Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Sukoharjo - Sekelompok pekerja PT Sri Rejeki Isman Textile (Sritex) Tbk berfoto bersama di depan pabrik yang berlokasi di Jalan Samanhudi Nomor 88, Jetis, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat siang, 28 Februari 2025. Seusai berfoto, mereka kemudian bersalaman, ada yang saling berpelukan, sebagai tanda perpisahan. Suasana pun seketika terasa haru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Di bagian lain, terlihat sejumlah pekerja mencorat-coret baju kerja warna biru dengan tanda tangan sesama rekan kerja sebagai simbol kenang-kenangan setelah belasan hingga puluhan tahun bekerja di pabrik garmen terbesar di Indonesia itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ya, hari Jumat tersebut menjadi hari terakhir mereka menyambangi pabrik Sritex, tempat mereka bekerja selama ini. Per 1 Maret 2025, pabrik PT Sritex resmi berhenti beroperasi karena status pailit perusahaan itu.
Meskipun senyum menghiasi wajah para pekerja itu, dalam hati mereka tersimpan kesedihan mendalam karena harus menghadapi kenyataan bahwa saat ini telah kehilangan pekerjaan setelah ada keputusan untuk pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawan dan pekerja itu.
Rasa sedih itu diakui salah seorang mantan pekerja, Wagiyem, 48 tahun. Wanita asal Kabupaten Sukoharjo itu mengaku masih tak percaya bahwa PT Sritex tersebut kini pailit dan ia harus berhenti bekerja di perusahaan itu.
"Rasanya saya masih tidak percaya. Nggak nyangka saja bisa seperti ini, karena perusahaan ini perusahaan besar ya," ungkap Wagiyem saat ditemui wartawan di kawasan pabrik Sritex di Sukoharjo.
Wagiyem menuturkan sudah bekerja di Sritex selama sekitar 28 tahun, tepatnya sejak tahun 1997. Ia tak memungkiri kesedihan karena kehilangan pekerjaan itu terlebih karena saat ini anak semata wayangnya tahun ini akan kuliah. Suaminya, lanjut dia, selama ini juga bekerja sebagai buruh tani di selepan.
"Saya bekerja dari tahun 1997, menikah dan punya anak satu, sekarang mau kuliah. Tentunya butuh biaya," tuturnya.
Dengan kondisi tersebut, Wagiyem mengaku mau tak mau hanya bisa menerimanya. Namun, ia mengatakan akan tetap semangat. Rencananya selepas dari Sritex, ia akan ikut adiknya yang bekerja di konveksi. "Ya mungkin saya mau ikut adik kerja di konveksi," katanya.
Wagiyem menceritakan selama ini bekerja di bagian pertenunan. Banyak hal yang berkesan ia rasakan selama bekerja di Sritex.
"Kalau di sini ya setiap 17 Agustus ada upacara kemerdekaan yang diikuti semua dari direksi hingga pekerja, pernah sekaligus dapat rekor MURI. Juga pernah di sini dulu karyawan itu dapat satu lembar saham perusahaan. Waktu itu zamannya Pak Lukminto, tahun berapa saya lupa," katanya.
Ia mengungkapkan pada masa kejayaannya, para karyawan dan pekerja terbilang sejahtera. Perusahaan mendapatkan banyak pesanan dari luar negeri.
"Dulu banyak lembur, banyak order. Ya meskipun tidak kaya, kami bisa mencukupi kebutuhan hidup dari penghasilan di Sritex ini," kenangnya.
Mantan pekerja lainnya, Karwi Mardiyanto, 39 tahun, turut mengungkapkan kesedihan yang sama atas kondisi perusahaan tersebut dan PHK yang dialami para pekerja. Tak hanya dirinya, istrinya yang juga bekerja di Sritex pun juga harus rela kehilangan pekerjaannya. Sementara ada tiga anaknya yang masih harus dipenuhi kebutuhan hidupnya.
"Saya sudah bekerja di PT Sritex selama 17 tahun dan menjadi korban PHK. Ya sedih, kecewa, tapi kami coba terima dengan lapang dada. Istilahnya saya sekarang lulus dari perusahaan (PHK)," kata dia.
Karwi menjelaskan sebagian mantan pekerja yang melakukan corat-coret seragam kerja mereka dengan tanda tangan adalah untuk kenangan dan bisa saling mengingat satu dengan lainnya. Dia mengaku yakin ada jalan keluar atas PHK ini. Untuk menyambung hidup sementara makan pakai uang tabungan. Ia berharap dapat segera memperoleh pekerjaan lainnya.
"Ya harus bangkit, tetap semangat," ucap dia.
Pilihan Editor: Konflik Kepentingan dalam Rangkap Jabatan Bos Danantara