KETIKA kisruh cengkih diperkirakan mereda Rabu pekan lalu, Komisi VI DPR RI justru melakukan dengar pendapat dengan Gappri (Gabungan Perserikatan Perusahaan Rokok Indonesia). Sementara Komisi VII tekun menyimak suara lantang dari PT Bina Reksa Perdana (BRP). Tentu semua itu berlangsung di ruang yang berbeda. Cuma, topik yang dibahas kedua "kelompok diskusi" justru yang itu-itu juga. Cengkih, si emas cokelat. Kedua pihak BRP dan Gappri, sama-sama bernafsu untuk menjadi pengatur tata niaga cengkih di negeri ini. Ambisi keduanya tak terta- hankan. Gappri, sebagai konsumen cengkih ter besar, merasa paling berhak untuk ikut mengatur. Alasannya, pabrik-pabrik rokoklah yang pada 1950-an membagikan bibit cengkih ke seluruh Indonesia. Hasilnya kini, Indonesia tidak lagi bergantung pada cengkih impor. Lalu Prayogo Sugiharto membandingkan Gappri dengan BRP, yang katanya, "Tidak punya jasa apa-apa dalam pengembangan tanaman cengkih." Menurut Prayogo, Ketua Gappri itu, dalam hal perbaikan harga, BRP bukanlah pahlawan yang mendongkrak harga cengkih. Sebab, mereka pun melakukan pembelian ketika harga Rp 3.000 per kilo, lalu dijual ke pabrik rokok dengan harga jauh lebih mahal. Tak jelas, adakah tuduhan ini benar atau tidak. Sekalipun begitu, Prayogo tak urung memancing kemarahan lawannya. "Kalau memang mau bisnis, mari kita bisnis secara fair, jangan mau cari untung sendiri," gebraknya lagi. Gappri mengusulkan kepada pemerintah agar membentuk perusahaaan yang kelak akan berfungsi sebagai penyangga harga. Selain itu, Gappri juga bersedia membanh KUD dan melakukan penyuluhan kepada petani. Tak kalah pentingnya ialah, bahwa Gappri dengan sembilan pabrik besarnya sanggup membeli semua produksi cengkih petani. Tentu dengan harga di atas, atau minimal sama dengan, harga patokan yang Rp 6.500 per kilo. Gappri juga meminta perhatian, agar pemerintah melihat potensi pabrik rokok. Kata Prayogo, sektor ini melibatkan tidak kurang dari 3,8 juta penduduk. Selain itu sumbangannya kepada pemerintah -- dalam bentuk cukai, PPN, dan pajak lainnya -- tidak kurang dari Rp 3 trilyun setahun. Memang, ini sebuah jasa besar dan tak seorang pun akan membantahnya. Tapi bagaimana kalau pemerintah tidak meng- abulkan usul itu? Gappri menunjuk akan munculnya sebuah ancaman dari luar negeri. Tepatnya dari Singapura. Di sana, konon bertumpuk cengkih Zanzibar yang harganya cuma Rp 3.000 sekilo. Coba kalau pabrik rokok mengimpor dari sana, "Maka, celakalah petani cengkih kita," ujar Prayogo. Mungkinkah ancaman itu terjadi? "Saya kira, pemerintah tidak akan memberikan izin impor cengkih," kata Preskom BRP, Tommy Hutomo Mandala Putra, yang akrab dipanggil Tommy. Alasannya, selain menghamburkan devisa, impor juga akan menyebabkan rusaknya pasar cengkih dalam negeri. Berbekal semangat orang muda, di hadapan anggota Komisi VII pula, BRP tetap mengusulkan pendirian Konsorsium Cengkih Nasional (KCN), dan Badan Pemasaran Cengkih (BPC). Kedua badan inilah, kata Tommy, yang kelak menetapkan harga dan menjamin pemasaran si emas cokelat. "Kami tidak sekadar sebagai penyangga harga. Tapi sekaligus sebagai bapak angkat koperasi cengkih," ujarnya. Namun, ada yang kurang pada BRP kalau itu pantas disebut kekurangan. BRP, misalnya, tak menyertakan satu pabrik rokok pun sebagai anggota. Tommy menyadari hal ini, dan kira-kira memahami mengapa tindakannya tidak disukai oleh para konsumen cengkih terbesar. "Dengan adanya BRP, mereka tak dapat lagi mengatur harga." Satu hal pasti: hanya jauharilah yang bisa menilai mana int- an mana berlian, mana penyangga mana yang bukan. Budi Kusumah, Bambang Aji, Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini