PADA usia 48 Rosa Luxemburg ditangkap. Di malam 15 Januari 1919 ia dibawa dari kamarnya ke Hotel Eden, yang jadi markas darurat divisi kavaleri Jerman. Orang bersenjata -- tentara dan milisia -- berkumpul di lobi ketika ia digiring ke sana. "Roschen," terdengar seseorang berteriak. "Ini dia si cabo tua!" Hari itu, Rosa, memang belum ada cinta dan nurani bersih. Kita terkadang salah sangka, dan kamu juga. Ketika dari kamar Kapten Pabet kamu turun untuk dibawa ke penjara Moabit, kamu sangka kamu akan sampai ke sana. Di depan pintu berputar Hotel Eden, ketika Rosa mau melangkah ke luar, seorang serdadu menghambur maju, dan menghantamkan popor bedilnya. Rosa roboh. Serdadu itu mau memukulnya lagi, tapi seseorang mencegahnya. "Cukup!" Darah menetes dari mulut dan hidung Rosa. Sepatunya lepas, dan dipungut seseorang sebagai suvenir. Lalu mereka membawa tubuh itu dengan mobil. Ia tak pernah sampai ke penjara Moabit. Mereka membuang Rosa Luxemburg ke Kanal Landwehr. "Nah, si lonte tua kini berenang," kata salah seorang prajurit. Lalu selama 4 bulan jasad wanita yang termasyhur itu -- pemikir sosialisme dan penggerak buruh itu -- terapung, hingga akhirnya ditemukan di musim semi. Ia, yang menentang militerisme dan perang, menemui ajalnya dengan brutal. Itulah petunjuk ke mana Jerman sedang bergerak saat itu, meskipun Tuan Hitler belum terdengar aum dendamnya. Bangsa Jerman tengah terpukul dalam perang yang kemudian disebut Perang Dunia I itu. Dan bangsa yang dididik dengan dongeng tentang prajurit Jerman yang tak akan bisa kalah itu bertanya: kenapa? Jerman pun guncang: Raja Prusia Wilhelm II didesak untuk turun takhta. Angkatan laut berontak, meskipun dibekuk. Tiba-tiba bendera merah dipasang di mana-mana dan di Bavaria sebuah republik diumumkan. Keadaan memburuk dalam krisis ketika perang berakhir dan Jerman takluk. Kenapa? Kaum Junker, kasta militer, menjawab dengan satu teori: ada yang menohok kawan seiring. Mereka yang tak setia pada tanah air ini adalah kaum sosialis, komunis, liberal, pasivis, dan tentu saja "orang Yahudi". Orang banyak setuju. Dan Rosa Luxemburg secara lengkap cocok ke dalam kategori "pengkhianat" itu. Ia lahir 5 Maret 1870 di Zamosc, Kota Polandia yang pernah diperintah Austria dan Rusia. Rosalia adalah anak termuda dari 5 anak keluarga Luksenburg (belum pakai "x"), pengusaha Yahudi yang mewarisi sejumlah bisnis. Keluarga itu sebenarnya sudah merasa diri orang Polandia. Rosa bahkan memandang dengan cemooh Yahudi lain yang tetap mau jadi Yahudi -- dengan rambut dijalin & jenggot panjang. Tapi ia tetap saja terasing. Kakinya pendek sebelah, danak anak-anak sering mengejek "Pincaaaang!" Tapi suatu hari pada usia 11, Rosalia mengalami keterasingan yang lebih ngeri: massa mengamuk ke daerah orang Yahudi. Rumah-rumah dilempari batu, dan orang luka. Di dalam keterpencilan itu, ketika ia masih remaja, datanglah karya-karya Mickiewicz, penyair besar Polandia. Mickiewicz dibuang oleh penguasa Rusia yang waktu itu menguasai Polandia, sejak ia mahasiswa. Karyanya dilarang. Maka, anak-anak muda pun dengan sembunyi membaca kata-kata yang menggugah itu. Semua kaum yang terhina dan tertindas petani, buruh, orang Yahudi -- di mana pun mereka berada, akan jadi sederajat bila dunia diubah. Dan sosialisme? "Sosialisme," tulis penyair Romantis itu, "adalah kata yang sama sekali baru. Siapa yang menciptakannya? Kita tak tahu. Kata yang tak diciptakan siapa saja dan diulangi oleh siapa saja bisa sangat menakutkan.... Dunia lama, yang tak paham apa artinya, membacanya bak membaca hukuman mati." Rosa Luxemburg sejak itu jadi sosialis, yang mau mengubah dunia. "Apa yang bermula pada Rosa sebagai kebutuhan melarikan diri dari kenyataan, pelan-pelan berubah jadi keputusan untuk mengubah kenyataan itu, jauh sebelum ia dengar tentang Marx," tulis penulis biografinya, Elzbieta Ettinger. Tapi pada akhirnya ia tetap sendiri. Ia yang tak merasa punya akar di sebuah tanah air, dan menguasai pelbagai bahasa Eropa, (ejaan "Luksenburg" jadi "Luxemburg" karena perpindahan cara mengeja Rusia ke Jerman), tak pernah mengerti kenapa orang -- atas nama "tanah air" dan sejenisnya -- bersedia membunuh. Ia yang tahu apa artinya dimusuhi, sulit memahami apa gunanya permusuhan. Maka, ia seorang sosialis yang akhirnya tabrakan dengan Lenin. Rosa tak mau cara teror kaum Bolsjewik dan Lenin tak keberatan bila teror dilakukan dan perang terjadi, asal buat kepentingan revolusi. Maka, ia memisahkan diri dari Partai Sosialis Demokrat yang mendukung peperangan dan ia juga memisahkan diri dari kaum Bolsjewik yang kemudian, di bawah Stalin, menganggap buah pikirannya "basil sifilis". Maka, ia sedih, hampir bunuh diri, ketika ia tahu kaum buruh, yang dianggapnya akan saling bersetiakawan tanpa batas negeri, ternyata giat mendaftarkan diri ke pertempuran dan membunuh kaum buruh negeri lain. Rosa memang salah. Patriotisme adalah sesuatu yang ajaib. Tapi kita tahu Rosa Luxemburg bukan salah untuk sesuatu yang kurang mulia. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini