ONGGOKAN sampah Jakarta setiap hari mencapai 21.000 m3 atau 5.000 ton. Tapi bagi pengusaha cekatan seperti Dewi Motik, tumpukan segala jenis barang sisa dan hasil pembuangan itu malah merangsang kreativitas. Gagasan yang berani lalu muncul: bagaimana mengolah sampah menjadi komoditi yang menguntungkan, lewat proses daur ulang. Melalui PT Tri Naga Terra (TNT), Dewi menggalang kerja sama dengan Pemda DKI, penandatanganan memorandum of understanding dilakukan 22 Juni lalu. Dan Selasa pekan ini, Dewi membahasnya bersama DPRD, sebelum ia mulai berkecimpung di sampah, bulan depan. Ini penting, terutama karena proses daur ulang sampah baru pertama kali ini dilakukan di Indonesia. Untuk itu, Pemda DKI menyediakan tanah seluas 15 hektare di Srengseng Kelapa Dua, Jakarta, dengan status hak guna usaha. Dewi lantas menyiapkan dana Rp 47 milyar untuk diinvestasikan, sambil mengandalkan teknologi dari Italia dan Taiwan. Ia yakin, dalam enam tahun investasi daur ulang yang akan menyerap 600 tenaga kerja itu bisa impas. Sesudah itu, TNT wajib memberikan royalti kepada Pemda DKI. Dalam pandangan Gubernur DKI Wiyogo, upaya TNT merupakan manifestasi kenekatan swasta. "Saya salut," katanya. Dewi sendiri bilang, "Memang saya nekat. Biasanya yang mau mengurus sampah hanya sampai pada pembersihannya, belum pada daur ulang. Kalau saya tidak mulai sekarang, siapa yang berani?" Tapi kenekatan Dewi bukan tanpa kalkulasi untung rugi. Sebagian hasil olahannya berupa pupuk kompos akan dibeli oleh importir Taiwan. Sedangkan 80% hasil olahan yang bisa dimanfaatkan untuk bahan pembuatan kosmetik akan dilempar ke pasar Italia, melalui perjanjian kontrak delapan tahun. Hanya saja, pusat daur ulang TNT cuma mampu menyerap 400 ton sampah per hari. Ini berarti 4.600 ton lainnya masih terbengkalai. Dari deretan perusahaan swasta baru yang akan diberi proyek membersihkan sampah di Jakarta, September nanti, tidak satu pun yang berani maju menjadi rekanan sebagai pendaur. Risikonya ternyata besar. Pertama-tama, usaha di bisnis sampah tidaklah menjanjikan keuntungan besar. Ini sudah dialami oleh PT Sarana Organtana Resik (SOR), salah satu swasta yang sudah dipercaya Pemda DKI untuk mengurus sampah sejak dua tahun silam. Dengan nilai kontrak Rp 24 juta per bulan, kabarnya sampai sekarang SOR belum memperoleh keuntungan yang berarti. Dengan 600 karyawan yang bergaji Rp 180 ribu per bulan, selama dua tahun itu labanya hanya Rp 5 juta. PT Kolas Jaya, swasta yang mengurus seluruh Kelurahan Melawai, juga mengakui labanya tidak besar. Tapi pemilik SOR, Kemal Idris, tidak berkeberatan mengingat usahanya itu tak lepas dari pengabdiannya untuk ikut membuat DKI bersih. "Sekalian saya ingin membantu Wiyogo, bekas anak buah saya yang kini jadi Gubernur DKI," ujar mantan Pangkostrad itu (ketika Kemal Idris menjabat Pangkostrad, Wiyogo adalah komandan Linud). Kini dalam bisnis sampah, Kemal merasa lebih terganggu oleh tekanan para birokrat Pemda. "Mereka selalu minta harga kontrak serendah-rendahnya. Padahal, saya harus mengusahakan agar perusahaan jangan sampai rugi," kata tokoh yang ikut berperan dalam menyukseskan Orde Baru ini. Paling tidak, agar investasi Rp 1 milyar yang sudah dibenamkannya bisa kembali dengan aman. Maka, Kemal Idris berpesan agar barisan swasta yang akan menjadi rekanan baru Pemda DKI jangan buru-buru membayangkan keuntungan. Idealnya, setiap perusahaan mengantungi dulu kontrak sampah di 44 kelurahan, nah, baru boleh menghitung laba yang lumayan. Problemnya kini, Pemda belum bisa memobilisasi dana dari semua kelurahan. Rupanya, masih banyak anggota masyarakat yang enggan membayar retribusi sampah. Sedangkan dana yang disediakan Pemda untuk sampah: Rp 26 milyar saja, setahun. Sebaliknya, dari proses swastanisasi pengurusan sampah itu, yang langsung menghitung laba justru Pemda. Berkat kerja sama dengan swasta, Pemda bisa menghemat ratusan juta rupiah -- misalnya dari pengadaan truk. Sebelumnya Pemda yang beli, tapi sekarang tugas itu dipikul swasta. Wajarlah bila Wiyogo tak ragu mengundang swasta baru untuk disebarkan ke lima wilayah. "Penanggulangan sampah oleh swasta lehih efisien," katanya. Kepala Dinas Kebersihan DKI Budihardjo mengatakan, untuk periode 1990 1991, swasta yang akan mendapat kontrak sampah baru tiga, dan namanya belum diumumkan. "Kami perhitungkan itu cukup," ujarnya. Berarti, sampai saat ini swastanisasi sampah DKI belum 100%. Jangan lupa, Dinas Kebersihan punya 6.000 pegawai. Kalau secara serentak urusan sampah diserahkan ke swasta, 6.000 pegawai itu mau dikemanakan? MC, Linda Djalil, Liston P. Siregar, dan Irwan E. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini