AMBISI direksi Bank Rama di Jakarta untuk masuk bursa, Juni nanti, mungkin kesandung. Sumber di bank itu mengatakan, dengan masuk bursa, dana masyarakat yang dikail mencapai Rp 75 miliar. "Tapi impian itu akan terancam ulah mereka," ujar Pomiaty Sarijantono, 38 tahun, Direktur PT Pusesera Nusantara Enterprise. Di antara ganjalan itu, menurut Pomiaty, yang menjadi nasabah Bank Rama sejak 1990, karena bank tersebut berhasrat menguasai hartanya. Ceritanya, pengusaha kerajinan kulit ini mengambil kredit Rp 900 juta. Menjelang cicilannya hampir lunas, sekitar Rp 400 juta lagi, sontak pada Juli 1992 Bank Rama mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk mengeksekusi perusahaan Pomiaty. Alasannya, ia tidak pernah mencicil utangnya (plus bunga) sebesar Rp 1,3 miliar. Pomiaty meradang. Ia menggugat balik Bank Rama, Rp 10 miliar. Ibu tiga anak ini merasa tak pernah mengambil kredit baru. Malah, saat perusahaannya akan dieksekusi, ia masih menerima rekening utangnya dari bank itu yang belum jatuh tempo sekitar Rp 400 juta. Sebulan kemudian pengadilan mengabulkan permohonan bank tersebut. Pomiaty melaporkan kasusnya ke Ketua Mahkamah Agung Purwoto Gandasubrata. Dan hasilnya positif. Pada September 1992, Purwoto meminta penundaan eksekusi itu. Pomiaty juga mengadu ke Polda Metro Jaya bahwa Bank Rama telah melakukan penipuan dan penggelapan. Pengaduan itu mentah di tengah jalan. Menurut sumber di Polda, "kurang bukti-bukti". Merasa curiga, lalu Pomiaty menuding polisi ada main dengan Bank Rama. Buktinya, menurut Pomiaty, pimpinan bank ini tidak pernah dipanggil. Padahal, perbuatannya melanggar Undang-Undang Perbankan. Izin bank itu bisa dicabut. "Bahkan pelakunya bisa diancam penjara 15 tahun dan denda Rp 10 miliar," katanya. Tuduhan Pomiaty bahwa polisi ada main disangkal Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya, Letnan Kolonel Latief Rabar. "Kami masih melakukan pemeriksaan," ujarnya kepada Bina Bektiati dari TEMPO. Pekan lalu, Pomiaty dan pihak Bank Rama dipanggil ke Polda Metro. Dalam pertemuan empat jam itu, ia disarankan mencabut pengaduannya. "Saya diundang untuk penjelasan perkara, bukan mengharuskan mencabut tuntutan," kata Pomiaty. Perang di antara mereka tampaknya memang bakal panjang. Sebab, Februari 1993 pihak bank memulainya: mengadukan Pomiaty ke Bank Indonesia agar nasabahnya itu dimasukkan dalam daftar hitam. Jika pengaduan itu dipenuhi, Pomiaty tidak mungkin lagi berhubungan dengan semua bank di Indonesia. Pomiaty puyeng. Belakangan ada yang aneh. Selagi kasus itu bergulir, April 1993 Pomiaty menerima pemberitahuan dari Bank Rama, yang menyebutkan utangnya "lunas". Maka, pertengahan Maret silam, ia bersama suaminya menemui Direktur Utama Bank Rama, Putu Antara, untuk menyelesaikan masalah mereka secara baik-baik. Ternyata gagal. Dengan tetap bermasalah itu, PT Bank Rama, yang rencananya akan masuk bursa dalam waktu dekat ini, bisa kena sandung. Bahkan, menurut kolega Pomiaty, bank ini ternyata tidak sah karena tak terdaftar di Departemen Kehakiman. Hal itu tampak dari huruf PT yang terletak di muka kata "Bank Rama". Padahal, sesuai dengan akta pendirian yang dibuat notaris dan yang tertera dalam Berita Negara RI mengenai Ketetapan Menteri Kehakiman tanggal 11 Desember 1990, nama yang sah adalah Bank Rama PT. Menurut Kepala Biro Hukum Bapepam, I Nyoman Tjagar, izin untuk masuk bursa tak bisa dihentikan jika perusahaan bersangkutan hanya terlibat masalah perdata. Tapi, jika terpatil dengan kasus pidana, urusannya bisa lain. "Go public bisa kami tangguhkan, bahkan dihentikan sama sekali," tuturnya. Apa kata Putu Antara? PT Bank Rama yang disebut-sebut tak terdaftar di Departemen Kehakiman itu dianggapnya isu. "Apa perusahaan kami ini memangnya fiktif. Suatu bank akan go public kan harus lewat pemeriksaan Bank Indonesia. Pemeriksaan itu sudah dilakukan sejak tahun 1990. Jadi, kalau tidak benar, kan izin tak akan keluar," ujar Putu.Andi Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini