Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tersandung protes mitra lokal

Penandatanganan pembentukan pt indonesia petrochemical industries, proyek olefin i cilacap, terhambat oleh persoalan pembagian saham. pihak yang terlibat: shell, mitsubishi, c. itoh, pertamina & bimantara.

30 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERASAAN cemas mengiringi persiapan penandatanganan Proyek O- lefin I Cilacap. Pembentukan PT Indonesia Petrochemical Industries (IPI), perusahaan patungan pelaksana proyek bernilai US$ 1,7 milyar itu, mestinya dalam pekan ini (akhir Juni) bisa disahkan melalui upacara pembubuhan tanda tangan kerja sama. Pihak yang terlibat adalah Shell Overseas Invest. BV (Belanda), Mitsubishi, C. Itoh, Pertamina, dan Bimantara. Tapi proyek raksasa untuk pengembangan industri kimia di Indonesia ini tersandung batu ganjalan. Paling tidak sampai Senin pekan ini pihak Pertamina dan Shell, yang sudah merencanakan proyek ini sejak tiga tahun silam, belum memberikan kepastian tentang tanggal penandatanganan PT IPI. "Memang sampai saat ini masih ada beberapa masalah yang perlu dibicarakan di antara kami," kata Direktur Pengolahan Pertamina Tabrani Ismail. Ganjalan itu antara lain menyangkut persyaratan dalam kontrak, khususnya dalam urusan pembagian saham. Sebagai mitra lokal, Pertamina dan Bimantara masing-masing oleh Shell akan diberi 15% dan 12%. Kabarnya Pertamina tak mempersoalkan jumlah itu. Tapi tidak untuk Bimantara. Kata pihak Bimantara, lebih dari 90% bahan baku berupa nafta berasal dari Indonesia (Perta- mina), lokasinya (200 ha) di Cilacap. Juga sebagian pendanaannya melibatkan sindikasi bank-bank pemerintah Indonesia (sekitar US$ 400 juta, yang dikoordinasikan oleh BNI 46), dan produknya (berupa antara lain polyethylene, polypropylene diethyleneglicol) adalah untuk pasar lokal, sebagai bahan dasar plastik. Belum selesai perkara pembagian saham, ada pula soal jangka waktu kontrak. Shell menentukan, pengalihan saham ke pihak Indonesia hendaknya setelah 30 tahun berjalan. Pihak Pertamina, seperti dituturkan Tabrani, menginginkan proses tersebut paling tidak setelah 15 tahun perusahaan beroperasi. "Dan secara berangsur-angsur setelah itu, mayoritas saham jadi milik Indonesia," katanya. Persoalan pembagian saham dan periode pengalihannya ke pihak mitra lokal yang menghantui kelahiran PT IPI tidak disangkal Shell. Bahkan Direktur Komersial Shell di Indonesia G.H. Whitehead mengakui, "Sumbangan Indonesia dalam proyek ini memang cukup substansial. Feedstock datang dari Pertamina, pasaran utama di sini, dan 30% sumbangan finansial berasal dari Indonesia juga." Tapi, "Yang kami kerjakan ini bukan soal gampang. Pabrik ini rumit pengoperasiannya. Maka, kami rasa wajar kalau awalnya kami memiliki bagian yang besar." Menurut catatan d BKPM, pada awalnya bahkan pihak asing (Shell, C. Itoh, dan Mitsubishi) hendak menguasai 95% saham dan tenaga asing yang dilibatkan ada 1.500 orang (sementara tenaga lokal cuma 150 orang). Untuk pabrik yang direncanakan mulai operasi 1993 ini, pihak Shell sudah menerima pembayaran lisensi untuk ethylene glicol dan polypropylene. Kendati demikian, Shell menolak sangkaan bahwa dirinya hanya akan mengeruk keuntungan di bumi Indonesia. Kata Whitehead, "Petrokimia bukanlah pabrik yang punya laba tinggi. Kami menginginkan suatu kerja sama jangka panjang, bukan semata-mata mencari keuntungan jangka pendek." Semua pihak yang terlibat, termasuk kalangan perbankan yang akan memberikan pinjaman untuk investasi (di antaranya diutarakan oleh Direktur Utama BNI 46 Kukuh Basuki), mengharapkan proyek Olefin I ini berjalan sesuai dengan rencana. Prospeknya sangat baik. Kata Tabrani, kebutuhan Olefin di Indonesia rata-rata 220-250 ribu ton setiap tahun. Selama ini, bahan bakunya (nafta) milik Pertamina justru diekspor, antara lain untuk kilang pengolahan Olefin di Singapura (milik Shell), dengan harga US$ 140-180 per metrik ton. Polypropelene yang masuk ke Indonesia harganya jadi US$ 1.200 (bahkan, menurut sumber Pertamina, pernah US$ 1.600 per metrik ton). Maka, alasan untuk mendirikan proyek itu di negeri sendiri, tentu saja, adalah demi menghemat devisa. MC, Budi K, Moebanoe, Liston PS, dan Ardian TG (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus