PERNAH dengar nama Hotel Regent? Hotel bintang lima ini tengah dibangun oleh kelompok Kodel (Kongsi Delapan) di bilangan strategis segi tiga emas, Jakarta. Setelah peletakan batu pertama yang dahulu megah meriah, kini pembangunannya tampak tersendat. Beberapa sumber TEMPO bahkan mengatakan, mungkin kelak hotel itu harus dijual. Kelompok Astra dan Summa Group milik William Soeryadjaya, disebut-sebut pernah mendapatkan tawaran. Seorang eksekutif dari Summa Group membenarkan hal itu. "Tapi kami menolak," katanya. Alasannya: harga yang diminta Kodel US$ 100 juta (sekitar Rp 185 milyar) -- terlalu tinggi. Kemacetan yang dialami The Regent berpangkal pada bujet pembangunannya yang terlalu tinggi (overpriced). Kepada TEMPO, kalangan subkontraktor menyebutkan bahwa overprice itu antara lain disebabkan adanya sejumlah material yang harus diimpor. Padahal, produk serupa sudah dihasilkan oleh industri dalam negeri dengan harga yang pasti lebih murah. Nah, ketika bank-bank menutup keran kredit, pembelian material eks impor itu jadi tersendat. "Untuk impor, kan harus buka L/C. Harus ada uang," ujar seorang subkontraktor. Ia memberi contoh: saluran pembuangan, yang oleh pemilik hotel diharuskan memakai pipa tembaga galvanis. Padahal, ada pipa buatan dalam negeri yang harganya cuma seperlima harga Impor. "Bagaimana tidak overpriced. Apalagi kalau untuk mechanical 100% harus diimpor," kata sumber tadi. Tampaknya, biaya tinggi The Regent telah mengharuskan sindikat bank, yang dipimpin Bank Dagang Negara, meninjau kembali kredit mereka. Lantas, likuiditas proyek pun tersendat-sendat. Belakangan timbul dugaan bahwa hotel tersebut dibeli Salim Group. Salah satu anak perusahaannya, PT Total Bangun Persada, terlibat langsung sebagai kontraktor utama Hotel Regent. Utang pemilik proyek kepada PT Total Bangun Persada, kabarnya, sudah mencapai US$ 80 juta. Tapi Ir. Komajaya, Presdir PT Total Bangun Persada, membantah isu ini. "Sampai saat ini Regent masih milik Kodel," ujar Komajaya. Namun, ia tak berkomentar apakah perusahaannya dibayar lancar. "No comment, tanya saja sama Kodel," katanya. Menurut Komajaya, proyek itu diperkirakan terlambat sekitar satu tahun. Lantas, apa kata pemilik The Regent? "Pemilik hotel itu masih saya sendiri, Fahmi Idris, Maher Algadri, dan Sahid Umar Hussein," tutur Sugeng Saryadi. Ia dengan keras memban- tah isu bahwa Hotel Regent sudah dijual. "Kami toh sudah termasuk (pengusaha) kelas kakap. Mungkin saja banyak yang iri atau ingin menyaingi," ujar Sugeng dalam nada meletup- letup. Sugeng menganggap Hotel Regent itu proyek kecil. Namun, diakuinya, pembangunan hotel memang ditunjang oleh kredit dari bank, seperti BDN dan BBD. Kata Sugeng, proyek akan menelan investasi US$ 140 juta, 35% modal sendiri (equity). Bagaimana urusan dengan kontraktor? "Lo, kontraktor itu saya yang bayar, bukan sebaliknya. Kontraktor yang kerja dan dapat untung dari saya. Nyatanya, kami tidak ada kesulitan, kok," ujar Sugeng. Bahwa nilai proyek itu dianggap mahal, menurut dia, tak lain karena kualitas. "Lihat bagaimana kamar mandinya dibuat, atau kamar tidurnya, lobinya. Pokoknya, tak ada duanya di Asia. Untuk desainnya saja, sudah kami keluarkan US$ 11 juta," tutur Sugeng, bangga. Dan ditegaskannya, hotel itu tak akan dijual karena menjadi proyek kebanggaan mereka. "Kami ini anak kampung, asli Pekalongan. Bukan orang kaya, tapi ternyata mampu. Hotel ini sudah ditawar US$ 250 juta," kata Sugeng. Ia yakin, The Regent akan membawa untung besar. "Pokoknya, lihat nanti kalau hotel ini sudah jadi. Saya jual US$ 4.000 per m2, pasti banyak yang antre," katanya. MW, Moebanoe Moera, Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini