Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANTA menabur pupuk urea ke hamparan padi usia 20 hari. Petani asal Desa Pabuaran, Subang, Jawa Barat, itu harus memberi perhatian ekstra dalam merawat tanamannya hingga dua setengah bulan ke depan, saat waktu panen tiba. Memasuki musim kemarau April lalu, skala gangguan hama-seperti wereng cokelat, keong emas, dan tikus-meningkat. "Jika tidak hati-hati, bisa terancam gagal panen," kata pria 60 tahun itu, Kamis pekan lalu.
Ribetnya menanam padi di musim kering, April-September, membuat hasil panen merosot menjadi hanya 4-7 ton per hektare. Pada musim hujan, Oktober-Maret, rata-rata produktivitas sawah bisa mencapai 7-9 ton per hektare. Seretnya panenan otomatis mendongkrak harga gabah hingga mencapai Rp 4.500-5.000 per kilogram. Inilah yang ditunggu petani seperti Anta, yang berharap kerepotannya bisa terbayar lunas dengan harga yang setimpal.
Tawaran harga menarik itu datang dari tengkulak atau bandar beras di Subang. Angkanya jauh di atas plafon yang disodorkan satuan tugas Badan Urusan Logistik Subdivisi Regional Subang, yaitu sekitar Rp 3.700 per kilogram. Jika menjual gabahnya ke tengkulak, Anta bisa mengantongi Rp 31,5 juta untuk satu hektare lahannya. Bandingkan kalau dia melepasnya ke Bulog. Pendapatannya paling banter Rp 25,9 juta. "Dari Bulog, untungnya pas-pasan," ujarnya.
Akibat selisih harga yang begitu besar, Bulog nyaris tak mampu bersaing dengan para bandar dan pedagang dalam menyerap gabah petani. Inilah yang membuat penyerapan Bulog terhadap beras petani lokal tersendat.
Kepala Bulog Subang, Dedi Supriyadi, mengakui sulitnya situasi dan beratnya kompetisi yang mereka hadapi. Kendati demikian, dia optimistis target penyerapan 40 ribu ton di wilayah kerjanya tahun ini bisa tercapai. "Sampai Juni, serapan kami 21 ribu ton."
Kesulitan Bulog terjadi hampir di seluruh negeri. Di Jawa Tengah, menurut hitungan Kontak Tani Nelayan Andalan di provinsi ini, Bulog baru menyerap 20 persen dari target setahun. Kelesuan di daerah pada akhirnya tampak pada data agregat secara nasional. Menurut Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti, hingga Selasa pekan lalu, realisasi penyerapan baru mencapai 1,3 juta ton dari target 4 juta ton sampai akhir tahun. Sebagai pejabat yang baru dilantik pada Senin dua pekan lalu, Djarot berjanji bergerilya untuk mendapatkan 2 juta ton beras dalam dua bulan ke depan.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Jawa Tengah Agus Eko Cahyono mengatakan catatan penyerapan beras Bulog tahun ini merupakan yang terkecil sepanjang sejarah. Faktor yang mengimpit Bulog, menurut dia, sama saja dari waktu ke waktu: tawaran harganya tak menarik. Sedangkan para tengkulak lebih agresif mendekati petani.
Banyak pedagang beras aktif berburu ke semua sentra produksi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Penyebabnya adalah masa panen raya yang tidak bersamaan di antara ketiga daerah lumbung padi utama di Jawa itu. Pedagang memiliki dua kesempatan menyedot beras lokal sebanyak-banyaknya.
Saat panen raya di Jawa Tengah dan Jawa Timur datang pada Februari-Maret, sawah di Jawa Barat umumnya masih menghijau. Situasi ini dimanfaatkan tengkulak dari Jakarta dan sekitarnya, yang biasa berburu beras di Jawa Barat, mengalihkan perburuan ke Jawa Tengah. Menurut Agus, pada musim panen lalu, banyak truk berpelat nomor Jakarta berkeliaran di sentra produksi beras seperti Kabupaten Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, Sragen, Pemalang, dan Brebes. Saat panen di Jawa Tengah mulai habis, giliran padi di Jawa Barat menguning dan para tengkulak menggeser sasaran perburuan mereka.
Agus mengatakan, meski harga pasaran tinggi, sebenarnya Bulog masih memiliki peluang mengikat petani. Ini bisa dilakukan jika Bulog menerapkan strategi "jemput bola" sampai ke sawah-sawah. Cara ini pernah sukses pada 2013, sehingga penyerapan Bulog melebihi targetnya. Sayangnya, upaya ini ditinggalkan dan Bulog terkesan lebih pasif. "Ibaratnya, Bulog lebih suka menunggu di tikungan. Tidak akan ada petani yang tertarik," ujarnya Jumat pekan lalu.
Bulog kedodoran selama panen raya Februari-Maret lalu karena tengkulak berani mengikat kontrak kerja sama dengan petani. Mereka juga menggandeng para pemborong gabah, yang tak jarang menyodori petani dengan pembayaran di muka, jauh sebelum panen tiba.
Iming-iming lain dari pemborong gabah adalah tenaga kerja panen raya yang lebih murah ketimbang ongkos buruh panen yang biasa dikeluarkan petani. "Petani terima bersih di akhir," ujar Agus. Keduanya juga mudah bekerja sama karena memiliki ikatan sosial yang terjalin lama. Mayoritas pemborong bertetangga dengan petani, sehingga mereka menguasai informasi: siapa petani yang akan panen dan berapa prediksi harga pasaran. "Tengkulak dan pemborong berjejaring."
Faktor lain yang dianggap memperlambat gerak Bulog adalah buruknya manajemen pengadaan. Menurut Ketua Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Jakarta, Nellys Soekidi, banyak anggotanya enggan memasukkan beras ke Bulog dengan beragam alasan. Selain harganya lebih rendah-rata-rata Rp 200 di bawah pasar-Bulog menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap beras yang ditampungnya. Akibatnya, tak banyak pedagang berminat menjadi mitra perusahaan negara itu.
Kehilangan mitra membuat daya tembus Bulog ke petani melemah. Sebab, pedagang adalah ujung tombak dalam menyerap beras. "Terapkan standar yang realistis," Nellys memberi saran.
Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti mengakui kekalahannya berkompetisi dengan para pedagang menjadi biang rendahnya penyerapan. Itu sebabnya Djarot mencoba menurunkan tensi persaingan, antara lain dengan menghadiri undangan Perpadi Jakarta di Pastis Resto, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu.
Dalam jamuan makan siang itu, Djarot berusaha meyakinkan para pedagang agar lebih terbuka terhadap Bulog. Ia berharap, dalam rangka penyerapan beras, Bulog dan pedagang bisa satu komando. "Beri Bulog kesempatan pertama untuk membeli," katanya. "Nanti, kalau pedagang butuh, kami berjanji melepasnya kembali."
Seorang pejabat tinggi mengatakan langkah pemerintah yang tak kompak turut mempersulit pencapaian target yang dibebankan pada Bulog. Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara, dan Bulog sering berdebat karena setiap instansi menyajikan data berbeda tentang luas lahan sawah dan produksi beras.
Parahnya lagi, Kementerian Badan Usaha Milik Negara meminta perusahaan negara selain Bulog ikut berburu beras sebagai reaksi atas angka serapan yang rendah. "Ini menambah keruwetan," ujarnya. Djarot mengatakan bertambahnya pemain beras justru membuat harga melonjak. "Bulog malah semakin sulit menyerap."
Akbar Tri Kurniawan, Nanang Sutisna (subang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo