kehidupan. Di Indonesia hal tersebut pernah terjadi namun ditinggalkan. Salah satunya membungkus makan menggunakan bahan alami seperti daun pisang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maka kelompok yang dinamai Plepah menginisiasi riset untuk memanfaatkan pelepah Pinang untuk mengatasi permasalahan limbah kemasan.
Pada Desember 2018, fokus awal Plepah di Sumatera khususnya Desa Teluk Kulbi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi dan Desa Mendis, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Plepah mengembangkan dan memproduksi produk kemasan ramah lingkungan seperti piring, mangkok dan kontainer makanan.
Rata-rata pohon Pinang tumbuh dengan kepadatan 1.300 pohon per hektar. Di Sumatera saja, ada lebih dari 150.000 hektar kebun Pinang.
Riset ini juga memetakan potensi pinang di Papua dan NTT. Pelepah pinang hampir tidak memiliki nilai dan dianggap sebagai limbah pertanian karena itu pada umumnya dibuang atau dibakar, terutama selama musim hujan karena dapat menjadi sarang nyamuk.
Pendiri Plepah, Rengkuh Banyu melihat potensi yang sangat besar untuk mengalihfungsikan limbah pohon pinang ini secara berkelanjutan.
Dengan latar belakang sarjana Desain Produk di Institut Teknologi Bandung, Rengkuh bersama dua kawannya membangun program tersebut juga mengembangkan dan memproduksi mesin tepat guna untuk mengoptimalkan produksi piring dan kontainer makanan dari pelepah Pinang.
Rengkuh menyebutkan, biasanya para petani punya 2-3 hektar kebun Pinang, bisa menghasilkan 5-10 kilogram pelepah yang jatuh dari pohonnya perhari. Setelah dikumpulkan kemudian masuk pabrik. Teknik pemrosesan dibikin menjadi wadah makanan berupa alat cetak pemanas.
“Pertama disterilkan lalu dipres atau dicetak dengan mesin khusus. Tak ada tambahan bahan lain. 1 lembar pelepah biasanya bisa dicetak menjadi 3-4 piring dengan tutupnya. Kalau dijadikan kontainer makanan seperti piring Hokben bisa 2-3 biji,” Rengkuh menuturkan saat ditemui Tempo, Kamis, 8 Agustus 2024 di kantornya di Jakarta Selatan.
Awalnya mereka hanya memproduksi 500 pcs per bulan sambil terus melakukan riset dan pengembangan produksi. Kini memasuki 2024 omset Plepah sudah miliaran rupiah dengan kapasitas produksi mencapai 20.000-30.000 pcs per bulan.
Plepah saat ini sedang membenahi alur pengumpulan bahan limbah dari masyarakat sekitar perkebunan agar terhindar dari praktik monopoli harga yang bisa merugikan tidak hanya Plepah tetapi juga petani.
Plepah mampu membuat produk ramah lingkungan dengan memanfaatkan limbah pelepah Pinang. Mereka juga berhasil mengajak masyarakat sekitar perkebunan pinang untuk mengumpulkan pelepah dan menjadi tambahan penghasilan bagi mereka. Selain itu Plepah tidak berhenti di situ.
Kemasan atau wadah makanan ramah lingkungan terbuat dari pelepah Pinang ini dijual seharga Rp 2.000-4.000 sebiji berupa piring, mangkok dan kontainer makanan, semuanya dengan tutupnya.
Pemrosean pencetakan pelepah Pinang menjadi wadah makanan setelah proses sterilisasi dengan sinar UV, di pabrik Plepah, Tanjung Jabung Barat, Jambi dan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dok: Plepah
Pemasaran terbagi lokal dan ekspor. Di Indonesia sudah terbentuk kalangan yang mengutamkan produk ramah lingkungan, hotel dan restoran di beberapa kota besar. “Adapun ekspor adalah ke Jepang. Kami kirim satu kontainer memuat 240.000 pcs, yang biasanya berdasarkan order atau pesanan,” ujar Rengkuh lagi.
Bagaimana peluang ekspor ke Eropa atau Amerika? Rengkuh menyebutkan kendalanya adalah sertifikat kelayakan. Sudah berkomunikasi dan tahun kemarin sempat berpameran di Jerman. Untuk mendapatkan sertifikat harus mengundang lembaga seperti FDA atau seperti BPTekom dan total biayanya satu sertifikat US $ 20.000.
“Bedanya dengan Jepang, lebih mudah karena dengan syarat white label. Intinya bisa dinegoisasikan. Karena mereka juga sudah terbiasa dengan produk anyaman, rotan. Jadi terbuka dengan aneka wadah dari pelepah Pinang ini,” demikian Rengkuh Banyu menjelaskan.
Kini di awal 2024 mereka juga fokus mengembangkan pelet dari limbah tanaman seperti sisa pohon tebu, bonggol jagung, dan lainnya sebagai bahan bakar alternatif di PLTU untuk mengurangi ketergantungan kepada batubara.
Bahkan saat ini Plepah berfokus dalam pembuatan pelet dari sampah atau limbah sisa hasil tanamanan yang tidak dimanfaatkan lagi.
Gagasannya pelet-pelet tersebut dapat digunakan sebagai bahan bakar di PLTU-PLTU untuk sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan terhadap energi batubara.
Pada akhir tahun 2022 Plepah membuka pabrik produksi kemasan di wilayah Cibinong, Jawa Barat dengan bahan baku yang didatangkan dari Jambi. Tapi belakangan dipindahkan kembali ke Jambi karena pabrik di Cibinong dialihfungsikan untuk memproduksi pellet sisa hasil tanaman untuk memasok bahan limbah pertanian untuk bio massa.