Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hari-hari tanpa pembeli

Para pemilik mobil yang sebelumnya bergantung pada bensin super menolak menggunakan premix, pengganti super. para mekanik menilai oktan premix belum tentu 92. keruh dan tidak ada standar. premium diburu.

30 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPANJANG sejarah SPBU, belum pernah terjadi salah satu pompanya kehilangan pembeli. Tapi justru itulah yang menimpa pompa premix, bensin baru pengganti super 98. Kini, yang umum terlihat di setiap SPBU adalah antre panjang untuk membeli premium. Di Jakarta tiap SPBU meningkatkan permintaan premium, rata-rata lima ton per hari. Sedangkan premix, yang pada awal pemunculannya laris seperti super -- kabarnya sampai 20 juta liter per bulan untuk semua SPBU di Jakarta -- belakangan tak pernah disinggahi. "Penjualan premix memang sepi," kata Asisten Wakil Presiden Marketing Support Humpuss, Sumariyono. Humpuss adalah salah satu perusahaan yang mendapat izin mengolah dan mendi- stribusikan premix. Zazuli, seorang pengawas SPBU di Jalan Pakubuwono, Jakarta, menuturkan bahwa dahulu pompa yang diawasinya bisa menjual super 15 ton sehari. "Tapi sejak menjual premix, paling-paling hanya delapan ton per hari," katanya. Banyak pelanggannya yang biasa membeli super kini beralih ke premium. Maka, penjualan premium pun melonjak dari 30 ton jadi 40 ton per hari. Tapi harga premix tak urung dituding sebagai penyebab turunnya permintaan akan premix -- harga itu semula Rp 520 belakangan menjadi Rp 575 per liter. Padahal kenaikan Rp 65 ini, untuk para pemilik mobil bagus yang biasa menikmati kenyamanan akselerasi kendaraannya dengan super, jelas tak ada artinya. Mereka menolak premix, tak lain demi kualitas. Ada beberapa hal yang mereka keluhkan seputar premix. Warnanya saja yang mirip super, tapi hasil pembakarannya tidaklah sebagus super. Lalu pencampuran MTBE-nya (untuk meningkatkan oktan premium sebagai bahan dasarnya) tidak berjalan sempurna, sementara kadar air dalam premix yang dihasilkannya akan susah dikontrol. Akibatnya, tangki bensin dan mesin mobil jadi korban. Para mekanik bahkan menilai, oktan premix belum tentu 92. Diperkirakan, kurang dari itu. Tak heran bila warnanya keruh dan membekas di karburator. Belum lagi tidak adanya standar. Akibatnya, premix yang dihasilkan perusahaan A berbeda kualitas dengan yang diproduksi perusahaan B. Dalam keterangan pers Dirjen Minyak dan Gas Bumi tertanggal 30 Mei 1990, disebutkan bahwa Pemerintah berupaya melindungi masyarakat pemakai premix. Untuk itu, ditetapkan spesifikasi teknis premix, seperti tercantum dalam SK Dirjen Migas No. 21K172/DDJM/1990. Pelaksanaannya diawasi oleh Pertamina, dan secara berkala diperiksakan di laboratorium Lemigas. Tapi sampai kini, entah mengapa, belum pernah terdengar adanya tanggapan terhadap keluhan atas premix itu. Kalau benar premix keruh, menurut Direktur Pengolahan Pertamina Dr. Ir. Tabrani Ismail, "Itu karena proses pencampurannya yang kurang baik sehingga kandungan oktannya menjadi kurang." Kata Tabrani lagi, kalau saja pencampurannya sempurna, akan diperoleh premix dengan oktan 92. Dan itu berarti tidak akan keruh. Lagi pula, premix yang baik cukup beroktan 91,5 saja. Formula ini tidak akan mengisap air. Lantas setelah begitu banyak keluhan, apakah Pertamina akan diam saja? Kepada wartawan TEMPO Bambang Aji, Dirut Pertamina Faisal Abda'oe menegaskan "Itu bukan urusan Pertamina." Hal ini dikemukakannya di sela-sela acara Peng- hargaan terhadap Pembayar Pajak Terbesar di Hotel Borobudur Senin ini. Keterlibatan Pertamina -- menurut seorang staf Abda'oe -- terbatas pada memasok premium dan menyewakan alat pengolah premix dengan tarif Rp 2,5 per liter. Menurut Tabrani, sebelum meluncurkan BBM jenis baru ini, Pertamina sudah berkonsultasi dengan Gaikindo. "Mereka (Gaikindo) bilang, premix cocok untuk mobil-mobil yang biasa menggunakan super," ujar Tabrani tandas. Tapi bagaimana kalau kejadiannya seperti sekarang? "Terus terang, saya kira mesin mobilnya harus disesuaikan." MC, Budi K., Moebanoe M., dan Linda D. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus