LONJAKAN harga minyak yang menembus angka US$ 19,32 per barel, Februari silam, ternyata tidak bisa dinikmati terlalu lama. Sesudah itu harga minyak Minas merosot terus, mulai dari US$ 18,83 (Maret), menjadi US$ 17,49 (April), lalu US$ 16,30 (Mei), hingga akhirnya terperosok pada US$ 15,55 per barel, Juni ini. Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita mengungkapkan "berita duka" itu kepada wartawan selepas bertemu dengan Presiden Soeharto di Bina Graha, Sabtu dua pekan silam. Seperti diketahui, dalam APBN 1990-91 ditetapkan harga patokan minyak US$ 16,5 per barel -- tingkat harga yang akhir tahun silam dianggap cukup aman. Gelagat harga Januari dan Februari juga menunjang harga patokan itu. Tapi menjelang musim semi, harga mulai goyah. Ketika harga minyak Minas terjerembab di angka US$ 16,3 per barel untuk penyerahan Mei berselang, beberapa pengamat sudah mulai khawatir. Waktu itu Sumio Higashi, 78 tahun, penasihat FEOT (Far East Oil Trading Co.) -- salah satu penjual minyak Pertamina di Jepang -- masih berani mengatakan bahwa harga bulan Mei sudah mencapai titik paling rendah. "Diperkirakan tidak akan anjlok sampai tingkat US$ 15 per barel," ujar Higashi penuh yakin. "Soalnya, minyak Minas dengan low sulphur masih disukai dan dibutuhkan di sini," demikian alasannya, yang dikemukakan kepada wartawan TEMPO Seiichi Okawa. Ternyata, tidak ada satu hal pun yang menjamin agar harga tetap bertahan, bahkan sidang OPEC pun tidak. Faktor lain yang juga tidak menguntungkan ialah formulasi penentuan harga minyak Indonesia, yang sejak April 1989 ditentukan berdasarkan harga lima jenis minyak, yakni minyak Tapis (Malaysia), minyak Oman, minyak Dubai, minyak Jippsland (Australia), dan minyak Minas alias Sumatran Light Crude sendiri. Dalam realisasinya, jika harga beberapa jenis minyak dari kelima bahan bakar itu jatuh, maka harga Minas pun anjlok. Begitu pula sebaliknya. Formulasi alias rumus penghitungan harga itu dulu disepakati antara pihak Indonesia dan Jepang, karena dianggap mencer- minkan harga minyak yang sebenarnya di pasaran. Yang dimaksud tentu pasaran minyak Jepang. Waktu itu juga disepakati, bahwa formulasi harga itu akan ditinjau setiap enam bulan sekali -- kalau memang ada masalahnya. Dan sekarang masalah itu terasa ada, -- maklum harga anjlok sampai US$ 15,55 per barel. Menurut sumber TEMPO di Tokyo, Agustus depan Pertamina akan berunding dengan pihak pembeli Jepang, khusus untuk meninjau kembali formulasi itu. Niat itu memang belum disampaikan secara resmi oleh Pertamina, sementara pihak Jepang tampak tidak begitu serius menanggapinya. "Kalau harga spot naik, harga formulasi ikut naik, sedang kalau harga spot jatuh, harga formulasi pun ikut turun. Dengan kata lain, Pertamina pernah juga menikmati harga-harga ekspor yang tinggi," begitu komentar Makota Satani, Manajer Crude Oil Section dari Nippon Oil Co. Ltd., pembeli utama minyak Indonesia di Jepang. Menurut Satani, Pertamina akan mengusulkan supaya harga minyak Oman dan minyak Dubai tidak ikut lagi dipakai sebagai komponen yang menentukan harga minyak Indonesia. Selain harga kedua minyak itu sangat gampang naik turun, jenisnya juga agak berbeda dari Minas. Minyak Oman dan Dubai terkategori berkadar belerang tinggi, sedangkan Minas kadar belerangnya rendah. Indonesia tentu berkepentingan sekali, agar harga minyaknya tidak terus-menerus jatuh, apalagi di bawah harga patokan yang US$ 16,50 per barel itu. Bila ditinjau perkembangan harga minyak tahun lalu, jelas terlihat bahwa mulai Juni-September 1989, harga Minas bergerak turun dari US$ 18,07, US$ 17,94, US$ 17,15, lalu US$ 17,02. Kecenderungan seperti itu diperkirakan akan terulang tahun ini. Bayangkan saja, betapa terancamnya penerimaan pemerin- tah, bila harga minyak Dubai, yang merupakan komponen harga minyak Indonesia itu, medio Juni ini harganya anjlok lagi sampai US$ 13,92 per barel. Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini