Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menakar Nuklir untuk Transisi Energi

Tenaga nuklir masuk dalam Rancangan Undang-Undang EBET. Tawaran pengembangan PLTN berdatangan.

3 Juli 2023 | 00.00 WIB

Ilustrasi Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) terapung yang dikembangkan Seaborg Technologies. Dok. Seaborg
Perbesar
Ilustrasi Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) terapung yang dikembangkan Seaborg Technologies. Dok. Seaborg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Teknologi PLTN berbasis garam tengah banyak dikembangkan sebagai alternatif pembangkit listrik.

  • Sejumlah perusahaan asing pengembang teknologi PLTN melakukan pengkajian di Indonesia.

  • Pemerintah diminta memperketat kerangka regulasi sebelum membolehkan penggunaan tenaga nuklir.

MESKI masih berstatus sebagai perusahaan rintisan (startup), kegiatan bisnis dan riset yang dilakukan perusahaan asal Denmark, Seaborg Technologies, tak main-main: pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Perusahaan yang berbasis di Kopenhagen dan punya cabang di Singapura serta Geoje (Korea Selatan) ini berambisi menjadi penyedia teknologi pembangkit listrik masa depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

"Secara ukuran, kami masih berupa perusahaan kecil. Jumlah karyawan kami hanya sekitar 120 orang," kata Head of Business Development Seaborg Technologies, Nikolaj Hamann, di kantornya yang dikelilingi kompleks rumah susun di Titangade, Kopenhagen, 15 Juni lalu. Walau begitu, sejak didirikan pada 2014 sampai sekarang, perusahaan sudah mengumpulkan pendanaan hingga 15 juta euro (sekitar Rp 246 miliar).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Seaborg dipimpin oleh doktor di bidang nuklir dan fisika lulusan Universitas Teknik Denmark (DTU), Troels Schønfeldt. Ia merintis perusahaan ini bersama tiga rekannya yang juga doktor di bidang fisika dan energi, yakni Ask Løvschall-Jensen, Andreas Schofield, Esben Klinkby; serta seorang peneliti nuklir, Eirik Eide Pettersen. "Ada lebih 30 doktor di bidang nuklir, energi, dan kimia yang bekerja di Seaborg," ujar Nikolaj.

Teknologi reaktor untuk PLTN yang dikembangkan Seaborg sebetulnya tak baru-baru amat, yakni molten salt reactor (MSR). Reaktor ini menggunakan garam cair sebagai material campuran bahan bakar sekaligus pendingin primernya. Pada 1960-an, lembaga riset Amerika Serikat, Oak Ridge National Laboratory, pernah membuat riset dan purwarupa reaktor ini. Lalu, karena dirancang berukuran compact—jika dibanding reaktor nuklir konvensional—PLTN yang dikembangkan Seaborg pun bisa dibangun pada platform terapung, seperti tongkang. 

PLTN-nya pun berkonsep modular serta plug and play alias bisa langsung dipasang dan dioperasikan. Sistemnya dapat dihubungkan dengan fasilitas industri yang membutuhkan sumber listrik sendiri atau dengan pembangkit existing, sehingga pasokan listrik tetap terjamin, misalnya, saat PLTU mulai dipensiunkan. "Kami menyebutnya sebagai teknologi nuklir generasi keempat," kata Nikolaj. Selain keunggulan itu, pada awal presentasinya kepada para jurnalis asal Indonesia anggota program Indonesia Climate Journalist Network—buatan Foreign Policy Community of Indonesia bersama Kedutaan Besar Denmark—ia menekankan keamanan teknologi ini.

Head of Business Development Seaborg, Nikolaj Hamann, di kantor Seaborg Technologies, Kopenhagen, Denmark, 15 Juni 2023. TEMPO/Praga Utama

Secara konsep, penggunaan garam cair memberikan berbagai keuntungan. Salah satunya adalah pengoperasian reaktor bertekanan rendah. Hal inilah yang membedakan reaktor berbasis garam dengan reaktor berbasis air (light water reactor), yang lazim digunakan pada PLTN di berbagai negara. "Aspek keamanan selalu menjadi pertanyaan utama setiap kali kami melakukan presentasi kepada calon klien," kata Nikolaj.

Dengan pengoperasian reaktor bertekanan rendah, risiko ledakan dapat diminimalkan sehingga material pendingin ataupun bahan bakarnya yang bersifat radioaktif tak akan tersebar luas. Meski begitu, risiko kebocoran tetap ada. Namun, Nikolaj melanjutkan, material garam akan memerangkap uranium serta material radioaktif lainnya sehingga tak menguap dan mencemari udara.

Adapun setiap unit compact MSR yang dikembangkan Seaborg memiliki kapasitas 100 megawatt ekuivalen listrik (MWe) dengan usia pakai 12 tahun per unit. Seaborg menawarkan empat varian PLTN terapung, dari kapasitas pembangkitan terkecil 200 MWe (dua reaktor) hingga terbesar 800 MWe (delapan reaktor).

Harga unit terkecil pembangkit listrik ini US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun) sampai US$ 3,5 miliar (sekitar Rp 52,6 triliun). Artinya, hitungan kasar biaya pembangunan PLTN terapung berusia paling pendek 24 tahun ini sekitar US$ 6 juta per MW. Memang lebih mahal ketimbang pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara yang sebesar US$ 1,5-2,5 juta per MW. Usia pakai PLTU batu bara pun paling pendek 30 tahun. 

"Tapi biaya operasional (PLTN CMSR) lebih rendah dan emisi karbonnya jauh lebih rendah," ujar Nikolaj. Sebagai catatan, berdasarkan kajian International Energy Agency pada 2019, emisi karbon PLTN hanya sebesar 15-50 gram karbon dioksida per kilowatt jam (gCO2/KWh). Sedangkan emisi karbon PLTU batu bara bisa mencapai 1.050 gCO2/KWh.

Ditawarkan ke Indonesia

Untuk merealisasi konsep PLTN terapung itu, Seaborg membentuk konsorsium bersama dua perusahaan Korea Selatan, yakni Samsung Heavy Industries, sebagai pengembang teknologi perkapalan, serta Korea Hydro & Nuclear Power Co Ltd, selaku operator PLTN. Sampai saat ini, mereka masih mengembangkan purwarupa PLTN terapung, yang ditargetkan beroperasi pertama kali pada 2030 di Korea Selatan. Jika sukses, barulah teknologi ini ditawarkan ke beberapa negara. "Kami berharap teknologi ini bisa dipakai untuk membantu dunia melakukan transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi yang lebih bersih." 

Nikolaj mengklaim beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Filipina, dan Indonesia, sudah berminat pada teknologi ini. Rencananya, pemanfaatan PLTN terapung di kawasan ASEAN dilakukan paling cepat dua tahun pasca-operasi uji coba di Korea Selatan. Untuk pengembangan di Indonesia, pada akhir 2022, Seaborg menggandeng Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Universitas Gadjah Mada. Adapun untuk studi kelayakannya, mereka bekerja sama dengan anak perusahaan PT PLN (Persero), PT Indonesia Power.

Berdasarkan cuplikan dokumen memorandum of understanding (MoU) Seaborg-Indonesia Power yang dilihat Tempo, lingkup studi kelayakan akan mencakup penelitian pengembangan PLTN CMSR terapung di PLTU Suralaya, Cilegon, dan/atau pemanfaatan teknologi itu untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di wilayah Maluku. Studi kelayakan itu juga akan meneliti keandalan dan keseimbangan pasokan listrik serta aspek keamanan PLTN. "Lokasinya memanfaatkan lahan PLTU yang akan pensiun dini," demikian kutipan ayat 2 Pasal 2 dokumen MoU tersebut. 

Sekretaris Perusahaan Indonesia Power, Agung Siswanto, membenarkan bahwa perseroan tengah membahas MoU tersebut bersama Seaborg. Proses ini berjalan sejak tahun lalu, tapi sempat tersendat pada 2023. Barulah, pada April lalu, Seaborg kembali menginisiasi pembahasan MoU. "Saat ini kami sedang meminta izin dan berkonsultasi ke PLN mengenai rencana itu," kata Agung kepada Tempo, Jumat, 30 Juni lalu.

Sebelum Seaborg mendekati Indonesia Power, pada 2021, perusahaan pengembang PLTN MSR asal Singapura, ThorCon International Pte Ltd, memulai studi kelayakan serupa. ThorCon menggandeng PLN dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Perusahaan ini bahkan telah mendirikan kantor perwakilan, yakni PT ThorCon Power Indonesia, di Jakarta.

Namun skema yang sedang dikembangkan ThorCon adalah pembangkit listrik tenaga nuklir berbahan bakar torium secara tapak (dibangun di daratan). Berdasarkan keterangan pers yang dikutip dari laman ThorCon, perusahaan bersama anak perusahaan PLN, PT Prima Layanan Nasional Enjiniring, memilih pulau tak berpenghuni yang berjarak 30 kilometer dari Pulau Bangka sebagai calon lokasi pembangkit itu. 

Dalam keterangan tersebut, Kepala Kantor Perwakilan ThorCon di Indonesia, Bob S. Effendi, menyebutkan pemilihan lokasi itu bertujuan mengurangi ketakutan masyarakat terhadap pembangunan PLTN torium. Perusahaan juga menggandeng pemerintah daerah dalam rencana ini. Targetnya, pembangkit listrik ThorCon beroperasi secara komersial pada 2028.

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) terapung yang dikembangkan Seaborg Technologies. Dok. Seaborg

Perlu Alternatif Lain

Pengembangan nuklir sebagai sumber energi listrik di Indonesia memang kembali mencuat belakangan ini. Indikasinya terlihat dari masuknya skema PLTN dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang masih dibahas di parlemen. Setidaknya, ada lima pasal dalam RUU EBET yang mengatur perihal nuklir. Dari amanat pembentukan majelis tenaga nuklir, penetapan badan usaha milik negara yang bisa menambang bahan baku nuklir, perizinan, hingga penyimpanan limbahnya. 

Meski begitu, rencana pengembangan nuklir di Indonesia ini bukanlah yang pertama. Setidaknya, berdasarkan catatan Tempo, sejak 1970-an, rencana itu sudah dimulai dengan pembentukan Komisi Persiapan Pembangunan PLTN. Pada 1986, ada studi kelayakan PLTN yang dilakukan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) bersama beberapa negara dan International Atomic Agency. Studi kelayakan selanjutnya juga dilakukan pada 1991-1996 bersama sebuah perusahaan konsultan asal Jepang. Aneka studi itu menghasilkan rekomendasi: wilayah Jepara cocok dijadikan lokasi PLTN. 

Pengkajian itu tak berlanjut akibat krisis ekonomi 1998. Sebelum akhirnya nuklir masuk RUU EBET, pada 2006, pemerintah menerbitkan sejumlah aturan mengenai energi. Misalnya, Kebijakan Energi Nasional dan Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang. Dalam dua aturan itu, nuklir disebut sebagai sumber energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik hingga 2025. Dari sana, sejumlah lembaga melakukan pengkajian guna mencari lokasi lain untuk PLTN. Saat itu, kawasan Banten dan Bangka Belitung disebut sebagai tempat yang cocok. 

Menanggapi rencana pengembangan PLTN MSR itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menganggap wajar jika beberapa pengembang teknologi itu menyasar Indonesia, mengingat 87 persen pasokan listrik berasal dari energi fosil. "Ditambah kerangka regulasi kita (mengenai pembangkit listrik) tak seketat negara maju," ujarnya saat dihubungi, Sabtu, 1 Juli lalu.

Atas dasar itu, Fabby melanjutkan, pemerintah perlu memperketat kerangka regulasinya. "Jangan terlalu mudah memberikan izin." Ia menilai, meski teknologi tersebut tengah banyak diteliti dan dikembangkan oleh banyak lembaga di berbagai negara, hingga kini belum ada satu pun PLTN MSR yang terbukti aman dan murah. Namun ia mendukung jika Indonesia dilibatkan dalam penelitian teknologi tersebut. "Sambil menunggu teknologi ini beroperasi secara komersial, terbukti aman, serta terjangkau."

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga, berpendapat sama. Menurut dia, pembangkit listrik tenaga nuklir MSR menarik dikembangkan, terlebih Indonesia punya potensi torium yang bisa dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar reaktornya. "Karakteristik reaktor berbasis garam ini memang lebih aman," ujarnya. 

Namun Daymas berharap Indonesia tak hanya terpaku pada pengembangan teknologi tersebut. "Ada baiknya kita juga memulai pengembangan pembangkit listrik menggunakan teknologi lain." Salah satunya ialah PLTN yang reaktornya menggunakan isotop hidrogen atau helium. "Teknologi ini juga diklaim efisien dan relatif aman dibanding reaktor nuklir konvensional."

PRAGA UTAMA | CAESAR AKBAR

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Praga Utama

Praga Utama

Lulusan Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran pada 2011. Bergabung dengan Tempo di tahun yang sama sebagai periset foto. Pada 2013 beralih menjadi reporter dan saat ini bertugas di desk Wawancara dan Investigasi.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus