Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK banyak yang tahu kehadiran Chairman Freeport-McMoran, James Moffett, di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu pagi dua pekan lalu. Sekitar pukul 10.00, Jim Bob-sapaan akrab Moffett-tiba ditemani CEO Freeport-McMoran, Richard Adkerson, dan Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin.
Mereka bertemu dengan Menteri Energi Sudirman Said dan beberapa petinggi di kementerian itu. Agendanya: membereskan konsep perpanjangan operasi. Renegosiasi soal itu terkatung-katung selama empat tahun terakhir. Pertemuan berlangsung tertutup.
Seusai rapat, sekitar pukul 3 sore, Sudirman meminta Maroef menjelaskan kepada media tentang isi pertemuan. Ia didampingi juru bicara Kementerian Energi, Dadan Kusdiana. "Saat persiapan untuk jumpa pers itu, kami baru dikasih tahu bahwa Jim Bob ternyata ada di Indonesia," ujar Vice President Corporate Communication Freeport Indonesia Daisy Primayanti, Selasa pekan lalu.
Kedatangan Jim Bob memang sengaja dirahasiakan. Seorang pejabat Kementerian Energi mengungkapkan Sudirman meminta Jim Bob datang ke Jakarta. "Menteri mau renegosiasi rampung tengah tahun ini. Jim Bob adalah kuncinya," katanya.
Undangan kepada Jim Bob disampaikan akhir Mei lalu setelah pemerintah memutuskan bahwa Freeport bisa terus beroperasi di Papua. Sikap Presiden Joko Widodo soal ini dijelaskan melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno dalam surat pernyataan, untuk menjawab tuntutan para mahasiswa yang datang ke Istana Kepresidenan, 25 Mei lalu. "Jalan pikiran yang menuntut pemutusan sepihak tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, justru menimbulkan masalah baru, yakni ekonomi Papua akan menderita," tulis Pratikno.
Pejabat Kementerian Energi ini menambahkan, pemerintah menawarkan dua opsi kepada Freeport. Pertama, Freeport Indonesia boleh terus beroperasi. Masalah perpanjangan baru akan dibahas pada 2019, dua tahun sebelum kontrak berakhir pada 2021. Artinya, nasib kontrak Freeport di tangan pemerintah baru yang akan datang, alias Jokowi lepas tangan. Opsi ini akan diambil jika perusahaan ngeyel menggunakan acuan kontrak karya yang diteken pada 1991.
Opsi kedua dinilai pemerintah sebagai terobosan, yakni langkah yang memungkinkan diambil berdasarkan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) 2009. Prinsipnya, mengubah rezim kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus atau IUPK. "Ini adalah opsi yang diandalkan pemerintah," ujar sang pejabat.
Tawaran tersebut diyakini bisa diterima Freeport. Sebab, ada kepastian mengenai perpanjangan pengelolaan. Juga jaminan atas realisasi investasi US$ 2,3 miliar untuk pembangunan smelter dan US$ 15 miliar untuk investasi tambang bawah tanah (underground mining).
Tapi tawaran itu ternyata ditolak oleh Richard Adkerson. Menurut pejabat yang terlibat perundingan, sejak dulu Adkerson berkeras menuntut hasil renegosiasi dituangkan dalam bentuk kontrak karya generasi baru. Sebab, menurut dia, kontrak karya lebih memiliki kepastian daripada perjanjian dalam bentuk izin, yang sewaktu-waktu bisa berubah atau dicabut pemerintah.
Tak kunjung mencapai kesepakatan, Menteri Sudirman pun mengontak Jim Bob. Terbang dari Arizona, Amerika Serikat, salah satu pendiri Freeport ini tiba di Jakarta awal Juni lalu. Kedatangan Jim Bob sengaja dirahasiakan oleh Sudirman dan tim. Beberapa orang saja yang tahu, termasuk Maroef dan Adkerson. "Dari jadwal penerbangan, hotel tempat menginap, sampai lokasi-lokasi rapat sengaja dirahasiakan. Supaya tidak ada yang mengintervensi perundingan," kata seorang yang hadir dalam pertemuan.
Daisy Primayanti membenarkannya. Ia pun baru belakangan mengetahui bosnya ada di Jakarta. "Tampaknya lebih untuk menjaga agar tetap steril dari muatan-muatan yang bisa menghalangi renegosiasi," ujarnya.
Jim Bob dipilih karena pengaruhnya yang signifikan di Freeport-McMoran. Sebagai penemu tambang Grasberg-ladang emas di Mimika, Papua, dengan cadangan emas terbesar di dunia-pada 1988, kata-kata Jim Bob seperti tak bisa dibantah oleh direksi Freeport-McMoran. "Dia punya hak istimewa di sana. Pemegang saham percaya kepadanya," seorang mantan petinggi Freeport yang paham mengenai seluk-beluk perusahaan tambang asal Negeri Abang Sam itu menjelaskan.
Biasanya, pejabat itu bercerita, setiap kali Jim Bob datang ke Jakarta untuk renegosiasi, banyak yang mengerubungi. Masing-masing membawa misi dan kepentingan sendiri, dari urusan bisnis hingga politik. Kadang-kadang disertai janji bisa membantu merayu pemerintah. Imbalannya: mereka memasukkan proposal bisnisnya ke tambang di Papua. "Freeport ini raksasa dengan investasi US$ 2 miliar per tahun. Enggak usah punya saham, punya bisnis di sana saja bisa untung besar," katanya.
Sudirman Said ingin menghindari distorsi semacam itu. Ia berharap renegosiasi murni dilakukan oleh Freeport dan Kementerian Energi lebih dulu. Pertemuan formal pun digelar sebanyak dua kali. Pada pertemuan pertama, duet Menteri Sudirman dan Ketua Komite Tim Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Said Didu tampil sebagai juru runding. Dari Freeport, untuk pertama kali, Jim Bob dan Adkerson duduk bersama. "Ini langka. Sebab, kedua orang itu biasanya berbeda pendapat," ujar orang dalam Kementerian Energi.
Benar saja, dalam pertemuan, Jim Bob dan Adkerson malah bersitegang. Keduanya menyetujui poin-poin renegosiasi. Bedanya, Jim Bob bersedia mengubah rezim kontrak menjadi IUPK, sedangkan Adkerson tetap menuntut perpanjangan dalam bentuk kontrak karya. Tim Kementerian Energi pun keluar dari ruangan, memberi kesempatan kedua petinggi Freeport itu berdiskusi. Sudirman sempat mengingatkan bahwa opsi IUPK adalah satu-satunya yang ditawarkan pemerintah jika Freeport meminta kepastian perpanjangan usaha.
Tak lama, Jim Bob dan Adkerson bersepakat menerima perubahan rezim kontrak menjadi izin. Syaratnya, pemerintah menjamin kepastian usaha selama 20 tahun ke depan. Hasil pertemuan itulah yang dibawa ke rapat 10 Juni lalu di Kementerian Energi untuk finalisasi. "Bagi kami, mendapat kepastian itu jauh lebih baik, sehingga perubahan tidak perlu menunggu kontrak karya habis," ujar Maroef Sjamsuddin.
PERUBAHAN kontrak Freeport menjadi izin usaha ternyata tak serta-merta menguntungkan Indonesia. Menurut ahli hukum pertambangan, Ahmad Redi, status izin usaha bisa menurunkan potensi pendapatan ekonomi yang selama ini ada di kontrak karya, di antaranya pajak badan. "Di kontrak karya bisa 35 persen, tapi kalau izin usaha turun menjadi 25 persen," tuturnya.
Perpanjangan izin, berdasarkan Undang-Undang Minerba, bisa diberikan langsung selama 20 tahun. "Tidak ada masa evaluasi selama 10 tahun sebagaimana yang diterapkan dalam migas atau bahkan kontrak karya sebelumnya."
Masalahnya, Freeport pun tak begitu saja menerima perubahan kontrak menjadi izin usaha. Mereka mengajukan sejumlah syarat. Salah satunya pungutan pajak yang besarannya tetap selama masa operasional. "Kami bilang masalah pajak itu spesifik dan rinciannya harus dibicarakan dengan Kementerian Keuangan," Said Didu menjelaskan posisinya.
Freeport juga meminta kepastian hukum. Dengan masuknya revisi Undang-Undang Minerba di Program Legislasi Nasional tahun ini, perusahaan khawatir akan ada perubahan syarat IUPK yang berdampak terhadap mereka. "Kalau bisa, kami minta pemerintah pertimbangkan hal tersebut baik-baik. Kepastian hukum itu penting bagi usaha tambang," ujar Daisy Primayanti.
Bagi Menteri Sudirman, yang paling penting adalah meja perundingan dibuka kembali dengan bersedianya Freeport mengubah kontrak menjadi IUPK. Masalah teknis lain akan diselesaikan lintas departemen. "Yang pasti hasilnya harus lebih baik."
Gustidha Budiartie, Ayu Primasandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo